Showing posts with label travel in style. Show all posts
Showing posts with label travel in style. Show all posts

Monday, January 21, 2013

Le grand voyage à Bandung

La ville de Bandung est la capitale et la plus grande ville en Java Ouest. Elle est située géographiquement dans une vaste valée donc on y aperçoit qu'elle est entourée dans toutes les directions par les montagnes couvertes de brouillard tout le temps. C'était pour toute la première fois que j'y ai voyagé en avion. Il a fallu une heure et quelques minutes pour faire Surabaya-Bandung. Il faisait très beau au moment où nous nous sommes envolée de l'aéroport de Surabaya, mais il y avait des nuages noires en voie d'atterissage à l'aéroport de Bandung. J'ai appris tout à fait que celui de Bandung est trop petit pour qu'on puisse l'appeler un aéroport international. Il manque des éléments nécessasires tels que les ponts aériens, des tapis roulants appropriés, les toilettes propres etc. Il se trouve dans un quartier si peuplé à l'ouest de la ville et on a de l'avantage de n'avoir besoin que 5 minutes pour arriver au centre-ville (à condition qu'il n'y ait pas de bouchons). La ville n'a qu'un petit nombre des gratte-ciels donc ça nous permet de jouir de la beauté des montagnes lointants.

Le chauffaeur de taxi nous a conduits à l'hôtel Grand Panghegar où nous sommes restés durant notre séjour. Cet hôtel 4 étoiles se trouvait confortablement au bout sud de la rue Merdeka duquel le centre historique de Bandung est à quelques minutes de marche. Notre chambre était au 10e étage qui nous offrait une vue sur les lumières de la ville quand la nuit tombait. Quelle chambre idyllique! Après s'être détendu en certaines minutes, on a continué notre aventure au parc d'attractions en salle de trans studio. Il s'y trouvait pas mal d'attractions qui étaient remarquablement similaires à ceux du premier trans studio de Makassar en Célèbes-Sud. A mon avis il n'y avait qu'un où deux attractions qui valaient la peine, à savoir Vertigo et Giant Swing. Vous allez avoir des nausées et des vertiges après un essai, je peux vous garantir. Malheureusement je ne voyais pas l'interêt d'y plus longtemps rester hormis mes parents et mon petit frère. L'après-midi on est retounés à l'hôtel pour faire la sieste. On a passé le soir à faire du petit shopping dans un "factory outlet" Rumah Mode. Chez les français, ça s'appelle peut-être un magasin d'usine. Selon le wikipedia il se définisse comme étant «un magasin qui vend directement des produits du fabricant au consommateur. Le but est d'écouler des surstocks, fins de série et articles de second choix ou présentant des défauts». En fait, faire du shopping est l'un des meilleurs moyens de très bien s'amuser à Bandung en dehors de sa gastronomie pour laquelle la ville est fameuse. 

Le deuxième jour de l'escapade, on se mettait à faire plus de shopping dès qu'on a fini le petit-déjeuner. Au commencement, on s'est décidés à partir en longue promenade le long de la rue Braga, Asia-Afrika jusqu'à la place de la ville et puis tourner vers la rue Otista pour visiter Pasar Baru (le marché neuf). Là, chacun de nous a pris son chemin pour trouver ce qu'on avait désiré. Tout est en vente ici, à tous les prix et dans un grand choix de couleurs. On prenait un taxi après pour aller aux magasins d'usine dans la rue Riau. On y a visité seulement deux, à savoir the Heritage et the Cascade (qui est situé juste à côté de celui-là). Cela a été une sage décision de dépenser de mon argent là, ce dont on avait besoin étaient en vue. Ces deux magasins d'usine sont parmi les meilleurs en ville. Bandung a vraiment la tendance à faire quelqu'un en accro du shopping, soutenu par la culture locale largement repandue que l'apparition physique est tout devant quoi qu'il arrive. En bref, Bandung est une destination touristique très recommendée aux gourmandes aussi que à ceux qui veulent toujours se mettre à jour par rapport à la mode contemporain.

Monday, June 4, 2012

Travelling to Singapore


232425 Maret 2012

At a corner of a street in a quarter with European flavor 
Akhirnya kesempatan itu datang juga untuk menikmati liburan akhir pekan di Singapura, negara jiran tercinta (blah). Tiga hari dua malam cukup lah untuk berehat sejenak dari kepenatan kerja. Rencana kami kali ini adalah mengunjungi Pulau Batam lalu menyeberang ke Singapura dengan mempergunakan ferry. Seperti biasa juga kami mempergunakan jasa travel agent untuk mengatur semuanya dalam perjalanan ini, kecuali pembelian tiket pesawat yang diurus bapak. Saya? Tinggal pasang badan (shame on me). Kami naik pesawat penerbangan pagi dengan rute Surabaya-Jakarta-Batam. Pertama kalinya mengalami naik pesawat dengan transit yang ternyata menjengkelkan. Menjelang tengah hari tiba di Bandara Hang Nadim, Batam. Salah satu bandara yang memiliki landasan pacu terpanjang di Indonesia. Saya tidak terkesan dengan kondisi bangunan bandara ini. Lalu kami naik taksi menuju hotel tempat kami menginap yaitu Nagoya Plasa yang terletak tepat di area pusat bisnis Batam. Kemudian dengan naik bus kami dibawa ke arah selatan menuju area bekas kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Kawasan metropolitan Batam berdiri di atas tiga pulai utama yaitu Batam-Rempang-Galang yang satu sama lain dihubungkan dengan jembatan berjumlah enam buah yang masing-masing dinamai dengan nama sultan-sultan kerajaan Melayu Riau. Cukup jauh perjalanan menuju P.Galang. Tidak banyak yang tersisa dari bekas kamp pengungsi Vietnam. Untuk mengenang keberadaan mereka didirikanlah museum kecil ala kadarnya dan bekas perahu yang dulu dipergunakan untuk membelah lautan. Asal tahu saja perahu mereka tanpa mesin, jadi usaha mereka untuk mencari tempat suaka di luar Vietnam guna menghindari perang saudara juga bukan tanpa bahaya. Hikmahnya? Saat ini orang-orang Vietnam mudah ditemui di mana saja di Eropa dan Amerika. Tak heran bila masakan Vietnam lebih dikenal daripada masakan Indonesia di luar negeri. 

