Showing posts with label La Vie Quotidienne. Show all posts
Showing posts with label La Vie Quotidienne. Show all posts

Saturday, November 3, 2018

When all falls into place

Le 31 juillet 2018:
On a assisté à la cérémonie de remise de diplôme. J'ai enfin terminé ma formation spécialisée en neurologie après cinq longues années dans l'hôpital Dokter Soetomo à Surabaya. Je voudrais bien remercier à tous le monde qui m'ont toujours soutenu tout au long de ce parcours de la réalisation de mes rêves. Vous pouvez désormais m'appeler officiellement neurologue ☺

Le 1 novembre 2018:
J'ai reçu un coup de fil d'un collègue d'un hôpital auquel j'avais envoyé mon lettre de demande d'emploi il y a environ trois mois. Elle m' a renseigné qu'on m'accepter d'y travailler. Quelle belle surprise. C'était vraiment le moment que j'ai attendu le plus après que j'étais face à un entretien d'embauche avec le patron de cet hôpital-là. Alhamdoulillah c'est un autre rêve devenu réalité. Quelques pensées m'ont traversées l'esprit: quoi qu'il nous arrive, des bons, des mauvais, les incertitudes etc il ne faut pas oublier de se soumettre à la puissance de bon Dieu. Et que le sentiment d'être bénie, d'être aimé, d'être proche de Dieu est celui des plus beaux qu'on puisse ressentir. Il faut pas aussi oublier que peu importe comment les gens nous traitent douloureusement, ne cherchez pas à se venger. C'est tout pour aujourd'hui. À très bientôt.

Sunday, March 26, 2017

This is where the journey of parenthood all begins...



Still clear on my mind that very evening in late February last year where we had an intense argument about petty stuffs. Then you told me you were tested positive on that stick pregnancy test. For a moment I was stunned, and happy. We were raising hope of being good parents, but life took its bitter turn just when hopes were already growing too high. You underwent  browny, bloody vaginal discharges that could have been an omen for miscarriage, and it really was it in the end. Our first baby didn’t get a second chance to see the day. Heartbroken, but our faith remained. We pinned our hope high for another probable pregnancy, nothing was impossible for the All Creator. Like a miracle, Heaven seemingly had heard all our prayers. In June last, you became pregnant again. Our second chance was heaven-sent. For the first time, I felt at ease with your pregnancy. Words were never enough to describe how grateful and thankful we were for what Allah had granted us with. Over the time, we got to learn each other again, rediscover, redefine each other’s boundaries if there was any, shattered all the walls of our egos along the way. We both learned to be best parents our baby could have ever imagined. Trying to feed you healthily was probably the hardest part for me since you did have the tendency to eat all so-called junk foods. But I succeeded. You gained more and more weight accordingly with each days passing. But we both admitted we didn’t fancy all those “the grandiose art of raising kids and family appropriately” books since we were too tired of reading the medical textbooks (well, this is fake). Monthly regular visit at obsgyn doctor practice was admittedly not my favorite part, but you did seem to be overjoyed the moment the doctor pointed you the baby’s body parts were doing well, telling us it was a baby girl. I was happy too it was a baby girl while visualizing a future scene in which a little creature would be stalking me all my way. Pretty adorable huh. Shopping for our baby’s clothes and other necessities would irritate me, not only I was forced to witness a woman’s complicated and obnoxiously meticulous way of buying things, but also I had to dig deep my pocket (jokingly said ;). Time seemed to take way too long as for the birth of our baby. But waiting is gold as people say.  I mean nothing in this world could be better than it. Finally Allah entrusted to us this little girl whose name is Rengganis Aisyah Dianty, a tiny spark that made all the difference in our life. And once again we’ll be forever thankful for that.
Welcome to the world our little baby girl!
And the big day fell on March 22, 2017. You had to undergo C-section due to nuchal chord something like that (I didn’t quiet get it despite being a full-fledged medical doctor). But we were so relieved once the baby was delivered. Felt so blessed when she fetched her very first breath and made some noise with her cry, the moment I softly whispered adzan and iqamat in her ears,


P.S.: We’d love to send our deepest gratitude to everybody who has given his hands and  extended his hospitality. Dr. Agus Sulistiono, Sp.OG (our obstetrician). Our parents for their never-ending support, resident doctors of Pediatric Dept and Neurology Dept of our class, medical-paramedic staffs of RS Putri Surabaya, and others who we can’t mention one by one. We love you.


Monday, June 4, 2012

Me and Social Media


Boleh dibilang gue tuh sedikit latah dengan yang disebut jejaring sosial semacam facebook, twitter, dan lain-lain. Ketertarikan gue dengan mereka ini dimulai kira-kira pada tahun 2008 di mana gue mulai mendaftarkan diri (sign up) di facebook. Itu pun awalnya atas saran teman yang berasal dari Denmark dan Swedia. Setelah mereka menyelesaikan program magang mereka selama sebulan di sini, mereka merekomendasikan situs jejaring sosial ini agar kami tetap dapat berkomunikasi satu sama lain. Awalnya gue cuek, tapi toh akhirnya terbuat juga suatu akun atas nama gue.

Gue masih ingat betul awal-awal dulu tampilan facebook culun banget. Minimalis dalam balutan dominasi warna biru dan putih dengan fitur-fitur yang masih terbatas. Belum dikenal juga konsep linimasa (timeline) seperti sekarang so apa yang kita perbincangkan dengan sobat kita di dinding facebook tidak akan terbaca di linimasa. Jadi untuk masalah privasi, dulu facebook masih ada lah. Dan gue masih ingat dulu awalnya teman gue di facebook tuh masih berkisar puluhan. Cuma ada 8-10 orang selama bulan-bulan pertama menjadi pengguna. Sekarang sih jumlah teman gue di facebook sekitar 300-an. Coba bayangin. Jujur dulu gue nggak nyangka kalo facebook bakal nge-hype seperti sekarang ini, gue pikir facebook bakal berakhir seperti friendster (wait, setelah gue inget2 ternyata gue sempet punya friendster sih dulu , so gue ralat jejaring sosial yang pertama yang gue ikuti nggak lain dan nggak bukan adalah friendster). Dulu gue tuh ngrasa kalo facebook tuh udah paling wah, paling oke sejagad. Yang paling gue suka awal-awalnya adalah orang dengan bangga memakai nama mereka sebagai nama akun. Jadi terkesan elegan. Belum ada tuh fenomena alay-alay jijay. Terus bisa ngunggah foto-foto, ngasih komen ke foto-foto itu. Bikin status yang sekarang gue yakini telah melatih orang Indonesia untuk lebih berani menyuarakan isi pikiran, walaupun terkadang ada sebagian dari isi pikiran itu yang nggak perlu diceritakan di depan umum.

