Thursday, December 29, 2011

The Last Movie I Cried To

Legend of 1900. Film ini diputar di HBO sekitar dua minggu lalu. Tidak sengaja juga ketika gonta-ganti kanal melihat-lihat jika ada acara yang layak ditonton. Dan menemukan film ini. Ceritanya memang sedikit ajaib dan terlalu mengkhayal walau sebenarnya merupakan adaptasi dari sebuah novel Italia, tapi keseluruhan bagus, sangat menyentuh sampai membuat saya menangis haru --", lagu-lagu latarnya sangat earcatching. Namun ada satu latu yang benar-benar nyantol di kepala saya hingga saya bela-belain mencari di internet judul lagunya. Dan ternyata berjudul "Playing Love", ada versi orkestra, ada versi piano. Saya lebih suka versi yang ke dua seperti yang dimainkan dalam scene di bawah ini. Beyond beautiful!!
 

On Learning Danish

Learning Danish poses a real challenge


What is madness? That's when you start thinking that Danish is a pretty language that you get tempted to learn it. That sounds mad, right? But that's what's come over me lately. Yesterday I checked my all time favourite language-learning resources online and successfully got me a few files on learning Danish, both audio and e-books. And one can download them for free, niiiiice. When I was at high school I used to teach myself Norwegian, and I've been pretty much informed ever since that written language of Norwegian is more or less identical to that of Danish for a historical reason. So having prior knowledge of Norwegian is clearly an advantage. 


I've only little problem with written Danish, but one thing that one needs to tackle is the pronunciation. Yep, Danish is known for their magical way of speaking. Some say they speak as if they were drunk. Their fondness of reducing sounds is remarkable. In fact Danish has at least nine vowels and it is said the richer a language in vowels, the more complicated one has to pronounce it. Well if you still don't get what I just wrote just think languages like French or Chinese. Having learnt French for a good nine months at a language school, not to mention some attempts I had made on my own beforehand, I can reassure you that Danish tastes much creamier, more fluid than the infamous French. Even it's said jokingly that Danish consonants are spoken as vowels by Danes. Overall I do believe that there's something attractive about this less popular foreign language that seems irresistable. The Danes' ability to even include muscle throat as a part of their resonance organ is plausible, and laughable at the same time.

Along with Swedish and Norwegian, Danish has its origin in Old Norse as the parent language. Over the time languages do evolve, they split from each other, get branched-off to become their recent form, modern version. For me learning language means looking back to the past, to the history of humankind. Each words listed in dictionary is a piece of history, we might never know how ancient they are, we may not know if they're actually connected to those of other languages. One thing for sure languages are living proof of our unthinkable evolutionary journey as the dwellers of the Earth. They mark our existence as a human being.

Further readings:
1, 2, 3
posted from Bloggeroid

Thursday, December 22, 2011

Nusa Lembongan Part 1

Stunning sandy beach on Nusa Lembongan

Nusa Lembongan, a tiny vacation island of big contrast... (to be continued)

Dropping Your Brain On The Paperwork

I’ve heard many times people say that they have the best job in the world. To tell you the truth I’ve never really been able to relate mine to that kind of statement, not until today. In fact, today was supposed to be like any other days I’d lived before. I was one of three physicians in charge at the emergency unit this morning. I came an hour late for work because I felt like somewhat sleep-deprived by the time I woke up to the alert ring from my cell phone I set up regularly at 4.45 a.m. Besides I decided to go on foot to the hospital this morning since I realized I had been in my second week of physical inactivity. I missed my 60-minute Sunday morning jogging cos I spent a couple of weekend back at my parents’ home in Surabaya. 


By the time I arrived at the ER around 8 a.m. there were already four or five patients awating in the ward. There I went doing my job, taking history, doing necessary physical examinatons, then going back to my seat ready to rearrange the stories the patients told me on their medical record. This is inarguably my favourite part of the job, trying to rule out some differential diagnosis, thinking of all the possibilities to pave the path for establishing the most accurate diagnosis. I call it a creative process of dropping your brain on the paperwork. A process in which your academic capacities are put on test for real. A process uniquely by you that yields a result which sometimes leaves your signature, your flavor that makes you differ from your colleagues. Then, once the diagnosis is established, it’s not that difficult to administer the proper treatments to the patients. But truly this is among the most fulfilling part, it gives you a good feeling at the start and confidence along the recovery process of the patients. 

Tuesday, November 29, 2011

Marit Larsen’s Spark: Showcasing Quality of A Pop Queen

Marit Larsen by Ralph Gunthner

Akhirnya tiga tahun setelah album terakhirnya The Chase (2008), Marit Larsen kembali merilis album studio terbarunya 18 November lalu. Album yang diberi judul Spark tersebut berisi 10 buah lagu yang masih menceritakan semua pengalaman pribadinya. Khusus untuk penulisan album ke tiganya ini, Marit menghabiskan waktu selama delapan bulan di New York untuk menemukan lingkungan penulisan lagu yang lebih segar serta terisolasi. Tema mengenai perpisahan cukup mendominasi di album ini seperti yang dapat didengar dalam lagu “I Can’t Love You Anymore”. Lagu dengan iringan gitar dan drum yang terasa minimalis di bagian verse-verse awal dan refrain dengan permainan gitar listrik di bagian interlude dan diakhiri dengan cara yang indah. Liriknya yang ditulis bersama Teitur, seorang pemusik asal Kepulauan Faroe, cenderung sangat jujur dan mengena, “You had your chance, you lost my patience, I can’t love you anymore”. Besar kemungkinan dia terinspirasi oleh perpisahan dia dengan kekasihnya, Thom Hell, yang juga merupakan seorang pemusik, namun Marit selalu menyangkal hal ini. 

Sebagai single pertama dipilih lagu “Coming Home” yang bercerita tentang kebahagiannya saat menatap mata seseorang yang istimewa di hatinya, “The most magical thing that I’ve known, one look in your eyes and I’m sinking. And it feels like coming home”. Berbeda dengan single terdahulunya “If A Song Could Get Me You”, “Coming Home” terasa lebih lepas, lebih pop, dan lebih dominan permainan gitarnya sepanjang lagu. Asal tahu saja, selama menyepi di New York, Marit Larsen lebih banyak menciptakan karya baru dengan gitar dan jika ingin bermain piano dia harus ke rumah teman atau pergi ke toko alat musik. Salah satu lagu yang didominasi piano adalah “Don’t Move” yang merupakan salah satu lagu terbaik di album ini. Dalam lagu ini selain piano, permainan string yang cantik juga dapat didengar. Marit Larsen cukup terobsesi dengan string agaknya termasuk dalam penggarapan album ini di mana dia memakai tujuhbelas buah string. Lagu berikutnya yang saya amat sukai adalah “What If” yang dibuka dengan hentakan drum yang ringan namun sungguh sangat menggoda. Permainan string dan permainan gitar listrik yang jenius pada bagian bridge solo instrumental sangat penuh intrik perlahan-lahan memuncak dan hilang tergantikan oleh permainan piano solo. Efek drama berhasil diraih begitu Marit mulai menyanyikan lirik provokatif “Now that I know who you are. I almost wish that I’d never met you. How incredibly sweet. This has proven to be. You put all your trust in me. I’M YOURS INDEFINITELY” sebelum akhirnya jeda sejenak untuk masuk bagian refrain lagi. 