Setelah itu kami menikmati keindahan matahari terbenam di restoran Harbour Bay. Inilah salah satu kelebihan kota-kota di luar Jawa di mana pelabuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Buktinya orang dengan nyaman makan sambil menikmati sejuknya angin laut serta kapal-kapal yang bersandar maupun yang lalu lalang. Pengalaman yang serupa juga saya rasakan saat berlibur di Makassar. Malam harinya kami jalan-jalan di Mall Nagoya Hill yang terletak persis di belakang hotel tempat menginap kami. Barang elektronik yang dijual di sini belum tentu lebih murah daripada di Jawa (blah). 

Esok pagi-pagi buta kami bertolak dari hotel untuk mengejar ferry di Pelabuhan Batam Center. Perjalanan dengan ferry ke Singapura memakan waktu satu jam sebelum kami bersandar di Harbour Front. Kami sudah ditunggu oleh guide kami orang Singapura yang pandai berbahasa Mandarin (she’s of Chinese descendant) dan bahasa Indonesia tentunya. Sebut saja KD namanya. Tujuan pertama adalah kawasan sekitar muara Sungai Singapura, dengan landmark yang sudah terkenal seperti Lapangan Rafles, Jembatan Anderson, Esplanade, Merlion, Marina, Eye of Singapore. Tempat yang sangat bagus untuk mengambil foto sebab urban landscape-nya sangat tertata apik. Sepertinya tidak ada sejengkal tanah pun di Singapura yang luput dari pengawasan pemerintahnya. Tanah sangat berharga. Oleh sebab itu penduduknya tinggal di flat. Kata bu KD ciri-ciri gedung flat di sini adalah terdapat jemuran di luar jendelanya hehe. Dari sini kami dibawa ke daerah Chinatown, mengunjungi galeri coklat, kuil Budha, pasar oleh-oleh di mana gantungan kunci khas Singapura bisa dibeli haha. Makan siang di resto yang menyediakan menu buffet Mongolia yang absurd. Setelah itu ke Little India untuk solat dan mengunjungi Mustafa Center. Para penggemar coklat dan makanan manis wajb datang ke lantai dua tempat ini. Coklat impor berbagai negara ada di sini. Saya tergiur membeli coklat batangan dari Swiss, Australia dan Prancis (yang semuanya saya yakin kakaonya diimpor dari Amerika Selatan dan Indonesia). Sempat juga ke Orchard Rd. dan hanya diberi waktu 45 menit untuk berkeliling (Damn this is why sometimes I detest any organised tours!). Frustrasi mencari H & M store. Baru ketemu setengah jam kemudian. Dengan berat hati mengurungkan niat masuk ke dalamnya (blah). Setelah itu mampir sebentar ke Sentosa demi berfoto di depan bola dunia Universal Studio (sumpah absurd) dan kemudian kembali ke Harbour Front dan mengejar ferry ke Batam. Hari terakhir di Batam kami isi dengan berbelanja oleh-oleh khas Batam (saya rekomendasikan kue bingka dan kek pisang Villa rasa pandan bertabur parutan keju di atasnya), mencoba martabak Har (yummy), sate Padang (yang sausnya berasa asin absurd) dan berbelanja untuk diri sendiri pastinya. Sorenya mengejar pesawat untuk balik ke Surabaya dengan maskapai yang sama. Sekiranya kami tiba di rumah jam 21.00 tetapi karena ada keterlambatan masing-masing selama 1,5 jam di Batam dan Jakarta kami sampai di rumah menjelang tengah malam. Hikmah? Pilihlah penerbangan langsung jika memungkinkan daripada berabsurd ria dengan penerbangan dengan transit.

Tuesday, February 15, 2011

Tips for Traveling in Bangkok

Wearing headscarf is more than welcomed. The inhabitants of Bangkok are tolerant, respectful and open-minded as the city itself has a moslem quarter.

Understand that Budhism is the most predominant religion in Thailand and the Thais profoundly love their king as the unifying figure. Do not say something bad about these unless you want to viewed as a rude person.