Itu tentang facebook. Terus setelah itu twitter mulai mencoba merebut hati. Di awal kemunculannya twitter kerap dicibir orang karena dianggap kurang akomodatif. Bayangkan orang dipaksa untuk menyederhanakan apa yang ingin mereka sampaikan dalam 140 karakter saja. Sebuah tantangan. Twitter memang hadir dengan konsep microblogging, dan karena alasan inilah gue jatuh cinta kepadanya. Gue memang cukup sering menulis di blog gue di blogger, tapi kelemahannya sering tidak mutakhir sebab ada kesepakatan tidak tertulis bahwa apa yang akan kita tulis di blog kita haruslah tulisan yang berbobot, yang mempunyai kekuatan atau nilai berita. Jadi perlu waktu lama untuk menulis sekaligus memolesnya. Beda dengan twitter yang berupa pesan singkat mirip sms atau semacam memo yang bisa diposkan sewaktu-waktu. Tapi akhirnya fungsi twitter saat ini jadi rancu antara microblogging atau semacam memo atau semacam pelarian untuk membuat status setelah facebook kian lama kian meredup pamornya. Apa pun itu yang jelas gue cukup puas dengan twitter dan hingga sekarang masih merupakan jejaring sosial favorit gue. Gue tercatat sebagai pengguna twitter sejak September 2009. Gue inget waktu itu gue akan ke Bali seorang diri menghabiskan akhir pekan. Dan gue langsung bikin akun twitter dengan harapan bisa menggantikan fungsi jurnal atau buku harian. Sampai saat ini gue juga udah punya akun di tumblr, flickr, youtube, google+ dan terakhir adalah instagram yang telah tersedia bagi pengguna ponsel berbasis android. Dan gue sedang semangat-semangatnya mengeksplorasi instagram yang lumayan mampu mewadahi keusilan gue dalam mendaur ulang foto meskipun gue bukan penggila fotografi. Tapi foto bagus tetaplah foto bagus. Dan di sinilah gue mencoba memahami orang dan dunia sekitar gue melalui foto-foto yang nongol di linimasa aplikasi yang satu ini. Satu hal yang pasti yaitu bahwa situs-situs jejaring sosial telah benar-benar mempengaruhi cara manusia modern dalam berkomunikasi.

Sunday, July 17, 2011

C’est complѐtement FOU

Il y a deux jours qu’on s’est retrouvé. Un rendez-vous du soir dans un typique resto ambulant qui a, en fait, monté au bord du trottoir. Pas le meilleur que l’on pouvait trouver, mais ça va ok car le prix nous convient ;) On s’est discuté les choses qui sont arrivées derniѐrement. Mais, y a certainement une chose qui me rend un peu étonné. C’est un lieu commun de dire que les marié(e)s aiment commettre un adultѐre ici. Et bien, il me semble que cette petite ville est l'endroit le plus ouvert, le plus libéral, le plus accuelillant au monde (aprѐs les États-Unis????) en rapport avec les relations sexuelles hors de la vie maritale. A mon avis, c’est fou!! -Lestroisrebelles-

Wednesday, May 18, 2011

Ada Benjolan di Leherku

Belum selesai sepenuhnya dengan urusan dompet hilang, saya sudah dirundung masalah baru lain. Saya menemukan benjolan di leher saya pada 9 Mei lalu. Cukup besar. Diameter kurang lebih 1-2 cm, palpable, konsistensi padat kenyal, mobile, sedikit nyeri, lokasi di regio coli anterior dekstra di daerah submentum. Tidak sengaja saya raba karena memang tenggorokan saya agak nyeri untuk menelan. Saya menduganya semacam limfadenitis biasa. Tapi saya tetap paranoid, pikiran saya tidak tenang. Beragam diagnosis banding mulai menyerbu otak saya mulai dari kista, struma. Yang paling saya takutkan adalah limfadenitis TB (tuberculous lymphadenitis). Bukannya tanpa alasan saya memikirkan ini sebab di puskesmas cukup banyak penderita TB atau penderita yang datang dengan keluhan batuk darah (hemoptisis, batuk dengan blood streak) yang sebagian besar penyebabnya adalah tuberkulosis. Ditunjang dengan alat pengaman diri yang nyaris absen terutama masker standar di puskesmas. Saya semakin takut sebab ada sejawat yang pernah terkena tuberculous lymphadenitis saat bekerja di poli paru rumah sakit daerah. Pikiran saya mulai seakan-akan membenarkan saya terkena tuberculous lymphadenitis yang semakin menjadi-jadi setelah saya browsing ke sana ke mari. Saya bahkan sudah meminta alamat praktik dari seorang spesialis paru yang kebetulan ayah kakak kelas saya. Esoknya saya konsul kepada teman-teman sejawat di puskesmas. Ada yang berpendapat bahwa itu bisa saja memang TB kelenjar yang terbentuk karena kondisi imun yang prima sehingga kuman TB bisa dilokalisasi di kelenjar getah bening setempat. Ada yang berpendapat hanya limfadenitis biasa sehingga menyarankan saya untuk mengonsumsi antibiotik dan OAINS dan melihat perubahannya. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu sambil mulai menerapi diri dengan ciprofloksasin dan paracetamol. Tapi saya tetap tidak bisa tenang, saya lalu berpikiran untuk melakukan FNAB di Surabaya. Tanpa membuang waktu saya segera memacu sepeda motor menuju RSUD untuk menemui seorang spesialis bedah di poli bedah (tentunya tanpa perlu repot-repot mendaftar di loket hehehe). Saya utarakan masalah saya dan beliau memberikan rujukan untuk FNAB. Setelah itu saya mampir kontrakan mengambil satu dua helai pakaian lalu balik ke puskesmas untuk pamit izin cuti (lagi) pada atasan selama dua hari. Siangnya saya langsung meluncur ke Tulungagung untuk naik bus ke Surabaya. Saya mendapatkan referensi dari sejawat untuk melakukan FNAB di rumah sakit onkologi surabaya. Saya tiba di rsos ini jam 7.30 dan langsung menuju bagian registrasi. Setelah mengisi beberapa formulir, saya diminta menunggu di dekat ruangan pemeriksaan patologi anatomi sambil menunggu dokter senior Sp.PA tiba. Lalu tiba giliran saya, saya masuk ruang tersebut. Dokter Sp.PA memberikan informasi mengenai tindakan medis yang akan beliau lakukan. Penjelasan beliau sangat detil dan profesional. Saya belajar pentingnya membangun hubungan komunikasi antara dokter-pasien. Tidak terlalu sakit tindakan FNAB ini sebetulnya. Setelah menunggu hasil pemeriksaan di bawah mikroskop sebentar, alhamdulillah, ternyata benjolan saya hanya merupakan reaktif hiperplasia. Tidak ada bentukan granuloma dan bukan merupakan kista. Namun untuk lebih menyakinkan beliau menganjurkan saya untuk melakukan pemeriksaan USG leher siangnya. Akhir cerita hasil USG menunjukkan tidak ada yang perlu dicemaskan dengan benjolan tersebut. Saya pun bisa bernapas lega. Yang jelas saya sangat merekomendasikan RSOS sebagai tempat memeriksakan diri untuk mendapatkan pelayanan spesialistik dalam bidang onkologi.