Lagu lain yang layak didengarkan adalah dua lagu terakhir yaitu “Fine Line” dan “That Day”. Dalam lagu “Fine Line” permainan piano dan harmonika dan lagi-lagi string menyatu dan diakhiri dengan kolisi instrumen yang benar-benar indah dalam cara yang tak terpikirkan, “It’s a fine line, it’s a fine line” diulang sebanyak lima kali dalam melodi yang mencekam sebelum akhirnya lepas kembali ke nada awal “It’s a fine line between love and hate. You ran away with my favourite song” dan berakhir. Lagu “That Day” hadir dengan dominasi gitar akustik serta lirik yang bercerita tentang awal mula dimulainya sebuah kisah cinta sebelum akhirnya saat ini berakhir, “I wish I could go back to that day...”. Lagu yang sedih. Namun secara keseluruhan Marit Larsen dan produsernya Kåre Christoffer Vestrheim sekali lagi menyuguhkan musik pop yang original dengan balutan yang pararel dengan dua album terdahulunya, hanya saja kali ini lebih bersinar dalam hal penggarapan musik, variasi, serta penulisan lirik yang bagus. Semoga pemusik yang jenius ini dapat segera melebarkan sayap ke Amerika ataupun ke Asia Tenggara yang dulu merupakan kantong fans terbesar dari M2M. Apalagi Marit Larsen tahun ini dianugerahi 900000 kroner Norwegia untuk tiga tahun dari Musik Export Norway guna memuluskan ekspansinya ke luar Norwegia. (Depe)

Thursday, November 24, 2011

My Very First Time Using Defibrillator

Chains of survival
The title may sound corny or rather sappy, but the first time of doing something particular is mostly so memorable. This was a real scene that took place at the ER when I and a friend of mine were on call one Tuesday morning. Really just a couple of days after my ACLS training. So it was a real test for me, though I already saw plenty of similar case prior to the ACLS. I wanted to perfom a more algorithm-based medical intervention for ACS case like what I had been trained to.

This is what ventricular fibrillation looks like


So there come a 50-year-old man with a chief complain of having chest discomfort or much like chest pain. The pain was dull as if there were weighty thing being put on his centre of sternum and on area to the left of it. But he was unable to point out precisely where the pain was originating from. He also felt that the pain was somewhat referred up to his back. There was neither nausea nor vomitting, but he was having cold sweat. He was fully awake with GCS score of 15. Blood pressure 140/90 mmHg, heart rate 80 times per minute, respiratory rate 22 times per minute, temperature 35,6oC. History of type-2 diabetes, chronic hypertension, and dyslipidemia were all denied (but I was skeptical, just like House says: Everybody lies!). Signs and symptoms suggested that he might be suffering from acute coronary syndrome, but since it conveys a wide range of causes, we needed some more detail examinations. We set IV line access, giving oxygen through nasal cannula (NC). We run ECG test on him (which laterly suggests STEMI with wide anterior infarction) while giving order to the nurses to administer aspirin (to be chewed), clopidogrel, plus sublingual ISDN. Unfortunately before those medications could even be administered, the patient collapsed (mostly caused by unbearable pain). We advised an injection of 3 mg morphine, but in short he fell into cardiac arrest. No carotid pulse was palpable. Such a nightmare for both the family and healthcare poviders. I shouted to start the chest compression before I ran quickly to get the defibrilator machine which had been in its absolute dormant period for too long since nobody knew how to operate it. But not again after my ACLS training. I was highly determined to come all out this time. Once the defib machine was set, I ran a quick look using the padles. The ECG suggested a pulseless ventricular tachycardia (VT) which was an absolute indication to perform the electric therapy of defibrillation (the other being ventricular fibrillation (VF) and polymorphic VT (Torsades de points)). I gave him a 360 joule shock (since it was a monophasic defib machine) followed by 2 minutes of CPR and an injection of 1 mg epinephrine (following the VF-pulseless VT algorithm). After 2 minutes I ran another quick look, the ECG suggested normal sinus rythm and palpable carotid pulse. We assumed he already came to ROSC (return of spontaneus circulation). We were ready for secondary survey. We fetched a deep breath. Thanks God. Did it end there? No. The patient is losing his carotid again in just five minutes. The ECG read sinus rythm, so it was a PEA (which was an absolute contraindication of defib, the other being asytole). The chest compression was soon started following the PEA-asystole algorithm. After a few cycles it turned into VF again, I did the defib. No amiodarone was available in the hospital. So adrenaline kept being in use. It’s a drug than can boost peripheral resistance and increase the contractility of heart muscles. Then it turned into asystole over and over again until we decided to cease the long series of CPR of 45-60 minutes. We did our best, but our patient wasn’t granted a second chance. It should always be reserved for God's privilege.

Wednesday, November 23, 2011

That Day


lyrics by Marit Larsen


I’m pacing the streets 
Where our story begins 
On a pale autumn day 
It was a day much like this
I’m back at the corner 
Where you used to wait for me 
Down by the place where we 
Made our first memories 

We smiled at each other 
Your skin was so cold 
And I swore I had never seen you more beautiful 
A few stolen glances 
We stayed out in the rain 
Could we just go back there again 


To that day, that day 
When I came to see 
It was our time, our beginning 
The end of the wait 
Oh I wish I could go back to where 
I was heading on 
That day 


I can’t help but wonder 
Every now and then 
If I hadn’t spoken 
Would we have kept going 
Your number is still here 
On my fingertips 
Like a forbidden secret 
That shouldn’t exist 

I know that I loved you 
I know that I tried 
But the kind that will keep you awake in the night 
It just doesn’t make sense 
And time after time I was trying to get back there again 

Friday, November 11, 2011

Marit Larsen Will Soon Come Back With New Album

Photo: maritlarsenfanclub.de
Mark the date, it's on November 18 this year. A brand new album called Spark!!! Here's the official press release from her Facebook page. While counting down to that most anticipated date, you'd better listen to her newest single "Coming Home"

Nasib Dokter Di Negeri Jiran

Hear our voice. We hardly speak, but will usually fade away from conflict (and fly to another place)
Posted by: MS Mohamad

I read an interesting article today about a few prominent figures addressing their concern over the increasing UKM and UM medical graduates who have left the country to continue their medical practice overseas. After reading the news for 3 times, I called a very close friend, an MD (UKM) graduate to ask his opinion on how the news might have affected him. He has been working in Singapore for more than a decade as a Consultant Surgeon with a certain sub-specialty "Why be a slave in your own country, when you are a king in another?" He replied. Indeed, if anybody would want to find a reason why all of us left, either after housemanship, after being a specialist, or even after sub specializing, and now, even prior to doing housemanship, they need not look at our payslip, or the wealth that we have gained overseas, but only to the Medical System that has been rotting in the ignorance and politic-based stupidity that Malaysia has been well-known for (in the medical field). I have served the system for nearly 2 decades of my career, waiting for it to improve for so long, and only finding myself in despair, quitting with a 24-hour notice and serving abroad. The system is, in my opinion, keeping doctors, since the beginning of their career as House Officers to the end of it, in the lowermost priority.