Try to avoid eating in non-moslem restaurants as they tend to use porky products on processing the food. Even when having breakfast at your hotel, never hesitate to ask the staffs if the dishes are okay for moslems. Be cautious when ordering a simple omelette since they usually add the minced pork in it. If you’re still worried, it’s safer just to take some breads, toasts or baguette along with mini-packed confitures and butter, cereals is mostly available. Several moslem (halal) restaurants can be found along Thanon Petchaburi (Petchaburi Road), next to Rachatevee flyover. I’d suggest Makyah Muslim Restaurant as it seems pretty renowned among moslem people there. It serves delicious Southern Thai dishes. A nearby mosque called Masjid Darulaman is located only a block away from it.

Wednesday, February 2, 2011

Travelling in Style to Bangkok, Thailand

Chasing The Dusk in Bangk
For me describing Bangkok can be quite difficult sometimes as it’s nearly impossible to narrow down the narration in a line or two. The capital of Thailand is a huge intriguing metropolis indeed. But somehow it retains predictable patterns of how most of South-East Asian cities look like. The chaotic street scene during typical rush hour times, the heavily-polluted air, the virtual poverty; they’ve all become commonplace. However Bangkok is Bangkok, it remains stand out of the crowds with its charming, pleasant and enjoyable atmosphere. Once you leave it, Bangkok still shadows you with a lot of newly-gained travel experiences which are absolutely unforgetable. It’s the river, the Grand Palace, the innumerable wats, the humble street vendors in its open market or in the roadside, the fast-walking crowds, the monks,and the king; not to forget the distinctive Thai smiles that are probably the sweetest ones on the planet.

Personal remarks (it has nothing to do with Bangkok though): Naming Air Asia as the world’s best low-cost airline is indisputable, but when it comes to onboard service it might be among the bitchiest ones. Such a heartless bitch for effortlessly letting the passengers suffer from hypoglycaemia. No offends please. I’m just speaking up.


Sunday, June 13, 2010

Travelling to Manado and Bunaken and on How I Fell Under the Charm of Dabu-Dabu Sambal


As tradition has it, I seem to always be on a trip a week or two prior to my exam (that time I was at surgery department doing my clinical rotation). During the last weekend of May, I and my family went to Manado,the charming little town on the northern tip of the Island of Celebes. I tought I was sort of on the verge of a discovery since I had never really imagined much of this island. What a shame! But on the whole it’s not solely my fault. Blame it on the government (particularly the Ministry of Tourism and Culture) for not doing their best to promote this forgotten island. They do need to more intensively promote it. Where were we ha ha? So this town was not well-depicted in my mind until my airplane (I flew with Sriwijaya Air with its infamous service and its fake-smiling flight attendants oops ;) touched the runway of Sam Ratulangi Airport of Manado. This airport is factually named after the famous hero of North Celebes. And trust me this airport is only “international” in name. I could hardly see any foreign aircraft fleets or local air companies with international routes parked in it. The only sign of its international sense was probably the presence of gangway (garbarata: Ind). O c’mon.

We arrived there by midday so it was already time for Friday prayer. So I went to a local mosque not far from the airport. What??? A mosque in a province where more than 80% of the population claims to be the followers of Jesus??? Yeap, Islam does flourish and thrive here guys thanks to the Dutch for choosing Manado as an exile for Kyai Mojo and the gang. It must have been a perfect getaway for ‘em he he.

My Very First Encounter with the Sinful Crabs
We went straight to a local restaurant (I forgot the name unfortunately) to taste some local specialties. The tables and the utensils were all set, but hey where were the food? I was about to learn another uniqueness of Manadonese when serving the meals. First they brought out the rice, the chili sauce aka sambal, then they served the dishes. So we cheerfully helped ourselves to a big scoop of rice and all we saw on the table. What a delicacy! Manadonese foods are obviously the biggest rival of Padang food ha ha. We ate and ate til our tummy reached its maximum extent. But voila then came other delicacies which were supposed to be the main course, so what we all just had was seemingly the starter. What?? So instead of letting them go untouched we had our second round of meal. My eyes caught the sight of the animal of my star sign aka crabs. I was rather doubtful to give it a try since I’d never ever tasted it in my whole life. But the look and the smell simply mesmerized me. Then those poor big crabs cooked with coconut milk and exotic herbs found their way into my mouth ha ha. I was in ecstasy then…;)

Lake of Tondano
C’est passé. Caught nothing interesting here.

Fantastic Splurge Hotel
Last year Manado hosted the World Oceanic Conference (or whatever..) in an attempt to boast its tourism potentials. But the city was rather lack of all kinds of travel itinerary, including the accommodation. So as for preparation, the local authority felt the urge to upgrade some hotels. I was lucky to get the chance to stay in a five star hotel, the only one of its kind in Manado, called Sintesa Peninsula Hotel. The hotel was conveniently located in the heart of the town, sitting high in a green and lush hill. Just perfect! I regarded it as a privilege. The room was all great and convenient, had double beds, clean bathroom, big flat screen tv, elegant working table, free internet access, cool paintings, and wooden floor (though it’s artificial I guess). From the balcony one got a spectacular view of Manado Bay dotted with a few islets and their summits afar. Breathtaking!