Ketika Dompetku Hilang

Tanggal 25 April lalu dompet saya hilang. Dompet itu saya perkirakan jatuh di jalan dalam perjalanan pulang ke rumah kontrakan setelah saya membeli makan siang di sebuah kedai tahu lontong tidak jauh dari alun-alun kota Trenggalek. Saya benar-benar tidak sadar saat dompet itu jatuh. Yang pasti dia telah raib saat saya memarkir sepeda motor saya kembali di kontrakan. Sadar dompet saya tidak berada di saku, saya bergegas menyusuri kembali rute yang baru saja saya lalui dengan sepeda motor. Hasilnya nihil. Saya sudah susuri rute tersebut sebanyak TIGA kali yang melewati jalan Soekarno-Hatta ke utara memutari alun-alun kembali lagi ke selatan, belok ke timur melewati jalan Kartini (Pasar Pon), Kejaksaan Negeri Trenggalek. Kecewa, marah, takut, syok, cemas bercampur aduk menggelayuti pikiran saya. Padahal selisih waktu antara hilangnya dompet dan usaha saya untuk menelusuri kembali (saya sudah mengajak seorang teman dan termasuk bertanya ke sana-sini pada orang-orang di pinggir jalan) kurang dari lima menit. Jumlah uang dalam dompet itu tidak seberapa, hanya sekitar 25 ribu, tapi semua dokumen dan identitas diri bak lenyap ditelan bumi. Bersamanya saya kehilangan KTP, SIM A/C, STNK sepeda motor, dan sebuah kartu ATM Mandiri. Celaka dua belas. Sebetulnya saya pernah mengalami kejadian yang nyaris serupa sebulan sebelumnya, namun syukurlah ada orang yang berbaik hati berkenan mengirimkan dokumen-dokumen tersebut ke alamat saya di Surabaya. To err is really human, but c’mon once bitten twice shy gitu lho. Saya merasa benar-benar teledor. Saya memutuskan untuk untuk tidak langsung menelepon orang tua saya dengan harapan masih ada orang baik di luar sana yang bersedia menghubungi saya atau semacam itu lah. Saya hanya bercerita kepada teman-teman sekontrakan dan teman-teman di puskesmas tempat saya bekerja. Tak lupa saya segera bergegas menuju Bank Mandiri terdekat untuk melakukan pemblokiran (yang ternyata bisa dilakukan dengan menghubungi 14000). Sore hari teman saya yang sedang tugas jaga sore di UGD puskesmas menelepon saya bahwa ada salah satu bapak perawat yang bisa membantu saya menemukan dompet itu dengan bantuan seorang temannya yang memilki kemampuan cenayang.

Monday, March 28, 2011

Being Handsome Versus Being Good-Looking: Which one do you find more flattering?