Thursday, October 27, 2011

The Depressive Me, Behind The Scene

Akan tiba waktunya kamu ingin sendiri. Menarik diri dari pergaulan dengan orang-orang terdekatmu, menikmati waktu dengan kesendirianmu, melakukan hal-hal yang benar-benar kamu cintai dan ingin kamu lakukan. Seolah dirimu adalah satu-satunya hal yang pantas untuk dipikirkan untuk beberapa saat. Seolah dirimu adalah pusat segalanya. Terkadang kamu juga ingin memberikan waktu untuk orang-orang tedekatmu untuk menikmati diri mereka seperti kamu ingin menikmati dirimu saat itu. Itu cukup adil. Kamu pun terkadang ingin bertindak sebagai orang ke tiga dalam sebuah roman, tidak melulu muncul sebagai sosok “aku”, “kami”, ataupun “kita”. Kamu tidak bermaksud untuk menciptakan jarak, tapi ini lebih kepada kamu ingin menghargai evolusi mereka sebagai sosok individu yang mandiri, dengan segenap lika-liku hidup mereka yang unik. Kamu semakin sadar bahwa kita semua nantinya akan tumbuh sebagai orang dewasa, makin matang secara fisik dan cara berpikir. Saat ini orang-orang seusiamu sedang menikmati proses pencarian jati diri, kamupun begitu. Saling melihat cara pribadi satu dengan yang lain menghadapi problema hidup, yang tentunya amat berbeda. Semua itu adalah konsekuesi dari perubahan. Semua orang pasti akan mencoba memainkan tiap peran tersebut hingga tiba saatnya untuk memilih mana yang paling sesuai dengan karakternya. Kamu hanya perlu waktu dan biarlah semua berjalan secara alami.

Friday, September 9, 2011

Menjadi Egaliter


Konon orang Perancis terkenal xenophobia alias mudah curiga terhadap orang asing; juga lumayan chauvinist alias cinta tanah air yang hiperbolis. Eh iya lho, saya pernah nonton serial Amazing Race (tahu kan?) saat tengah berlangsung di Paris. Nah saat para pesertanya bingung mencari tempat-tempat tertentu di Paris, mereka bertanya dalam bahasa Inggris kepada penduduk lokal, eh mereka malah nyerocos en français. Dasar tidak menghargai! Mereka pikir semua orang di dunia ini mengerti bahasa mereka. Uggh menyebalkan.

Ngomong2 soal Perancis aku teringat semboyan revolusi Perancis. Itu lho liberte, egalite, fraternite (tahu kan artinya). Nah aku penasaran banget dengan semboyan yang nomor dua itu "egalite" yang artinya persamaan. Salah satu sikap orang Perancis (dan orang Barat pada umumnya) yang menurutku unik dan inspiratif adalah easygoing dalam hubungan antarmanusia. Tidak kaku atau penuh hirarki seperti di Asia pada umumnya. Semua manusia itu sama. Di Barat kita tidak perlu menyebutkan nama gelaran seseorang seperti mas, mbak, prof, kanjeng, nyai bla bla bla, kecuali bila bertemu satu sama lain kali pertama. Memang sih sebelum revolusi masyarakat Perancis sangat terbagi ke dalam kelas-kelas. Bangsawan, pedagang, petani. Tapi itu dulu.

Menurut KBBI kata egalitarianisme berarti doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat. Garis bawahi tuh. Sama derajat secara duniawi sebab menurut ajaran agama Islam tinggi rendahnya derajat seseorang dinilai dari iman dan takwa. Aku paling benci jika ada orang yang merendahkan pekerjaan orang lain. Mungkin banyak di antara kita yang meremehkan pekerjaan petani, tapi kita sering lupa tanpa jasa para petani kita akan kelaparan, Indonesia tidak akan jadi negara berswasembada pangan. Mindset seperti inilah yang mungkin menyebabkan banyak pemuda desa enggan atau malu meneruskan pekerjaan orang tua mereka untuk bercocok tanam. Akibatnya terjadilah urbanisasi, timbul masalah di perkotaan, dan begitulah seterusnya. Contoh lain adalah pekerjaan sebagai tukang sampah, pasti banyak yang mencibir. Asal tahu saja upah yang diterima tukang sampah tuh tidak lebih dari 500 ribu di tempatku. Minim banget lah. Tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan dan risiko yang dihadapi berkenaan dengan kesehatan mereka. Aku tahu soal ini sebab saat momen lebaran biasanya orang tuaku mengundang sejumlah tukang sampah untuk diberi "salam tempel" sebagai ucapan terima kasih kami. Mereka sering mengeluhkan sikap orang-orang yang kurang perhatian dengan mereka, mungkin secara finansial kali ya. Itulah sebagian contoh kecil yang sering kita jumpai sehari-hari.

Aku mengamati semakin lama kedudukan orang di sini ditentukan oleh posesi dan posisi, dan aku benci akan hal ini. Beda banget kan cara kita memandang atau menilai atau bahkan memperlakukan orang yang mengendarai mobil Porsche (emang ada ya di sini he he) dengan orang yang pakai Suzuki Carry. Di rumah sakit pemerintah selalu ada pembedaan perlakuan antara pasien umum yang bayar sendiri dan maskin yang dibayari negara karena untuk makan saja susah. Golongan terakhir inilah yang kerap mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari tenaga medis. Dibentak, disindir, dimarahi kerap menjadi santapan sehari-hari saat mereka harus ngamar di RS. Ini juga kali ya penyebab seorang tenaga medis sering dituntut secara hukum, sebab underlying case-nya tuh rasa sakit hati pasien yang tersamarkan dengan tuduhan malpraktik. Ini semua hanya analisaku saja lho, tidak ada maksud tertentu. Kita cenderung menilai orang dari penampilan luar saja. Seandainya kita jalan-jalan ke Amsterdam (amin..amin ;) dan berpapasan dengan orang berpakaian kantoran naik sepeda, orang Indonesia pasti tidak mengira dia adalah CEO perusahaan besar, padahal itu hal biasa. Kita saja yang terlalu terbiasa lihat mobil-mobil dan sepeda motor berseliweran di jalan. Bahkan seorang ratu Beatrix bisa santai berbelanja tanpa harus diganggu rakyatnya yang ingin berfoto bersama he he. Ini bukan dongeng lho,ini kubaca dari buku Introductory to Living in Holland.

Mungkin sudah saatnya kita menjadi orang-orang egaliter, memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, tidak usah gengsian, tidak zaman lagi gila hormat atau menuliskan gelar kesarjanaan dengan berlebihan ;). Egalitarianisme juga sangat bermanfaat dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN. Orang tidak perlu lagi meninjau latar belakang (atau pertimbangan apapun lah) dari orang yang layak dihukum. Mau dia besan presiden kek, mantan gubernur kek, mantan menteri kek; kalau bersalah ya tetap harus dihukum. Bukankah kita semua juga sama di mata hukum.