Bunaken
The next morning we set sail to the famous Bunaken Islands, a cluster of islets some 10 miles away from the quay. Manado is truly surrounded by hills and wilderness, so a boat trip to Bunaken would make a great escape. The weather was perfect, cloudless and the sea was so blue, so crystal clear though one might spot the floating garbage on the surface of the water along the track to Bunaken. How annoying! But that just wouldn’t stop us to keep on sailing he he. A moment before we anchored, the captain made a stop to show us the underwater panorama through the glass that penetrated down the sea. Frankly speaking, Bunaken is not a perfect spot for those unable to swim, just like me, cuz I believe that the coral reefs and the coral fishes can only be appreciated only when you dive. The Bunaken Island itself didn’t match my expectation. I thought there would be a vibrant kind of living on the island just like what I formerly saw on Gili Islands of Lombok. Pretty a discouragement! So lame and boring. But there was a restaurant serving great dishes that was a relief to me he he. We tried to avoid eating any kinds of flesh, but the fish or seafood during our trip to Manado for halal reason. The restaurant was called Nelson and owned by a lady from Moluccas I believe (due to their physical appearance). The dishes were ALL great, best-tasting food I’d ever tried in the whole universe. I did like the chili sauce called dabu-dabu and the other one I didn’t recognize which was even more exotic. The chopped shallots, fresh tomatoes, lemon water, the shrimp paste (just to name a few) turned out to be a beautiful combination. They were a piece of heaven he he. But did u know guys that Manadonese do eat the sweet fried banana with dabu-dabu? A lethal combination ha ha. That was all, I just could hardly wait to return to Manado.

Impression
Manado is so easy to fall in love with. The people love parties and seem to enjoy every single day of their life. Life is celebrated here!! One will get the chance to learn that it’s very possible to live in harmony with nature or probably with your neighbors with different religions. The Manadonese or Minahasans love helping each other, they won’t hesitate to help their neighbors who are helplessly in need which is already a scarce thing among Javanese society. I learned not to be an ignorant, that we need to participate in the social life by sharing what you have more, to be more passionate about life , and not to forget that our ancestors were great and skillful seafarers he he. Til we meet again Manado!!



Saturday, March 20, 2010

Pengalaman Berumrah ke Tanah Suci

Alhamdulillah saya berkesempatan melakukan umrah ke tanah suci pada 10-18 Maret lalu. Thanks to mom who came along with me on the journey, I’d never have considered doing this without you! My appreciation also goes to Shafira for being our great travel agency and for their assistance. Perbedaan antara ibadah haji dan umrah terletak pada waktu dan manasiknya. Umrah dapat dikerjakan sepanjang tahun, sedangkan haji hanya boleh dikerjakan pada bulan-bulan tertentu. Manasik umrah meliputi: 1. Ihram; 2. Thawaf; 3. Sa’I; 4. Tahallul yang kesemuanya harus dilaksanakan secara tertib dan berurutan. Sedangkan manasik haji masih ditambah dengan wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, lempar jumrah dll yang pastinya lebih rumit dan memakan waktu lebih panjang(1).

Pada umumnya kegiatan ibadah maupun umrah berpusat pada tiga kota di Kerajaan Saudi Arabia. Jeddah, sebagai pintu gerbang utama karena lokasinya berbatasan dengan laut dan memiliki lapangan terbang internasional bernama King Abdul Aziz, selain itu jaraknya yang dekat dengan Mekkah (± 73 km) membuat kota ini semakin strategis. Madinah, as a birthplace of Islam, kota suci ke dua umat Islam sekaligus tempat Nabi Muhammad SAW dimakamkam. Mekkah, sebagai puncak pelaksanaan ibadah karena di sinilah terlatak Kabah yang menjadi arah solat umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Tak terkecuali dengan perjalanan umrah yang kami lakukan. Dari Surabaya kami terbang ke Jakarta. Perjalanan udara Jakarta-Jeddah ditempuh dalam 9 jam plus sekian menit dengan melewati empat zona waktu dan menggunakan jasa Garuda Indonesia. Anyway salut kepada manajemen Garuda Indonesia yang telah menerima anugerah 4-star airline dari Skytrax Airline Ranking(2). Kami tiba di Jeddah ± 21.30 waktu setempat untuk kemudian meneruskan perjalanan darat ke Madinah selama 6 jam. Sungguh melelahkan. Saya lebih banyak tidur selama perjalanan. Menjelang subuh kami tiba di Madinah dan bersama-sama kami membaca doa memasuki kota ini di bawah panduan ustad pembimbing kami. Ustad saya bercerita panjang lebar tentang sejarah kota ini, namun tidak banyak yang saya ingat. Yang saya ingat kami berpapasan dengan sebuah gunung yang kata ustad kelak akan ditempatkan di neraka. Gunung itu bernama Jabal Ir. Oh ya, kota ini bersama-sama kota Mekkah disebut tanah haram sebab hanya mereka yang beragama Islam yang diperkenankan melawat kota-kota ini. Kerlap-kerlip lampu dari kejauhan semakin membuat Madinah terlihat cantik di kala malam.