Kurang lebih satu jam yang lalu saya pergi ke alun-alun kota Trenggalek mencari sesuatu untuk makan malam. Saya menjatuhkan pilihan pada salah satu kios/warung kecil di sebelah timur alun-alun yang menyediakan nasi pecel. Kemudian saya duduk mengantri setelah meminta kepada sang ibu penjual untuk membungkuskan satu porsi nasi pecel. Lima menit berlalu dan saya beranjak untuk membayar dan mengambil pesanan saya. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara dari arah belakang yang memanggil “Mas, mas ‘jenengan putrané sinten tho?” (terjemahan: “Mas, mas Anda putranya siapa ya?”). Ternyata dia adalah bapak berusia paruh baya yang juga sedang membeli makanan di situ. Dia terlihat begitu penasaran dengan sosok saya (hahahaha I felt funny somehow). Lalu saya jawab, ” Putrané Pak B***” (saya bergumam dalam hati: emang loe kenal bapak gue). Dia balik bertanya, “Pak B*** sinten tho?” “Anu pak, kula sanes tiyang Nggalek. Kula saking Tulungagung, nembe mawon dines ‘teng mriki” (terjemahan: “Anu pak, saya bukan orang Trenggalek, saya dari Tulungagung, baru saja berdinas di sini) , saya balas menjawab. Lalu bapak itu mulai berkelakar dalam bahasa Jawa yang kalau diterjemahkan kira-kira seperti: “Lha iya kok bagus (ganteng) banget , saya kok meragukan di Trenggalek ini ada orang sebagus Anda”. What the f***??!! For an instant I couldn’t believe my ears. Komentar orang ini cukup membuat saya malu di depan umum apalagi sang ibu penjual pecel dan penjual minuman di sebelahnya ikut-ikutan mengiyakan komentar bapak tadi. Duh. Saya langsung cepat-cepat angkat kaki dari warung itu. Tapi omong-omong kenapa saya merasa (atau saya yang gedhe rumangsa alias ge-er) semenjak saya pindah ke kota Trenggalek ini, orang melihat saya dengan pandangan yang tidak biasa, lumayan berbeda dengan yang biasanya saya terima di Surabaya. Sumpah saya ke-GR-an sebab saya merasa wajah dan penampilan saya biasa-biasa saja. Saya bukanlah aktor, artis, pesinetron ataupun pesohor yang biasa mereka lihat sehari-hari di layar kaca. Juga bukan politisi terkenal, mafia pajak atau koruptor apalagi. Jujur saya benar-benar merasa saya hanya lelaki biasa dengan penampilan yang sederhana. Saya merasa cukup heran jika ada orang yang menganggap saya menarik (Do I sound too naïve here??). Walaupun ini bukanlah kali pertama saya mengalami kejadian ini, masih saja saya merasa belum terbiasa. Pernah juga pada waktu kami diperkenalkan oleh kapus kepada para stafnya, ketika giliran saya memperkenalkan diri tiba-tiba beberapa staf nyeletuk: lho ini dokter apa peragawan. OMG, what the f***? Saya tahu mungkin mereka bermaksud bercanda, atau menggoda, atau entahlah, but c’mon could they just keep that thought for themselves. Why did they feel the urge to speak it out? It seriously made me feel awkward hu hu hu. If I were that good, I swear I’d pose naked for Cosmogirl magazine hahaha.

Mungkin ini waktunya untuk menyadari bahwa ada yang berubah dalam kultur masyarakat Jawa. Orang-orang Jawa yang sekarang bukanlah mereka yang dulu dikenal sebagai orang yang gemar memendam pendapat atau perasaan. Pesatnya kemajuan teknologi agaknya berhasil mengubah atau bahkan mengenyahkan sifat kekolotan itu. Dan saya rasa ini perubahan yang cukup baik, mungkin saya yang yang terlalu reserved. Tetapi apapun itu saya tetap bertanya-tanya pada diri saya sendiri, sudahkan cara pandang mereka terhadap dunia ikut berubah?? Berikan saya waktu untuk mengamati lagi. Salam hangat dari Trenggalek.

Tuesday, March 8, 2011

Une Petite Blague à la française

par Ms. Guntur Suyasa

A la ferme, le cheval est malade. Le vétérinaire dit au paysan :
Je lui injecte un remède, si dans trois jours il n’est pas remis, il faudra l’abattre.”
Le cochon qui a tout entendu, dit au cheval: “Lève-toi !”
Mais le cheval est trop fatigué.
Le deuxième jour le cochon dit: “Lève-toi vite !”
Le cheval est toujours aussi fatigué.
Le troisième jour le cochon dit: “Lève toi sinon ils vont t’abattre !”
Alors dans un dernier effort, le cheval se lève.
Heureux, le paysan dit: “Faut fêter ça: on tue le cochon !”


Moralité : Toujours s’occuper de ses affaires et fermer sa gueule.

Tuesday, February 15, 2011

La premiѐre partie: Notes Des Médecins Stagiaires à Trenggalek, Le Déménagement


Sun rises over nearby hills in Trenggalek


Meet the gang,there are 15 of us. Fresh grads of Airlangga med school, adventurous, smart, cool, energic, loveable and low-paid (not jokingly said cuz we think it’s something to be proud of T_T). And this is Dian Prakoso, MD writing ;PAlign Center
Since February 5, the East Javanese small town of Trenggalek has officially been a place I call home for a year ahead. Trenggalek is 186 km away from the provincial capital of Surabaya that equals some 4-hours trip by car. People might not have any ideas how much I really wanted it to be. I had waited for long to live separately from my mom and dad, and at last that day arrived this February. I couldn’t be happier. Trenggalek is at the very opposite pole of Surabaya. Both are simply incomparable in terms of the pace of development. Completely like heaven and earth. Trenggalek is very much a sleeping laid-back hamlet. The town centre is not supposed to exceed 2x2 km in dimension. Fringed by endless rice fields, nearly surrounded by hills and mountain, the town occupies an area of fertile valley making it naturally susceptible to annual floods. The worst of it took place back in 2007. To make the thing sound worse, people really need to have a proper insight that touring the town center after 7 pm is like attending a funeral ceremony. It’s nearly no signs of life you can observe at every corners during these hours, not even the townsquare that’s just filled with dozens of street vendors selling tasteless food. Mama mia. The rumours have it that the town is moderately haunted, but luckily we’ve not yet seen any ghost sightings here, not once. T_T

For housing, we decided to rent a quiet fashionable house not far from the town market. Only 6 out of 15 who’ll live in the house, the others go with their own preference for housing. Our new house was formerly resided by a local tycoon owning more than a dozen of jewellery shops scattering across East Java. For the rent we have to pay 9 millions IDR a year. We thought it was a good bargain since we knew our colleagues who got stationed in neighboring town of Pacitan had to pay some 34 millions IDR for a house shared by 12. By the time we set foot in the house, it was a complete mess. The floors and the walls are all awfully dusty. The ceilings are covered by spider webs, not to forget the missing lamp bulbs there and here and the dysfunctional water pump machine. It was like a wreckage that it needed tons of clean ups. But fortunately all of us were willing to give a hand and we started to work on them. All set by the end of the day, except for the water pump since we had to call the mechanic from the nearby town of Tulungagung. We got it fixed by the next day.

For transportation we brought here 3 motorcycles and a car all the way from Surabaya. Transportation is rather difficult here. The only way you can get out of town is by taking a bus.