Pocong Malam Jumat Legi


Jika saya boleh memberikan satu lagi julukan bagi kota Trenggalek, maka julukan itu adalah Trenggalek kota mistis. Malam Jumat 25 Agustus 2011 yang lalu agaknya akan menjadi salah satu malam yang akan selalu saya kenang dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Malam itu saya melihat penampakan POCONG walau orang berkata bahwa dalam bulan Ramadan setan-setan dibelenggu. Entahlah. Yang jelas saya telah melihat dan mengalaminya sendiri. Singkat cerita, saat itu seperti biasa saya ikut solat tarawih berjamaah di masjid dekat salah satu SMKN di Trenggalek. Waktu menunjukkan kurang lebih pukul 19.45. Saat rangkaian ibadah solat tarawih usai, saya bergegas pulang. Hanya berselang beberapa langkah setelah keluar dari masjid, saya mendengar suara anak anjing yang belum bisa menggonggong (mirip suara burung juga sebetulnya). Secara spontan, saya menengok ke kiri-kanan untuk mencari sumber suara tersebut. Gagal. Suara tersebut masih terdengar. Lalu saya mendongakkan kepala. Dan di atap plesteran semen dari rumah sebelah masjid itu saya melihat bentukan mirip karung beras berwarna putih. Saya tidak terlalu kaget, hanya merasa penasaran. Saya kedipkan mata berulang kali sambil mengamati. Bentukan yang tadi saya kira karung beras itu bergerak-gerak. Ada tali pocong di bagian puncak. Sayang bagian muka terlihat hitam. Semakin saya pandang ke bawah makin nyata lekukan-lekukannya. Bahkan ada lekukan mirip orang bersedekap. Bagian kaki nampak tertekuk ke arah perut. Bentukan tersebut dalam posisi tidur miring. Takjub dan masih tidak percaya dengan penglihatan saya. Saya terus berjalan sambil tetap saya amati bentukan tadi sebelum saya akhirnya harus berbelok di ujung gang. Dan bentukan itu masih berada di sana.

Dalam perjalanan pulang, baru saya benar-benar yakin bahwa yang saya lihat tadi itu pocong! Terus terang saya tidak terlalu histeris sebab ini bukan kali pertama saya melihat penampakan makhluk dari dunia lain itu. Setelah saya hitung-hitung, ini kali ke lima sejak pengalaman pertama saya saat duduk di bangku taman kanak-kanak. Tapi pengalaman yang terakhir ini adalah yang paling sensasional. Saya sendiri tidak tahu faktor predisposisi apa yang saya punya sehingga saya memiliki afinitas yang tinggi terhadap hal-hal semacam ini. Entah.

Thursday, July 28, 2011

Wisata Kuliner di Trenggalek




Tak terasa enam bulan berlalu sejak saya menjejakkan kaki di bumi Menak Sopal alias bumi Jwalita alias Trenggalek. Kota kecil yang saking kecilnya sering dijadikan bahan cibiran banyak orang. “Buat apa kerja di Trenggalek?” atau “Kenapa beli tanah atau bangun rumah di sana?” adalah contoh dari pertanyaan yang sering dilontarkan kepada mereka yang hendak pergi ke kota ini. Namun Trenggalek tidaklah demikian, setelah berbulan-bulan mengamati dan merasakan sendiri keseharian serta denyut nadi kota ini, saya berani mengatakan bahwa Trenggalek adalah daerah yang sedang tidur panjang. Setiap kali pergi ke Ponorogo dengan bus, orang pasti melewati wilayah Kecamatan Tugu yang di dalamnya terdapat desa Pucanganak dengan pemandangan lembah dan pegunungan yang tertutup lebatnya hutan cemara sepanjang tahun. Lanskap yang sungguh indah menurut saya, sayang pemkab Trenggalek tidak melirik area ini untuk dijadikan semacam resor atau tempat wisata berbasis lingkungan (ecotourism). Coba yang jadi bupati saya hehe. Belum lagi pemandangan alam indah di lereng Gunung Wilis sepanjang jalan menuju Kecamatan Bendungan yang konon banyak sapi ternak (saya belum pernah ke sana, hanya diberi tahu seorang kawan).

Ombak dari Samudera Hindia juga menyapu pantai-pantai cantik di pesisir selatan Trenggalek. Pantai yang sudah terkenal antara lain Pantai Prigi, Pasir Putih (Karanggongso) di Kecamatan Watulimo dan Pantai Peleng (Kecamatan Panggul). Trenggalek juga kaya secara budaya. Berbagai festival rakyat diadakan di bulan-bulan Juli-Agustus untuk memperingati hari jadi Trenggalek dan HUT RI. Untuk masalah kuliner, Trenggalek saya rasa masih harus berbenah sebab kekayaan kuliner adalah salah satu aset wisata yang bisa menarik minat orang untuk berkunjung ke kota ini. Cukup banyak tempat makan/jajan yang tersebar di Kabupaten Trenggalek. Dan berhubung saya jarang sekali meluangkan waktu memegang pisau di dapur, hampir 24/7 saya makan di luar. Sehingga saya sudah cukup banyak mencoba aneka hidangan di berbagai tempat makan di kota Trenggalek. Kali ini saya coba mengulas secara pendek 16 tempat makan yang memiliki nilai lebih di mata saya. Diurutkan mulai dari yang biasa sampai yang membuat orgasme lidah. Inilah selengkapnya.

Sunday, July 17, 2011

C’est complѐtement FOU

Il y a deux jours qu’on s’est retrouvé. Un rendez-vous du soir dans un typique resto ambulant qui a, en fait, monté au bord du trottoir. Pas le meilleur que l’on pouvait trouver, mais ça va ok car le prix nous convient ;) On s’est discuté les choses qui sont arrivées derniѐrement. Mais, y a certainement une chose qui me rend un peu étonné. C’est un lieu commun de dire que les marié(e)s aiment commettre un adultѐre ici. Et bien, il me semble que cette petite ville est l'endroit le plus ouvert, le plus libéral, le plus accuelillant au monde (aprѐs les États-Unis????) en rapport avec les relations sexuelles hors de la vie maritale. A mon avis, c’est fou!! -Lestroisrebelles-

Tuesday, June 28, 2011

One Disturbing Night


Being sour. That’s when you do not trust me, even for the slightest moment. Where has the so-called mutual trust we used to talk often gone to?

Being sad. That’s when you leave me a feeling of being rejected. I assume the friendship we’ve been into by far will soon see a finish line.

Being stupid. That’s when I expect something better in return for doing a favor to someone else. All I get is utterly a disappointment and shame.

Being happy. That’s when I'm free to chose what kind of people I want to be. Doesn’t matter if I should go black, gray, or blue.

Being grateful. That’s when I start to realize I’ve got tons to be thankful for since the beginning of my life. Knowing that I’ve always been granted with a feeling of being sufficient in anything.


depe 28062011

Thomas Dybdahl If We Want It, It's Right

“Hvorledes kan min, hva vi kaller for livskvalitet, beholdes eller bli høyere? og livskvalitet går overhodet ikke på hva man har, men hvordan man føler man er og hvorledes det er; hva er det som gleder oss?” (Arne Næss)


A decent English translation would read “How can my so-called quality of life be kept or be heightened? And life quality is not about what you have, but how you feel you are and how that is, what makes us happy?”