MADINAH AL-MUNAWARAH
Dahulu kota ini bernama Yastrib sesuai dengan nama pemimpinnya kala itu. Kemudian dinamakan Madinah Al-Munawarah yang berarti kota yang bercahaya. Nama ”Madinah” sendiri berarti ”kota” dalam bahasa Arab. Alhamdulillah kami dapat menunaikan solat Subuh berjamaah di Masjid Nabawi ketika kami tiba di sana. Selama ziarah di kota ini kami menginap di Hotel Radisson yang berjarak 2 menit berjalan kaki dari Masjid Nabawi. Below is the list of unmissable things during our stay in this City of Light:
* Solat berjamaah di Masjid Nabawi tercinta (it’s a MUST). Rugi banget datang jauh-jauh kalau tidak mengoptimalkan ibadah di sini.
* Ziarah ke makam Rasulullah SAW, makam sahabat beliau Abu Bakar r.a.
* Raudlah, tempat yang amat mustajabah untuk memohon sesuatu pada Allah SWT.
* Jabal Uhud beserta makam para syuhada yang gugur dalam Perang Uhud.
* Kebun kurma yang dilengkapi tempat membeli oleh-oleh. Mengerikan juga melihat nafsu para jamaah Indonesia dalam berbelanja. Tidak heran para pedagang Arab amat mencintai jamaah Indonesia he he .
* Mengambil miqat di masjid Bir Ali sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan rukun-rukun umrah selanjutnya.

Berada di kota ini sungguh merupakan sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai. Saya telah jatuh cinta dengan kota ini. Saya akan sangat merindukan keramahan penduduknya, tata kotanya yang harmonis, para pedagang jalanannya serta tentu saja Masjid Nabawi.

MAKKAH AL-MUKARRAMAH
Setelah 6 jam perjalanan darat dari Madinah tibalah kami di Mekkah menjelang tengah malam. Segera kami menunaikan thawaf, sa’i diakhiri dengan tahallul. Lengkaplah umrah yang kami lakukan, alhamdulillah. Unmissable things during our stay in Mecca:
* Solat berjamaah di Masjidil Haram. Solat di Masjidil Haram pahalanya berlipat ganda. Sekali solat di masjid ini sama dengan solat 100.000 kali di masjid lainnya yang setara dengan keutamaan solat selama 55 tahun, 6 bulan, dan 20 malam di masjid lain (1).
* Masjid Quba, masjid yang pertama kali didirikan Rasulullah SAW
* Padang Arafah, Muzdalifah, Mina dan Jabal Rahmah
* Menjelajahi suq-suq alias pasar yang ada di kota Mekkah.

JEDDAH
Nama Jeddah berarti nenek tua dalam bahasa Arab yang mengacu pada Siti Hawa. Konon setelah melanggar larangan memakan buah khuldi, Siti Hawa diturunkan di kota ini sedangkan Nabi Adam a.s. di Srilangka. Keduanya bertemu di Jabal Rahmah setelah 40 tahun berpisah. Saat ini Jeddah menjelma sebagai kota pelabuhan dan kota industri terpenting di Kerajaan Saudi Arabia. Hampir semua barang-barang yang ada di Madinah atau Mekkah didatangkan dari sini. Di sini kami mengunjungi pusat perbelanjaan Balad yang terkenal. Namun ada toko yang paling laris yaitu toko Ali Murah. Alih-alih berbelanja saya lebih tertarik untuk masuk ke sebuah restoran Filipina yang masih berada dalam satu kompleks. Perjalanan dilanjutkan ke masjid terapung yang tersohor itu. Masjid ini dibangun oleh seorang janda kaya raaya bernama Siti Rahmah. Saking kayanya beliau ingin membangun sebuah masjid. Beliau diizinkan membangun masjid dengan syarat tidak terletak di atas tanah sebab menurut pemerintah Saudi urusan pembangunan mesjid seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Maka lahirlah ide untuk membangun masjid yang pondasinya terletak di atas pantai. Sempat kecewa juga sih sebab kami tidak mengunjungi kota tuanya Jeddah yang masuk dalam UNESCO World Heritage Tentative List (3).

Referensi:
(1). Zuhairi Misrawi. Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
(2). http://www.garuda-indonesia.com/news/2010/01/29/garuda-indonesia-certified-as-a-4-star-airline
(3). http://whc.unesco.org/en/tentativelists/5085/











Saturday, March 6, 2010

Travelling to Lombok and Gili Trawangan

Lombok, Bali’s Reminiscence of The Past
Kamis, 25 Februari 2010
Matahari telah tenggelam dan gerimis mengguyur saat saya menginjakkan kaki di Bandara Selaparang setelah satu jam penerbangan dari Surabaya. Akhirnya untuk kali pertama saya di Lombok wew.. It feels amazing that I finally decided to come along on this trip arranged by mommy and her fellas. Seems to me I kinda challenge myself since my exam day is just a week away and concerning the fact that I haven’t done much as for the exam prep. But who cares? I can’t miss such a great chance unless I’m an idiot ha ha. The most lovely part of traveling with my parents is that all costs and charges will be at their expenses so I basically travel for free ;) Above all I’ve got enough of being a lonesome backpacker since my last trip to Bali which was pretty traumatic for a few particular reasons I won’t discuss here (apart from the shortage of money ha ha ;) Setelah itu dengan bus kami meluncur ke sebuah rumah makan bernama MM (or whatsoever) yang konon menyajikan hidangan ayam Taliwang dan pelecing kangkung paling yummy seantero Lombok. Usut punya usut ternyata “Taliwang” adalah nama desa di mana makanan ini pertama kali dipopulerkan, ini kata guide-nya lho. Jenis ayam yang dipakai untuk masakan ini adalah ayam-ayam yang masih brondong sehingga porsinya memang kecil (sepertinya disengaja deh supaya yang makan minta tambah terus he he). Kangkung untuk pelecing-nya seram euy. Batangnya besar-besar, daunnya panjang-panjang pula (feels like I’m a herbivore for a moment!!!).