Two days after we met some lead figures of the medical service in this town, but most importantly we got introduced to our dearest supervising doctors i.e. dr. Fonyta Sugianto and dr. Lilik Rahaju. They’re among the senior general practitioners at the hospital in which we’re going to work. They, just like everyone we’ve met here, are extremely nice, supporting, and helpful. They are the ones responsible for making this internship stay on the right track. We promise to carry on this program as well as possible in a hope not to let them down. We do love them both just like we love our own parents.

We’re split into three smaller groups of 5 to do the working rotations as follows: community health centre, out-patient unit, ER for 4 months respectively. We’ll start working by February 21, so for the time being we’re on our 2-week orientation period.


A road scene in Trenggalek, Jalan Soekarno-Hatta

Doing the errands in the traditional markets of Trenggalek (up) and another road scene, Jalan Kartini (below)

Wednesday, February 2, 2011

ONLY DEAD FISHES GOING WITH THE FLOW

Wrote my friend on her Blackberry Messenger’s tagline. For some mysterious reasons that saying went straight to my heart as it was heavent-sent. We’ve heard enough another most-repeatedly cited saying eg “let it flow” that comes with a vague message. The message that encourages us to diminish our survival power, the message that counsels us to stop believing in both our inner voice and strength. But now the time has arrived for us to break down the myth spread by this untrue saying by embracing the new one I wrote as the title of this posting. IMHO it comes as a perfect replacement for the former as it carries a simple yet profound message eg that life always calls for those who struggle, fight for and strive for the best. Now’s our time to realize that we own the rights to direct our destiny and to choose the lifepath we’ll be living with. We’re unstoppable.

Thursday, January 20, 2011

Monday Confession: I Feel So Uneasy Somehow

Le 10 janvier 2011

I’m writing these lines while watching TV. There’s a good movie playing called “Goal”. Such a moving one that makes need to choke back my tears (Nope, I’m bragging), Well as everybody knows ten days have elapsed since the world wished me a happy new year. It’s crazy and here I am. I’m now basically waiting for my internship to start in this February hopefully (the VERY first one of its kind in my faculty, so my batch happens to pioneer it). Yes I’m merely waiting as I haven’t done anything big since my trip to Bandung. I mean, meanwhile most of my friends of my batch start to make some money on their own by working in a clinic or whatever. I must be satisifed with being “a security guard”, keeping an eye for my (my parents’) house. Doing the manual work that the Frenchmen call faire le ménage. Je sais que ça sonne dérisoire, mais je sens que j’ai pas de choix. I don’t wanna work as long as I don’t get my license out yet because the penalty looks so serious. I simply don’t wanna get tried and fined since there’s not much in my bank account (you can say it’s almost empty). I’d never ever let the prosecutor see me as an easy target in case i dit it and got caught . That’s one point. I always make myself believe and I listen to my inner voice, just like what Billy Joel says “What’s the hurry about, you can’t be everything before your time.” And I don’t think the time has arrived for me, however I don’t think I let the chances fade. Not at all. I’m recharging during this lengthy period I’d rather call les vacances d’hiver, the winter holiday. February will see me start everything from the bottom again. Je vais faire un stage de huit mois dans un hôpital périphérique et de quatre mois dans un centre de santé communal. Mais je ne serai pas seul evidemment. J’aurai toujours mes amis. To be honest, this frightens me a little bit, not only we’ll be the first batch of our medical school being involved in this trial and error program, but also it’s more of the fear of being exposed in an utterly new milieu. It’s not that I think I won’t be capable of coping with all these stuffs, I’m all for new challenges anyway. As I stated above, we’re all about to start everything from the bottom. Like building a home on an abandoned land. It will be about the communication, the group dynamics, coming across with strangers that sometimes requires us to be an ice-breaker, and probably with some “newly-invented” procedures to deal with some medical cases. Who knows and I’m not in a position to answer it. Gaining self-confidence is not an easy thing indeed. Hope things go as expected. Catch you soon!!

KEBANGGAAN SEMU TERHADAP TIMNAS SEPAKBOLA INDONESIA

Pertandingan final kejuaraan sepakboa AFF leg ke dua pada 29 Desember kemarin agaknya sulit terhapus dalam benak rakyat Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini tidak lain sebab tim nasional kita ditaklukkan secara agregat 4-2 oleh tim nasional Malaysia sekalipun kita menang kemarin. Setahu saya tahun ini adalah kali ke empat kita menjadi finalis, sekaligus kali ke empat kita bercokol pada posisi ke dua. Empat kali kesempatan memeluk piala AFF tersebut terlepas sudah. Sampai kapan lagi harus menunggu.

Namun bukan itu yang ingin saya bicarakan. Cara kita menyikapi kekalahan timnas kita itulah yang kadang membuat saya heran. Kebetulan saya adalah pengguna twitter yang cukup aktif sehingga saya tahu dan mengikuti timeline dan trending topics sebelum, selama, dan sesudah pertandingan kemarin. Umumnya isi timeline maupun trending topics tersebut berputar pada rasa bangga pada timnas walaupun kalah dalam kejuaraan ini. Saya sungguh heran dan takjub. Kebanggaan macam apa itu. Sekarang banggakah Anda jika anak Anda tidak naik kelas, banggakah Anda selalu menjadi seseorang dalam barisan belakang. Bagi saya kebanggaan seperti itu adalah kebanggaan yang salah alamat, kebanggaan semu berkedok nasionalisme. Kebanggaan macam itulah yang menurut saya malah menjerumuskan timnas (atau mungkin PSSI untuk lebih adilnya). Karena rakyat sudah sangat-sangat bangga dengan timnas sepakbolanya yang hanya berada di peringkat dua selama empat kali. Mungkin inilah yang barangkali menjadi alasan PSSI enggan berubah. Kita terlalu puas dan berbangga diri dengan prestasi yang belum layak mendapatkan pengakuan.