Well I think I have to agree with that aforementioned quote by a Norwegian philosopher, Arne Næss. Living in a materialistic world where money, lust and power rules frightens me sometimes. It seems like people are now forced unconsciously to redefine what happiness can really mean. Don't you feel that we're being pulled further and further away from our religious or spiritual entity as a human being. I'm not saying I'm a pious man. But take a look around, people are so in trance these days. Man betraying his wife, leaving her for bedding a newly-found mistress; man perceiving his pals as only a tool or milestone to reach his goals; man killing each other for unjustifiable reasons; the raging war (some are civil ones) on many corners of the planet; self-centered man ignoring those in need; stubborn corrupt lead figures stealing people's money. What kind of happiness can we really expect by committing these deeds? The true happiness comes from the inside and it's God-given. It's when we're successful to put our worldly and spiritual side in balance. I firmly believe, an improved quality of life will be subsequently a part of it. Please excuse my superficiality. I just wrote what had been always in mind.

P.S.: Just in case you're interested, you can listen to the quote in Thomas Dybdahl's song "If we want it, it's right" where it's used as a lyrical insertion.

Thursday, May 26, 2011

Anggun - Eternal


Eternal is another flawless repertoire of Anggun, an extract from her brand new album titled Echoes. Such profound and thoughtful lyrics packaged in simple yet impeccably well-arranged tunes. I totally love ALL the string arrangements made for this song, not to forget the lingering mandolin sounds in the background. Its Indonesian version is also available in the same album called Berkilaulah. Enjoy the lyrics!!


It was such a cold night in November

That followed by a much colder morning
I feel the shivers each time I remember
But in my heart something will keep burning
And beating

You’re eternal
Cause I believe
You’re in the air that I breathe

And eternal
Though eyes can’t see
I feel you’re right here with me

One soul goes and comes in this life circle
A story that goes around with no end
Made by love and flesh we’re only mortals
But somehow something will always remain
Again

And eternal
‘Cause I believe
You’re in the air that I breathe

It’s eternal
Though eyes can’t see
I feel your love upon me

‘Cause eternal
You’ll always be
You’re in the air that I breathe

Though I can’t see
But within me
You’ll always live eternally

And you live eternally

Wednesday, May 18, 2011

Ada Benjolan di Leherku

Belum selesai sepenuhnya dengan urusan dompet hilang, saya sudah dirundung masalah baru lain. Saya menemukan benjolan di leher saya pada 9 Mei lalu. Cukup besar. Diameter kurang lebih 1-2 cm, palpable, konsistensi padat kenyal, mobile, sedikit nyeri, lokasi di regio coli anterior dekstra di daerah submentum. Tidak sengaja saya raba karena memang tenggorokan saya agak nyeri untuk menelan. Saya menduganya semacam limfadenitis biasa. Tapi saya tetap paranoid, pikiran saya tidak tenang. Beragam diagnosis banding mulai menyerbu otak saya mulai dari kista, struma. Yang paling saya takutkan adalah limfadenitis TB (tuberculous lymphadenitis). Bukannya tanpa alasan saya memikirkan ini sebab di puskesmas cukup banyak penderita TB atau penderita yang datang dengan keluhan batuk darah (hemoptisis, batuk dengan blood streak) yang sebagian besar penyebabnya adalah tuberkulosis. Ditunjang dengan alat pengaman diri yang nyaris absen terutama masker standar di puskesmas. Saya semakin takut sebab ada sejawat yang pernah terkena tuberculous lymphadenitis saat bekerja di poli paru rumah sakit daerah. Pikiran saya mulai seakan-akan membenarkan saya terkena tuberculous lymphadenitis yang semakin menjadi-jadi setelah saya browsing ke sana ke mari. Saya bahkan sudah meminta alamat praktik dari seorang spesialis paru yang kebetulan ayah kakak kelas saya. Esoknya saya konsul kepada teman-teman sejawat di puskesmas. Ada yang berpendapat bahwa itu bisa saja memang TB kelenjar yang terbentuk karena kondisi imun yang prima sehingga kuman TB bisa dilokalisasi di kelenjar getah bening setempat. Ada yang berpendapat hanya limfadenitis biasa sehingga menyarankan saya untuk mengonsumsi antibiotik dan OAINS dan melihat perubahannya. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu sambil mulai menerapi diri dengan ciprofloksasin dan paracetamol. Tapi saya tetap tidak bisa tenang, saya lalu berpikiran untuk melakukan FNAB di Surabaya. Tanpa membuang waktu saya segera memacu sepeda motor menuju RSUD untuk menemui seorang spesialis bedah di poli bedah (tentunya tanpa perlu repot-repot mendaftar di loket hehehe). Saya utarakan masalah saya dan beliau memberikan rujukan untuk FNAB. Setelah itu saya mampir kontrakan mengambil satu dua helai pakaian lalu balik ke puskesmas untuk pamit izin cuti (lagi) pada atasan selama dua hari. Siangnya saya langsung meluncur ke Tulungagung untuk naik bus ke Surabaya. Saya mendapatkan referensi dari sejawat untuk melakukan FNAB di rumah sakit onkologi surabaya. Saya tiba di rsos ini jam 7.30 dan langsung menuju bagian registrasi. Setelah mengisi beberapa formulir, saya diminta menunggu di dekat ruangan pemeriksaan patologi anatomi sambil menunggu dokter senior Sp.PA tiba. Lalu tiba giliran saya, saya masuk ruang tersebut. Dokter Sp.PA memberikan informasi mengenai tindakan medis yang akan beliau lakukan. Penjelasan beliau sangat detil dan profesional. Saya belajar pentingnya membangun hubungan komunikasi antara dokter-pasien. Tidak terlalu sakit tindakan FNAB ini sebetulnya. Setelah menunggu hasil pemeriksaan di bawah mikroskop sebentar, alhamdulillah, ternyata benjolan saya hanya merupakan reaktif hiperplasia. Tidak ada bentukan granuloma dan bukan merupakan kista. Namun untuk lebih menyakinkan beliau menganjurkan saya untuk melakukan pemeriksaan USG leher siangnya. Akhir cerita hasil USG menunjukkan tidak ada yang perlu dicemaskan dengan benjolan tersebut. Saya pun bisa bernapas lega. Yang jelas saya sangat merekomendasikan RSOS sebagai tempat memeriksakan diri untuk mendapatkan pelayanan spesialistik dalam bidang onkologi.