Setelah bersantap malam kami menuju ke sebuah hotel di kawasan Senggigi di mana kami akan menginap selama di Lombok. Voila ternyata kami menginap di The Jayakarta Resorts and Hotel. Surprised banget mengingat saya jarang sekali menginap di hotel yang tergolong mewah. Dari brosur yang saya temui di kamar hotel, ternyata hotel The Jayakarta punya beberapa jaringan di Indonesia seperti di Anyer (Jawa Barat), Bali, bahkan di Pulau Komodo juga (wow..).

Jumat, 26 Feb
Acara kami hari ini adalah mengunjungi desa pusat kerajinan gerabah, tenun khas Lombok, desa tradisional Sade, Kuta, dan Puri Narmada. But the highlights are Sade and Kuta. Sebelum kami bersiar-siar, terlebih dahulu kami stase pagi gastro aka breakfast buffet di dining hall dari hotel. Wuih lagi-lagi seram euy hidangannya. Dijamin bisa bikin penderita diabetes mellitus tipe 1 atau 2 malas menunggu 15 menit sebelum insulin prandialnya starts to work. Nafsuin banget lah. Dari menu sarapan pagi ala Indon sampai ala Londo terhidang di sini. Wafelnya maknyus banget, but the omelet is rather disappointing. Overall saya yakin rasa menu-menu yang lain tidak dalam batas normal (enak banget maksudnya he he).

Sade adalah desa tradisional yang memang sengaja direservasi untuk menarik para wisatawan. Di sini wisatawan dapat menyaksikan lebih dekat serta mempelajari sedikit tentang budaya suku Sasak antara lain arsitektur dari lumbung padi, rumah penduduk (yang katanya lantainya dibersihkan dengan kotoran kerbau) dan balai pertemuan di mana masalah-masalah keseharian dicarikan solusi. Atap bangunan suku Sasak memiliki bentuk yang cute, mirip menara masjid. Saya baru tahu kalau Lombok itu dijuluki sebagai bumi seribu masjid sebab di samping mayoritas penduduknya adalah muslim yang taat banget, orang dengan mudah melihat masjid tersebar di mana-mana bahkan antara satu masjid dengan lainnya bisa hanya 100 meter jauhnya. Here mom’s just got me a georgeous woven sarong for Friday prayer. It’s homemade, she bought it for 40000 IDR.

Setelah itu kami menuju pantai Kuta yang terletak di bagian selatan dari Kabupaten Lombok Tengah. Oh God. who will love this beach not? Speechless. Pantai pasir putih membentang sejauh mata memandang dikelilingi bukit-bukit hijau yang kokoh dan terjal dengan laut yang hijau membiru. So picturesque. One has to see it on his own!! Recommended!! Pantainya masih alami banget, tapi fasilitas pendukungnya belum terbangun dengan baik.

Sabtu, 27 Februari 2010
Agenda hari ini: The most anticipated, the newly-rediscovered Gili Islands (yippee langsung deh All Saints – Pure Shore #nowplaying). Berhubung cuma sehari kami memutuskan untuk hanya berkunjung ke Gili Trawangan. Dalam bahasa Sasak kata “gili” berarti pulau kecil (Ind) aka islet (Eng) aka holm (Nor) aka la isla bonita (Esp or Madonnese). Gili-gili ini berada kurang lebih 5 km lepas pantai Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Barat dan dapat ditempuh selama 45 menit dengan perahu mesin. Sebenarnya tidak banyak aktifitas yang dapat dilakukan di gili-gili ini selain bersantai, berjemur, bermalas-malasan. Di Gili Trawangan orang berkesempatan untuk diving, snorkeling, atau menjajal beberapa permainan air seperti banana boat. Atmosfir di Gili Trawangan ini hedon banget deh, mirip dengan kawasan Legian atau Kuta di Bali. Di sini saya menyempatkan diri untuk bersepeda keliling pulau ini. Cukup dengan biaya sewa 30000 IDR per jam saya bisa berolahraga (siang bolong) sekaligus menikmati indahnya panorama alam. Recommended. Menurut saya orang belum ke Lombok deh jika belum sempat mampir ke gili-gili ini. Setelah puas berpanas-panas dan melihat lautan deux pièces kami kembali ke daratan Lombok untuk berjalan-jalan sore di Kota Mataram.