Kebanggan itu tidak dapat dipaksakan, jangan latah menjadi bangga hanya karena mayoritas juga bangga. Kebanggaan akan lahir secara alami dari prestasi yang memang layak diteladani. Dan kebanggaan seperti itulah yang saat inim tengah dirasakan rakyat Malaysia. Namun yakinilah bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bersangkut paut dengan prestasi sepakbola (maupun prestasi olahraga). Akan lebih masuk akal jika kita mencurahkan seluruh kekuatan kita untuk memperbaiki ekonomi dan pendidikan kita yang hasilnya bisa dinikmati seluruh rakyat. Dan jangan lupa bahwa pemerintah masih punya tanggungan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang belum tuntas seperti nasib korban luapan lumpur di Sidoarjo, skandal Bank Century, skandal kriminalisasi KPK, skandal mafia pajak, dan lain-lain.

Friday, December 17, 2010

Empati dalam Kereta Api Ekonomi




Cuaca Sabtu pagi itu cerah, secerah wajah enam sekawan yang sedang mengantri tiket di Stasiun Gubeng. Masing-masing dengan tas punggung yang tampak berat. Nyaris saja mereka tidak mendapatkan tiket kereta api tujuan Bandung.


“Sudah benar-benar habis ya mbak?”, tanya seorang dari mereka kepada petugas di kaunter tiker.

“Sebentar mbak.”, sahut si petugas sambil memencet telepon dan beberapa saat kemudian ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Lalu ia mengakhiri percakapan. Menyodorkan enam lembar tiket berharga 38 ribu per lembar kepada enam sekawan.

“Wah kita beruntung. Nyaris kita batal berangkat ke Bandung.”, kata si A.

“Kan sudah kubilang seharusnya kita memesan tiket sebelumnya.”, si B beropini.

“Emang bisa ya,kan kereta yang kita tumpangi ini kereta ekonomi?”, yang lain menimpali.

Pembicaraan terhenti sesaat sebab kereta api telah tiba di stasiun itu. Tergopoh-gopoh mereka mencari gerbong nomor 5 di mana mereka akan duduk sesuai dengan yang tercetak pada tiket yang telah dibeli. Mereka terlihat bingung karena nomor gerbong tidak tertera jelas di luar gerbong. Mereka nampak bertanya pada seorang petugas.

“Hei ini tempat duduk kita!”, teriak si D.

“Alhamdulillah, untung masih sepi.”, ujar si E

Mereka lalu meletakkan tas di atas tempat duduk dan menghela napas. Saling berpandangan puas. Namun tiba-tiba ketenangan itu terusik oleh sekumpulan orang yang mengatakan bahwa enam sekawan itu duduk dalam gerbong yang salah.

“Ga mungkin pak, tadi saya sudah tanya sama petugasnya sendiri.”, si D dan F ngotot.

“Lho saya juga barusan diberitahu sama petugasnya!”, orang-orang tersebut tidak mau kalah.

Akhirnya enam sekawan beranjak mencari “gerbong lima”. Ketemu dan mereka duduk lagi.
Lima belas menit berlalu, kereta api tiba di stasiun Wonokromo. Lagi-lagi mereka dibuat terkejut oleh sekumpulan orang yang memegang tiket dengan nomor tempat duduk dan gerbong yang sama. Sontak silat lidah pun terjadi, untung tidak berlanjut menjadi baku hantam. Lidah-lidah kedua kubu sama-sama terasah rupanya sehingga sebagai jalan tengah enam sekawan tersebut terpaksa rela berbagi tempat duduk dengan orang-orang yang bagi mereka terlihat sebagai penyusup itu.

Enam sekawan ini berasal dari keluarga yang sebetulnya secara finansial mampu membeli tiket kereta api kelas premium. Namun berhubung mereka baru saja lulus dari sekolah kedokteran dan kebanyakan belum bisa mencari duit sendiri (he he), mereka memutuskan mencoba hal baru seperti naik kereta ekonomi ini. Yang lebih pro rakyat, seperti yang diakui kebanyakan penumpang kereta itu.

Si D berulang kali menyeka keringat yang tak kunjung berhenti mengucur dari tubuhnya. Sial, pikir si D. Kondisi gerbong itu sungguh merupakan pemandangan yang aduhai ajaib baginya. Kipas angin tak menyala, ah pantas panas sekali hawa saai itu. Penumpang, tua muda, asyik menghisap rokok. Tanpa rasa berdosa meskipun asapnya jelas-jelas mampir di muka penumpang wanita yang duduk di depan, di sebelah, atau di samping mereka. Salah satu di antaranya memutar lagu pop dari hapenya keras-keras, playlist-nya dari sejumlah band pendatang baru dengan lirik lagu yang picisan. Tampak pula sangkar burung yang disarungi kertas koran dan digantung dekat jendela. Entah apakah cara tersebut akan berhasil membuat burungnya tidak stres atau justru si burung makin frustrasi seperti halnya enam sekawan ini. Tak seorang pun dari enam sekawan itu terlibat dalam percakapan panjang dengan penumpang lain. Paling sebatas bertanya akan turun di mana si X,Y,Z atau memberikan sepotong kue kepada anak kecil yang tampak lapar. Mereka lebih asyik berbicara sendiri.

Koar-koar para pedagang asongan riuh rendah, naik turun silih berganti. Luar biasa. Mereka menjual apa saja. Makanan, minuman,mainan, hingga buku resep masakan. Satu-satunya yang menarik bagi enam sekawan ini adalah pedagang nasi pecel. Harga murah, sebatas mengganjal perut. Para pengamen dan waria tak mau kalah untuk ambil bagian. Oh ya selama perjalanan ini mereka sama sekali tidak beranjak dari tempat duduk, bahkan untuk buang air kecil sekalipun. Telah terjadi kesepakatan tanpa didiskusikan. Mereka tahu risikonya jika mereka berani melakukannya. Alhasil, mereka sepakat melakukan restriksi cairan dengan membatasi cairan yang masuk serta pantang minuman berkafein, paling tidak hingga kereta tiba di Bandung pada pukul 21 seperti yang tercetak dalam tiket.