Ketika Dompetku Hilang

Tanggal 25 April lalu dompet saya hilang. Dompet itu saya perkirakan jatuh di jalan dalam perjalanan pulang ke rumah kontrakan setelah saya membeli makan siang di sebuah kedai tahu lontong tidak jauh dari alun-alun kota Trenggalek. Saya benar-benar tidak sadar saat dompet itu jatuh. Yang pasti dia telah raib saat saya memarkir sepeda motor saya kembali di kontrakan. Sadar dompet saya tidak berada di saku, saya bergegas menyusuri kembali rute yang baru saja saya lalui dengan sepeda motor. Hasilnya nihil. Saya sudah susuri rute tersebut sebanyak TIGA kali yang melewati jalan Soekarno-Hatta ke utara memutari alun-alun kembali lagi ke selatan, belok ke timur melewati jalan Kartini (Pasar Pon), Kejaksaan Negeri Trenggalek. Kecewa, marah, takut, syok, cemas bercampur aduk menggelayuti pikiran saya. Padahal selisih waktu antara hilangnya dompet dan usaha saya untuk menelusuri kembali (saya sudah mengajak seorang teman dan termasuk bertanya ke sana-sini pada orang-orang di pinggir jalan) kurang dari lima menit. Jumlah uang dalam dompet itu tidak seberapa, hanya sekitar 25 ribu, tapi semua dokumen dan identitas diri bak lenyap ditelan bumi. Bersamanya saya kehilangan KTP, SIM A/C, STNK sepeda motor, dan sebuah kartu ATM Mandiri. Celaka dua belas. Sebetulnya saya pernah mengalami kejadian yang nyaris serupa sebulan sebelumnya, namun syukurlah ada orang yang berbaik hati berkenan mengirimkan dokumen-dokumen tersebut ke alamat saya di Surabaya. To err is really human, but c’mon once bitten twice shy gitu lho. Saya merasa benar-benar teledor. Saya memutuskan untuk untuk tidak langsung menelepon orang tua saya dengan harapan masih ada orang baik di luar sana yang bersedia menghubungi saya atau semacam itu lah. Saya hanya bercerita kepada teman-teman sekontrakan dan teman-teman di puskesmas tempat saya bekerja. Tak lupa saya segera bergegas menuju Bank Mandiri terdekat untuk melakukan pemblokiran (yang ternyata bisa dilakukan dengan menghubungi 14000). Sore hari teman saya yang sedang tugas jaga sore di UGD puskesmas menelepon saya bahwa ada salah satu bapak perawat yang bisa membantu saya menemukan dompet itu dengan bantuan seorang temannya yang memilki kemampuan cenayang.

Monday, April 11, 2011

The Blinded

You betrayed me
You hurt me
You spread the bad words behind my back
You left my heart unhealed,wounded
You’ve taken advantage of me
You’ve taken me for granted
You’ve treated me like a grain of weightless dust you can vacuum easily
You’ve treated me like a dog
You drive me out
You just dumped me now
You’re heartless bitches
I’m the docile
I’m the observer with sealed lips
I’ve been armed with lots of patience
I’m the blinded
I’ve suffered much from losing my pride, dignity
I’ve learned enough
I’ve seen a lot
I've fed my soul with determination to rise and fight back
I’m having a down and carry it around
I sow, watch, wait, and reap
I only fight for what’s worth-fighting, there’s nothing else.

Friday, April 8, 2011

Tips Paling Mendasar untuk Memahami dan Menguasai Bahasa Inggris

Terus terang saya berpendapat bahwa kemampuan bahasa Inggris orang Indonesia secara umum tidak terlalu baik. Bahkan untuk tingkat regional di Asia Tenggara, kemampuan berbahasa Inggris kita di bawah Filipina, Singapura dan Malaysia. Sedangkan penduduk negara-negara Asia Tenggara yang lain setara atau lebih buruk dalam kemampuan berbahasa Inggris. Yang saya maksud kemampuan berbahasa Inggris yang baik di sini adalah pemahaman terhadap tata bahasa, kemampuan untuk merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat yang sejalan dengan kaidah tata bahasa. Tentunya tanpa menyampingkan komponen-komponen berbahasa yang lain. Bolehlah orang ingin terlihat keren dengan berbicara atau menulis dalam bahasa Inggris, tapi sekali lagi bila yang diucapkan atau ditulis tersebut tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa bagi saya itu sama saja omong kosong. Bahkan dapat berbahaya bila orang tersebut tidak menyadari kesalahan yang dilakukannya ini sebab akan semakin menunjukkan bahwa pemahamannya terhadap bahasa Inggris lemah. Saya merasa geli setiap kali ada yang berceletuk bahwa tidak perlu belajar tata bahasa Inggris untuk dapat memahami dan menguasainya. Maka lihatlah, orang-orang cenderung terbius iklan dari kelas-kelas percakapan bahasa Inggris yang menjanjikan penguasaan bahasa internasional ini dalam waktu singkat. Menurut saya ini tetap omong kosong. Secara logika apakah mungkin secara tiba-tiba orang dapat cas cis cus berbahasa Inggris tanpa berbekal pengetahuan tentang tata bahasa Inggris yang memadai. Apalagi struktur bahasa Inggris amat berbeda dibandingkan bahasa Indonesia. Oke lah mungkin di kelas percakapan orang merasa hebat. Tapi ujian yang sebenarnya adalah tatkala orang tersebut berkomunikasi dengan orang asing atau penutur asli. Di situlah pemahaman kita tentang tata bahasa Inggris benar-benar diuji. Saya tidak pernah sependapat dengan jargon ‘get the message through’ yang kurang lebih berarti asal bunyi (ngomong) yang penting lawan bicara paham. Bukankah lebih baik kalau pesan tersebut tersampaikan dengan baik dan dalam cara yang elegan. Ini adalah sebuah seni. Saya selalu yakin bahwa cara terbaik untuk belajar sebuah bahasa adalah dengan metode konservatif. Pahami dahulu tata bahasanya, titik! Ia akan melapangkan jalan Anda dalam menguasai sebuah bahasa secara perlahan-lahan. Sebenarnya kurikulum pengajaran bahasa Inggris di Indonesia sudah cukup baik, hanya saja siswa kurang dilatih untuk mempraktikkan tata bahasa yang telah mereka pelajari terutama dalam mengungkapkan pemikiran, ide kreatif dsb terutama dalam bentuk tulisan sehingga siswa kurang percaya diri. Tentunya masih banyak faktor-faktor lain yang ikut berpengaruh.

Yang saya ingin bagikan di sini adalah hal-hal paling mendasar dalam belajar bahasa Inggris, ini murni berdasarkan pengalaman saya. Inti-inti dari tata bahasa Inggris yang wajib Anda pegang. Yang pertama Anda WAJIB mengenal delapan bagian pokok dari kalimat (the eight basic parts of speech). Mungkin terlihat remeh, tapi saya jamin Anda tidak akan pernah membuat kemajuan berarti dalam belajar bahasa Inggris sebelum menguasai ini. Delapan bagian tersebut adalah kata kerja (verbs), kata benda (nouns), kata ganti (pronouns), kata sifat (adjectives), kata keterangan (adverbs), kata depan (prepositions), kata hubung (conjunctions) dan kata seru (interjections). Sebetulnya jika Anda mampu berbahasa Indonesia dengan baik, Anda tidak akan kesulitan dalam mengenali ciri-ciri masing-masing bagian tersebut. Sebenarnya hal ini berlaku universal. Jadi saya jamin jika Anda menguasai bahasa Indonesia, Anda pasti bisa menguasai dasar-dasar bahasa Inggris.

Kemudian yang ke dua Anda wajib tahu bahwa struktur kalimat dasar dalam bahasa Inggris harus memiliki dua elemen yaitu subyek dan kata kerja (subject + verb). Ini juga adalah pemahaman yang sangat mendasar. Ambillah contoh dalam kalimat: That girl is pretty. Tidak mungkin Anda mengatakan That girl pretty, sebab dalam kalimat ini unsur dasarnya tidak terpenuhi yaitu hanya ada subyek (the girl) dan kata sifat (pretty) jadi perlu kita tambahkan kata kerja ‘is’.