Hari ini kami makan malan di rumah makan Dirgahayu yang terletak di samping Mataram Mall dengan menu, apalagi jika bukan, ayam Taliwang dan pelecing kangkung (mbeeeeeek). Wow saya terkesan sekali dengan Kota Mataram. Kotanya tertata rapi. bersih, tapi bangunan-bangunannya sepertinya masih peninggalan tahun 70 atau 80-an. So old-fashioned yet charming. I’m particularly interested in the old quarter which is centered around Ampenan. The used-to-be-warehouses look so fantastic, simply remind me of those antique buildings scattered around the northern part of Surabaya. Mataram Mall ini satu-satunya tempat belanja yang trendi di NTB jadi harap maklum jika terjadi antrian mengular di kasir Hero seperti yang saya alami. Outlet makanan cepat saji yang ada antara lain McD, KFC, dan Pizza Hut. Pas mal ;)

Minggu, 28 Februari 2010
It’s still early in the morning, but we have to wake up to catch our morning flight. Hari ini saya berhasil membuat penerbangan terlambat take off 20 menit gara-gara nama yang tercantum di boarding pass tidak sama dengan yang tertera di KTP (ada pemeriksaan KTP lho di Bandara Selaparang). Ini sih kesalahan travel agent kami. Terpaksa membayar 750 ribu karena saya diharuskan “membeli” tiket lagi. But anyway tidak ada gading yang tak retak. Saya pulang dengan membawa memori indah di surga yang terlupakan ini ;) I’ll come back again here for sure in the near future ;)











Monday, August 17, 2009

Travelling to Jakarta

Welcome to The Glamorous Jakarta

Jakarta is a city with such a big contrast. Among its hundreds of stylish highrise buildings, millions of the poor struggle for their life as the money is getting tighter and tighter. It makes me realize that the number of skyscrapers doesn't always go in line with the prosperity of a nation. I remember Norway being one of the richest countries on the planet, but its capital has only a few "skyscrapers". The tallest buiding they have has only 33 floors and it's the tallest one in Scandinavia. What a humble country it is he he ;) But poverty is not a crime. Nothing can stop the Big Durian(Jakarta's nickname) from growing larger and larger, the new skrscrapers are built higher and higher making it the only city in the entire country which has an international and cosmopolitan atmosphere. Jakarta will just keep on flourishing. I was lucky enough to be able to make a trip there back in January this year. I always miss the time I and my buddies drove on the Jakarta streets which were 3 or 4 times wider than those in my hometown, Surabaya; while admiring the classy highrise bulidings along the streets.

"Oh my God, incredible!",I said the words repeatedly making my buddy who was at the wheel got a little irritated (Yeah he's a Jakarta-born so he probably gets pretty fed up with such sights).

"Oh gosh you sound so corny Dian, but I can understand it. Surabaya has nothing to compare to Jakarta."

"I know.", I replied, no defense that time because we were on the same point ha ha ;) I had a great sightseeing and shopping experience in Jakarta, just too bad during the whole week we went to no other places but the malls and the National Monument. Can't you imagine it? I came all the way from Surabaya, caught the morning flight, but it all ended up at restaurants in malls or a cinema. No one was to take the blame, it was all due to the bad weather. My luck ran out ha ha.

Wednesday, March 11, 2009

Berwisara ke Sarangan di Kaki Gunung Lawu

19 Oktober 2008

Sebenarnya kejadiannya sudah lama sih, tapi tidak ada salahnya untuk tetap diceritakan

± 16.30 Baru tiba di Surabaya setelah menghabiskan akhir pekan bersama mom-dad-little bro-rekan-rekan sekantor daddy di Telaga Sarangan, Magetan. Tempat wisata alternatif selain Malang. Batu, Pacet dll bagi orang Surabaya yang rindu akan udara dingin nan sejuk serta pemandangan alam yang cantik. Cukup melelahkan karena aku disuruh mengendarai mobil oleh daddy selama perjalanan menuju ke sana dan separuh perjalanan pulang ke rumah (hitungan kasarnya kurang lebih 270 km, lumayanlah nyaris setara dengan jarak utara ke selatannya Belanda (data?) he he). Tidak banyak kegiatan yang kami lakukan di sana. Setibanya di sana (Sabtu sore) langsung menghadiri acara Family Day and Gathering TELKOM Kandatel Madiun, makan malam, permainan-permainan aneh, pengundian door prize, karaoke, dan tidur lelap pastinya ;). Minggu pagi berjalan-jalan mengitari telaga, ambil foto sebanyak mungkin (baik foto lansekap maupun foto narsis ;), main tenis (meskipun sebenarnya tidak bisa ha ha), makan pagi, mandi pagi, nonton televisi, tidur-tiduran, makan camilan, makan siang (aduh sudah berapa kali aku menyebutkan kata ”makan” ya? Ha ha). Sebenarnya dalam tasku ada beberapa catatan kuliah yang rencananya ingin kubaca selama di sana. Namun, rencana tinggal rencana ha ha ;)




Friday, November 28, 2008

Berwisata di Kota Yogyakarta


Kamis, 7 Februari 2008
Akhirnya kereta api yang membawa kami pulang tiba di stasiun Gubeng kurang lebih pukul 12.45. Wow, kami tiba 9 menit lebih awal daripada jadwal. Cukup terkesan mengingat keterlambatan sering dilakukan oleh jasa transportasi massal di negeri ini.