Tiba-tiba kereta berhenti di tengah hutan antah-berantah untuk kali ke sekian. Kereta ini harus mengalah, mendahulukan kereta yang harga tiketnya lebih mahal. Mungkin karena terlalu sering berhenti kereta tiba di tujuan tepat tengah malam.Mungkin pada saat hari telah berganti. Mungkin.

Ah inilah potret kita yang sebenarnya. Begitu lebar dan kentara jarak antara si kaya dan si papa. Sungguh kasihan mereka. Untuk melakukan perjalanan jauh saja mereka harus bersusah payah. Sungguh suatu perjuangan. Sulit rasanya membayangkan kondisi kereta macam ini pada saat mereka pulang ke kampung halaman pada hari raya. Tampaknya tak ada yang peduli. Mengapa mereka tidak melawan. Mengapa mereka diam dan pasrah. Tidakkah mereka menginginkan perubahan? Ah rasanya tak perlu dijawab.

Wednesday, December 8, 2010

Norwegians and Temperatures





By Kjersti Magnussen


+15oC/59oF
This is as warm as it gets in Norway, so we’ll start here. People in Spain wear winter-coats and gloves. The Norwegians are out in the sun, getting a tan.


+10oC/50oF
The French are trying in vein to start their cemtral heating. The Norwegians plant flowers in their gardens.


+5oC/41oF
Italian cars won’t start. The Norwegians are cruising in cabriolets.


0oC/32oF
Distilled water freezes. The water in Oslo Fjord gets a little thicker.


-5oC/23oF
The Brits start the heat in their houses. The Norwegians start using long sleeves.


-20oC/-4oF
The Aussies flee from Mallorca. Their Norwegians end their Midsummer celebration. Autumn is here.


-30oC/-22oF
People in Greece die from the cold and disappear from the face of the earth. The Norwegians start drying their laundry indoors.


-40oC/-40oF
Paris starts cracking in the cold. The Norwegians stand in line at the hotdog stands.


-50oC/-58oF
Polar beras start evacuating the North Pole. The Norwegians army postpones their winter survival training awaiting real winter weather.


-70oC/-94oF
Santa moves south. The Norwegian army goes out on winter survival training.


-183oC/-297,4oF
Microbes in food don’t survive. The Norwegian cows complain that the farmers’ hands are cold.


-273oC/-459,4oF
ALL atom-based movement halts. The Norwegians start saying “Faen, it’s cold outside today.”


-300oC/-508oF
Hell freezes over. Norway wins the Eurovision Song Contest.

Monday, November 29, 2010

Sunday, November 7, 2010

Marit Larsen and Obsession

Imagine you wake up in a perfect Saturday morning with a thick smell of mouth-watering muffin in the air baked by your girl. Then you preceed to the kitchen and find her pouring the dough into the cake-tins watchfully. You see the love and tender in her eyes. Suddenly you feel you’re the luckiest guy on earth to have her with whom you’re spending the rest of your life. The very naked truth ;)





Above: Marit Larsen, home-made muffins in the making. This talented Norwegian singer-songwriter thinks she’d make a good housewife, admitting she can spend 2-3 hours in the kitchen preparing food while expecting the new ideas for writing songs to pop out. She’s already had a boyfriend named Thom Hell, who’s just also a great musician. What a perfect couple!

Credit to Halvard for scanned picture ;)

Friday, November 5, 2010

Halloween: la fête commence

Un peu d’histoire
La fête d’Halloween a été inventée par nos amis les Gaulois, il y a 2500 ans. A la fin de l’été, l’année gauloise se terminait. Les animaux quittaient leur pâturage pour rentrer dans les étables. Pour remercier le soleil de la bonne moisson, les Gaulois organisaient dans la nuit du 31 octobre au 1er novembre une fête qu’ils avaient baptisée Samain. Lors de cette fête, les Gaulois éteignaient tous les feux puis se ressemblaient autour des druides (prêtres gaulois) qui avaient pour mission d’éteindre officiellement ces anciens feux pour en rallumer un autre afin d’honorer le soleil et chasser les mauvais esprits. Tous les Gaulois recevaient une braise de ce feu pour, à leur tour, allumer un nouveau feu qui devait durer toute la nouvelle année. La fête durait deux semaines. Afin de chasser les mauvais esprits, les Gaulois mettaient sur eux des tenues effrayantes. Ils mangeaient et buvaient, bref, faisaient la fête.

De Samain à Halloween
C’était les premieres pas vers, ce qui sera, des siѐcles plus tard, la fête de Halloween. Vers l’an 840, Samain a été mis dans le calendrier chrétien. Cette fête a été ensuite appelée Toussaint par le pape Grégoire IV. Le mot anglais serait né en cette période et devint “Hallowe’en” veille de la Toussaint puis Halloween. Cette fête a été ensuite suivie par les Irlandais, les Ecossais, les Gallois.
A la suite d’une grande famine qui poussa ces peuples à émigrer aux Etats-Unis, Halloween est devenue une fête nationale aux Etats-Unis.

Source: TBA ;)

Les experiences inoubliables

A Few Little Things From The Past I Won’t Let Go
If man could really invent a time machine, it would seriously be a technological triumph as well as a priceless contribution towards civilization. It would enable us to do tons of beyond-imagination things. We’d possibly get the luck to have a rendez-vous with our grand, grand, grandparents or to witness from afar by the day Krakatoa exploded massively back in 1883; to break down the mystery of how Madagascar was populated etc, etc. Just too many possibilities. But there’d be no such thing we called history if such machine did exist, wouldn’t it? So we’d better stand lightyears apart from it. As for me, I do have some memories which are too sweet to get over. But I mostly find that the memories of my childhood are the hard ones to recall. Perhaps my childhood wasn’t that interesting that it wouldn’t turn itself into a long-term memory. Overall in this ever-expanding universe, it’s strange to think that all adventures have an end. So nasty knowing we’ll leave this world in the end, that every living creatures has to breath his very last breath. Oh la la life is so whimsical ;)

≠1. One day I was sitting in a cafe with my Danish and Swedish friends. While waiting for the orders, we broke into a conversation. Having known I knew some Norwegian, he challenged me to say something in it. So I said a simple sentence, “Jeg tror vi kan gå på kino i dag (I think we can go to the cinema today)”. They both could got it. That way I proved that the mutual intelligibility among Scandinavian languages wasn’t a myth ;)

≠2. I made my first air trip from Solo to Surabaya when I was in my second or third year of primary school. The flight itself lasted only some 30 minutes, but it surely had a deep impact in the innocent me. I’ve been fascinated by airplanes ever since.