Hal yang ke tiga Anda harus mengingat bahwa kata kerja bantu (auxillary verbs) yaitu antara lain will, shall, may, might, can, could, must, ought ot, should, would, used to, need, harus diikuti oleh kata kerja. Ambillah contoh: God must be crazy. Tidak mungkin Anda mengatakan God must crazy, karena ‘crazy’ bukanlah kata kerja. Sehingga ‘be’ perlu dimunculkan.

Hal ke empat , Anda harus bisa membedakan kalimat aktif dan pasif.

Hal ke lima, Anda harus menguasai perubahan kata kerja (konjugasi), terutama dari konjugasi yang tidak beraturan.

Hal ke enam, mau tidak mau Anda harus menguasai dan tahu kapan menggunakan tenses secara benar.

Semoga bermanfaat. Saya terbuka untuk semua komentar.

Wednesday, April 6, 2011

Justin Bieber Pergi Umrah


I can't help laughing anytime I see my picture above. It was taken at Juanda International Airport of Surabaya a moment prior to my departure on a minor pilgrimage to Saudi Arabia. You can read the whole story here. I particularly love how my hair looked for it had a close resemblance to that of Justin Bieber's. Don't you think so???

Surat Untuk Ibu

Trenggalek, 6 April 2011

Sudah sebulan dua minggu aku berada jauh darimu ibu. Dan selama ini pula tak sedetikpun terlintas dalam benakku bayangan dirimu. Dengan pongahnya aku berkata pada dunia bahwa aku kuat berada jauh dari dirimu, berada jauh dari rumah di mana engkau membesarkan diriku, berada jauh dari hangat dekapmu. Tapi malam ini suatu perasaan yang aneh menyergapku. Kuingat sosokmu, senyummu, tiba-tiba. Dan seketika aku merasa rapuh. Ingatan tentang dirimu meruntuhkan egoku, membunuh angkuhku, melunakkan hatiku, mendamaikan perasaan. Apakah engkau rasakan hal yang sama ibu? Rindukah kau padaku juga? Naif rasanya pertanyaanku ini. Tidakkah aku cukup dewasa untuk menyadari bahwa cinta kasihmu yang tulus adalah untuk sepanjang masa? Ibu, malam ini sungguh ingin aku memelukmu erat dan mencium pipimu. Ibu, ingin rasanya kumeneleponmu saat ini, tapi aku terlalu takut. Aku takut kau akan mendengarkanku menangis lirih dan aku tak ingin engkau mencemaskanku. Kuhadapkan diriku di hadapmu ibu dengan hati yang terbuka. Terima kasih atas perjuanganmu dalam mengasuh, mendidik dan merawatku selama ini. Tak peduli berapapun usiaku, aku akan selalu menjadi anak laki-laki kecilmu. Kau adalah dunia dan surgaku ibu. Kaulah inspirasi tebesarku. Terima kasih telah mengajarku untuk menjalani hidup dengan kesederhanaan. Untuk selalu menghormati dan menghargai diri dan orang lain. Walaupun aku sering membuatmu kecewa. Masih aku ingat betapa engkau akan sangat marah bila aku melalaikan solat lima waktu. Betapa engkau akan jengkel bila aku tidak membereskan tempat tidur atau meninggalkan makan pagi sebelum pergi menuntut ilmu. Dan semua kecerewatanmu, aku rindu dengan semua itu ibu. Masih sulit bagiku membayangkan hidup tanpa kehadiranmu. Tanpa doa-doamu yang telah membuka pintu ridho-Nya padaku. Semoga Allah memberikanku banyak waktu untuk membalas semua kabaikanmu yang tak ternilai walaupun aku tahu itu tak ‘kan pernah cukup. Ibu sekarang izinkan anakmu ini menitikkan air mata dalam kedamaian. Air mata kerinduanku padamu.


Monday, March 28, 2011

Being Handsome Versus Being Good-Looking: Which one do you find more flattering?

Kurang lebih satu jam yang lalu saya pergi ke alun-alun kota Trenggalek mencari sesuatu untuk makan malam. Saya menjatuhkan pilihan pada salah satu kios/warung kecil di sebelah timur alun-alun yang menyediakan nasi pecel. Kemudian saya duduk mengantri setelah meminta kepada sang ibu penjual untuk membungkuskan satu porsi nasi pecel. Lima menit berlalu dan saya beranjak untuk membayar dan mengambil pesanan saya. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara dari arah belakang yang memanggil “Mas, mas ‘jenengan putrané sinten tho?” (terjemahan: “Mas, mas Anda putranya siapa ya?”). Ternyata dia adalah bapak berusia paruh baya yang juga sedang membeli makanan di situ. Dia terlihat begitu penasaran dengan sosok saya (hahahaha I felt funny somehow). Lalu saya jawab, ” Putrané Pak B***” (saya bergumam dalam hati: emang loe kenal bapak gue). Dia balik bertanya, “Pak B*** sinten tho?” “Anu pak, kula sanes tiyang Nggalek. Kula saking Tulungagung, nembe mawon dines ‘teng mriki” (terjemahan: “Anu pak, saya bukan orang Trenggalek, saya dari Tulungagung, baru saja berdinas di sini) , saya balas menjawab. Lalu bapak itu mulai berkelakar dalam bahasa Jawa yang kalau diterjemahkan kira-kira seperti: “Lha iya kok bagus (ganteng) banget , saya kok meragukan di Trenggalek ini ada orang sebagus Anda”. What the f***??!! For an instant I couldn’t believe my ears. Komentar orang ini cukup membuat saya malu di depan umum apalagi sang ibu penjual pecel dan penjual minuman di sebelahnya ikut-ikutan mengiyakan komentar bapak tadi. Duh. Saya langsung cepat-cepat angkat kaki dari warung itu. Tapi omong-omong kenapa saya merasa (atau saya yang gedhe rumangsa alias ge-er) semenjak saya pindah ke kota Trenggalek ini, orang melihat saya dengan pandangan yang tidak biasa, lumayan berbeda dengan yang biasanya saya terima di Surabaya. Sumpah saya ke-GR-an sebab saya merasa wajah dan penampilan saya biasa-biasa saja. Saya bukanlah aktor, artis, pesinetron ataupun pesohor yang biasa mereka lihat sehari-hari di layar kaca. Juga bukan politisi terkenal, mafia pajak atau koruptor apalagi. Jujur saya benar-benar merasa saya hanya lelaki biasa dengan penampilan yang sederhana. Saya merasa cukup heran jika ada orang yang menganggap saya menarik (Do I sound too naïve here??). Walaupun ini bukanlah kali pertama saya mengalami kejadian ini, masih saja saya merasa belum terbiasa. Pernah juga pada waktu kami diperkenalkan oleh kapus kepada para stafnya, ketika giliran saya memperkenalkan diri tiba-tiba beberapa staf nyeletuk: lho ini dokter apa peragawan. OMG, what the f***? Saya tahu mungkin mereka bermaksud bercanda, atau menggoda, atau entahlah, but c’mon could they just keep that thought for themselves. Why did they feel the urge to speak it out? It seriously made me feel awkward hu hu hu. If I were that good, I swear I’d pose naked for Cosmogirl magazine hahaha.

Mungkin ini waktunya untuk menyadari bahwa ada yang berubah dalam kultur masyarakat Jawa. Orang-orang Jawa yang sekarang bukanlah mereka yang dulu dikenal sebagai orang yang gemar memendam pendapat atau perasaan. Pesatnya kemajuan teknologi agaknya berhasil mengubah atau bahkan mengenyahkan sifat kekolotan itu. Dan saya rasa ini perubahan yang cukup baik, mungkin saya yang yang terlalu reserved. Tetapi apapun itu saya tetap bertanya-tanya pada diri saya sendiri, sudahkan cara pandang mereka terhadap dunia ikut berubah?? Berikan saya waktu untuk mengamati lagi. Salam hangat dari Trenggalek.

Saturday, March 26, 2011

Sans Titre




Nous sommes des coques vides... Nous remplissons nos vies de ceci ou cela. Et cette coque fait beaucoup de bruit, et ce bruit nous l'appelons vivre...

Pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA)

Sebetulnya sudah agak basi memasukkan tajuk ini ke dalam blog saya. Tapi sayang jika terlewatkan kesempatan untuk berbagi ilmu dan cerita. Jadi ceritanya setelah mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) November 2010, setiap mahasiswa FK Universitas Airlangga (Unair)angkatan 2005 diwajibkan mengikuti pelatihan pewarnaan BTA di laboratorium mikrobiologi kampus A Unair. Kami adalah angkatan pertama yang diikutkan pelatihan seperti ini. Kami dibagi dalam kelompok kecil beranggotakan 12-13 orang untuk mengikuti pelatihan selama lima hari. Sebenarnya agak malas juga sih kembali berkutat dengan spesimen dahak penderita tuberkulosis dan reagen yang aneh-aneh, tapi berhubung kami termotivasi oleh adanya kabar bahwa setiap peserta nantinya akan mendapatkan sertifikat dari pihak fakultas (dan mendapatkan konsumsi makan siang yang lezat haha ;)kami kembali bersemangat. Terima kasih banyak untuk para dokter pembimbing terutama dr. Rebekah dan teman-teman kolegaku yang sudah membantu aku dalam pretest - post test dan dalam pembuatan sediaan BTA yang cantik dan bisa dibaca di bawah mikroskop tentunya.





PENDAHULUAN
Salah satu bahan yang digunakan untuk mendiagnosa adalah dahak atau sputum. Dahak yang diperiksa paling sedikit 3-5 cc. Jika jumlah kuman kurang dari 5000 dalam 1 cc dahak, maka itu tidak akan kelihatan di bawah mikroskop.

Tuesday, March 22, 2011

Priѐre de Pѐre




Mon Dieu, fais de mon enfant
Quelqu’un d’assez fort pour connaître sa propre faiblesse
Courageux pour faire face lorsqu’il a peur
Fier et qui ne se soumette pas dans la défaite, qui soit honnête,
Et humble, courtois dans la victoire

Seigneur, fais de mon enfant
Quelqu’un qui sache que Ton existence et
La connaissance des soi-même sont la fondement de toute connaissance
Oh, Seigneur, mѐne-le par la main
Non pas sur le chemin commode et facile
Mais sur le chemin plein de bousculades, de défis et de difficultés
Apprends-lui à savoir
Se tenir debout en pleine tempête
Et à apprendre à aimerceux qui n’ont pas réussi

Oh, Seigneur, fais de mon enfant
Quelqu’un au cœur pur, aux aspirations nobles
Capable de se commander lui-même avant de commander les autres
De poursuivre l’avenir sans oublier le passé
Aprѐs que tout cela l’aura formé
Je Te prie, Seigneur
De lui accorder Ta grâce avec humor
De sorte qu’il soit sérieux sans excѐs
Donne-lui modestie, simplicité et patience
Tout cela, oh Seigneur
Vient de Ta force et de Ta grandeur
Si l’on y est parvenu, Mon Dieu
Alors, je puis dire:
Ce n’est pas en vein que je mѐe ma vie de pѐre

P.S.: Those lines above are an extract from a book titled “Guide de Conversation Quotidienne en français” written by Yahya Khan. I’d love to recommend it to Indonesians learning French regardless the niveau de français you’re at. It really comes in handy for it provides us the importantant vocabulary we can use on daily life ranging from dealing with the greetings and salutations until ordering meals at restaurants.

Tuesday, March 15, 2011

Song of The Week: Emmanuel Moire - Si c'était ça la vie


Been two days since I found this song coincidentally on Youtube and I've been pretty hooked up on it. Frankly speaking this is the most beautiful French ballad song I've ever listened to. It's so well-arranged musically and I really love the piano sound throughout the song. The melody keeps on lingering in my mind and the lyrics are a little bit metaphoric (the trademark of French language ;) yet so sincere. Originally sung by Emmanuel Moire, an extract from his 2006's album Là Où Je Pars. If you're so much into pop or ballad, this song won't disappoint you. Happy listening! ;)



Quel chemin étrange !
Que de détours pour arriver
En quoi ça m'échange
Cette nouvelle peau à endosser ?
Si la vie était à la taille
Des attentes et des entailles
Faites sur moi
Je porte sur moi ce que je suis
Il faut voir comment ça me va
Si c'était ça la vie
Faite pour moi ?
De haut en bas, sans faire un pli
Mise à l'envers comme à l'endroit
Si c'était ça une vie
Faite pour moi ?
Je dois assortir
Les rêves et la réalité
J'ai pour m'en sortir
Quelques sentiments déguisés
Si la vie est à la mesure
De l'erreur et de l'usure
Faites sur moi
Je porte sur moi ce que je suis
Il faut voir comment ça me va
Si c'était ça la vie
Faite pour moi ?
De haut en bas, sans faire un pli
Mise à l'envers comme à l'endroit
Si c'était ça une vie
Faite pour moi ?
Va savoir après quoi je cours
Je me demande encore quel homme je suis
Si on est nu après l'amour
Comme on est nu après la vie
Après la vie
Je porte sur moi ce que je suis
Si c'était ça la vie
Si c'était ça
Je porte sur moi ce que je suis
Il faut voir comment ça me va
Si c'était ça la vie
Faite pour moi
Si c'est pour ça que j'ai grandi
Sur les chemins si j'étais là
Si j'étais jusqu'ici
Rien que pour ça
Si c'était ça la vie
Faite pour moi.

Monday, March 14, 2011

My Health Promotion Week



This week health promotions are on the top of the list of my daily routines. Today I was invited to the village hall in Jajar to help raise the community awareness concerning some diseases that have emerged lately in Gandusari. I came up with the idea of educating the audience about dengue fever and dengue shock syndrome. I find it necessary and still relevant to bring out this topic because we had some patients infected by this disease last week, even a young pregnant lady (including the baby in her womb) lost her life to the profound shock she'd been suffering. I feel deeply sorry for her.

The crowds --" Moms and their toddlers. I did need to level up the volume of my voice while giving my "speech"

A lane in the midst of sugarcane fields (up) and the road scene in the village of Jajar (below)