≠3. I had a hard-to-please English teacher during my second year of middle school. Being her student meant we had to have a good memory as every week she obliged us to remember by heart the conjugation list of irregular verbs she made. If not for her, I could hardly think what would happen to my English today. She really laid the building blocks for improving my English. A grace in disguise, isn’n it?

≠4. I had my first Mc. Do’s big meal hamburger during a layover in Bali on my way to Japan. I got the impression that munching burger in the middle of the night was awfully awful. I couldn’t find out why.

≠5. My 5 day trip to Japan in 2000 was more than I bargained for. FYI, I went to a small town on Shikoku Island called Kochi to represent Surabaya in education exchange program. Both towns were twinned on a sister city program. But they didn’t ressemble much, frankly speaking ;). Japan was, like the rumours had it, convenient. I love the Kansai Airport in Osaka, so biggy and looked futuristic. And when in Kochi I did a lot of tour: visiting some schools, visiting some interesting places in the town, learning how the garbages was recycled and managed carefully and attentively (they had a huge building with a giant garbage-processing machine in it), most importantly I had the chance to stay overnight by a Japanese family. Though I didn’t speak any Japanese, I could always find the way to communicate with them. But we’ve now somewhat lost contact to each other.

≠6. Long before English started to intrude Indonesian vocabulary, one used to call a flat or an appartement as kondominium. On a train to Bandung, I saw that kind of buliding. Moments later I screamed enthusiastically, “Papa, look, there’s a tall and huge kondom (instead of saying kondominium)”. I bursted out like crazy that my dad had to cover my big mouth ;) Guess, it was a bit embarassing for my parents.

≠7. I was so excited knowing I was accepted in a medical school through the national college entrance exam after a series of flops. Didn’t know exactly how come I could make it. It was fated maybe.

≠8. Graduating from my highschool was perhaps the happiest moment in my life. Some say that highschool is the best stage in your lifetime. But it just didn’t work on me. I just couldn’t get along well with it.

≠9. One should really see the sunrise over Mt. Bromo and the sunset over Uluwatu Temple in Bali. I insist!!!!!!!!!!!!!! And Lombok’s Kuta beach and Gili Trawangan are my revelations of the year!!!!!

≠10. I miss Saudi Arabian city of Madina!!!!!!!! It’s always in my heart!

≠11. The rest is mine to keep ;P

Friday, October 22, 2010

WHAT A DRAMATIC WAY TO END THIS UP

Speechless. Tidak tahu lagi harus berkata apa. Yang jelas saya amat-amat bersyukur dengan apa yang telah terjadi dalam hidup saya dalam sebulan terakhir (baca: RES). Hari tepat hari terakhir saya stase sebagai DM RES peadiatri. Adios amigos ha ha. Hari juga sekaligus hari ujian lisan saya, ditangguhkan satu hari sebab profesor yang menguji saya, Prof. Dr. Sylvie Damanik, berhalangan hadir kemarin. Menurut kabar sih beliau enak banget kalau menguji. Dan saya benar-benar beruntung berkesempatan diuji oleh beliau. Ujian dimulai pukul 9 pagi tepat. Saya mendapatkan kasus kejang demam komplikata plus faringitis akut. Alhamdulillah pertanyaannya satu per satu bisa saya jawab dengan tenang (padahal aslinya tetap gugup abis). Beliau bertanya seputar kasus saya, lalu tentang infeksi virus dengue dan demam berdarah, imunisasi (ini saya diberi kesempatan untuk memilih pertanyaan oleh saya sendiri lho), terus pertanyaan pamungkas oleh PPDS pendamping saya yang super nice, dr. Debby ;). tentang diare. That was all. Alhamdulillah nilai ujian lisan ini lebih dari cukup he he. Hidup saya dalam sebulan terakhir ini tak ubahnya seperti roller coaster going up and down. Banyak suka dan duka, tapi asli happy banget bisa mengisi waktu dengan RES he he. Hitung-hitung les intensif buat UKDI. Menjadi DM RES telah melatih rasa empati saya baik terhadap teman-teman sejawat (you know who you are). Pun saya beruntung mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan para pasien pediatri. Jujur saya juga lebih sedikit ngeh tentang ilmu pediatri daripada saat awal saya masuk lab ini. Yang jelas saya sangat bersyukur. This turned out to be a sweet revenge for me. Ujian tulis ga UP (yah walaupun ngepas banget nilainya) dan nilai ujian lisannya mungkin rekor tertinggi selama saya menjadi DM. Sekali lagi alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, Kau telah mendengar dan menjawab semua pintaku. Teman-temanku sejawat yang juga RES di pediatri, thanks a lot!! What would my life be without your constant company and support. We made it finally ;) !!!! Dan juga untuk mama dan papa. Let the next show begin! UKDI waits for me, Insya Allah!!!

Friday, October 15, 2010

Ain't Playing A Sinking Game

I'm writing this from a cyber cafe of our faculty's library an hour after the bloody pediatric written exam. All went well just as expected. Thanks a lot my dear God, I was at least a bit relieved. Most of the presented exam problems hailed from the prior old exams. Now I can myself a really lucky jerk and expect a couple of days off this weekend. After that I'll just have to start my engines for the next bloody oral exam. Blah.

P.S.: I can sense somehow that Bangkok is calling me. It keeps ringing in my ears!!! To be honest I've been trying to persuade both my parents to make a trip all the way to Bangkok. I've been telling them repeatedly that Air Asia has now had a direct flight there from Surabaya since this November. And now they seem to be under my spell he he. Let's see how it ends ;)