Liburan ke Yogyakarta (YK) tanggal 4-7 Februari lalu benar-benar liburan terburuk selama ini. Bagaimana tidak, selama di sana aku terserang diare (mungkin traveller’s diarrhea) , tepatnya bermula tanggal 5 (Selasa petang). Parah sekali. Jadi tidak bisa menikmati liburan dengan nyaman. Tapi terlepas dari hal tersebut, liburan ini berkesan sekali, bisa mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya di YK. Ternyata lebih enak lho liburan a lá backpacker daripada liburan bersama orangtua.

Selama di YK, kami menginap di sebuah hotel di kawasan Malioboro (ga usah sebut merk ya he he). Tapi gilanya, satu kamar hotel kami paksakan untuk dihuni tujuh orang. Sebenarnya pihak hotel hanya mengizinkan 3-4 orang dalam satu kamar. Itupun dengan catatan kami harus menyewa satu kasur tambahan (extra bed). Ok deh. Tapi berhubung kami tidak mempunyai rencana B, maka rencana utama harus dijalankan yaitu dengan mengelabui pihak hotel (tapi ga usah dijelaskan ya bagaimana caranya). Dan ternyata ini sukses!! Tapi cara ini tidak direkomendasikan bagi mereka yang berkantong tebal lho, ini hanya khusus bagi mereka yang suka berpetualang dengan menganut prinsip ekonomi ha ha.


Kami pergi ke Borobudur dan Kaliurang pada hari pertama (Selasa, 5 Februari 2008). Berangkat dari YK sekitar jam 9 pagi dan tiba di sana satu jam berikutnya. Karena ini bukan kali pertama aku mengunjungi Borobudur, jadi kesannya biasa saja. Tapi tetap saja rasa kagum pada mahakarya nenek moyang ini muncul. Kulihat banyak sekali turis yang datang ke sana, lokal maupun mancanegara. Banyak juga, padahal hari kerja. Satu hal yang haram untuk dilupakan yaitu mengambil foto. Tentu saja!! Beberapa foto sudah aku muat (upload) juga di sini. Lalu siang hari kami meluncur ke Kaliurang, semacam tempat peristirahatan (tapi bukan kuburan lho maksudnya ha ha) di kaki Gunung Merapi yang elok nan menjulang tinggi seakan merobek angkasa. Terdapat air terjun yang tidak terlalu tinggi di sana, tapi aku sama sekali tidak terkesan malah ketakutan. Kubayangkan sewaktu-waktu bukan air beraliran deras yang turun dari ujung atas air terjun, tapi bongkah-bongkah batu gunung yang siap menimpuk mereka yang sedang bernarsis ria dengan kamera di bawah ha ha. So aku minggir dan mencari tempat aman sembari mengamati tingkah polah teman-temanku dan para pengunjung. Menjelang petang kami balik ke YK dan perutku mulai berontak dan terasa mulas. Akhirnya aku minta diturunkan di depan hotel tempat kami menginap. Karena kasihan melihat keadaanku yang mengenaskan, si Achmad memutuskan untuk menemaniku disamping karena dia sudah merasa lelah. Thanx Achmad (alias Chunk-krinx ha ha). Sisanya melanjutkan petualangan ke Amplaz alias Ambarukmo Plaza. Setelah merasa sedikit pulih, aku memutuskan jalan-jalan sore (JJS) ke Malioboro Mall bersama Achmad. Lumayan kubisa beli empat buku dengan diskon besar-besaran di salah satu toko yang khusus menjual buku impor. Lalu singgah di toko musik membeli CD album Nelly Furtado bertitel Loose (penting ga sih). Lalu ketika Maghrib kami pulang ke hotel setelah terlebih dahulu makan di warung lesehan dekat hotel. Gila masak iya makan di warung kena PPN alias pajak pertambahan nilai sebesar 10%. Kota yang aneh!! Aku minta dibuatkan oralit pada si pemilik warung dengan ramuan 5 sendok gula dan sesendok garam (bener ga sih). Aneh sekali rasanya. Aku sampai melek merem berusaha menghabiskan segelas oralit ini. Namun ketika aku keluar dari lift hotel menuju kamar, voila, aku muntah seketika. Mungkin perutku langsung syok terkena oralit tadi. Selanjutkan tidak perlu dijelaskan secara terperinci ya. Nggilani!!!

Esoknya kami pergi mengunjungi Keraton Yogyakarta yang termasyur itu plus Taman Sari, tempat pemandian bagi putra-putri sultan. Aku benar-benar tidak tahu bagian mana yang membuat keraton ini terlihat istimewa, semua biasa saja. Gedungnya kecil, terkesan kotor dan kurang terawat, abdi dalem yang sudah mbah-mbah tak ada yang sedap dipandang he he. Beda banget deh dengan foto-foto istana atau kastil di Eropa yang pernah kulihat di internet. Tapi aku menikmati kunjungan ke museum yang terletak dalam keraton dan yang penting bisa mengambil foto dengan latar belakang yang indah. Setelah itu kami menuju Taman Sari. Dipandu oleh seorang pegawai rendah keraton yang mengaku hanya digaji IDR 1300 per bulan (benar Anda tidak salah baca!!), kami berkeliling Taman Sari serta kampung kecil di sekitarnya. Pemandu ini fasih banget saat menjelaskan sejarah keraton Yogyakarta, kompleks makam Imogiri dll sampai ke detil-detilnya. Tapi aku tidak begitu tertarik dengan sejarah Yogyakarta meskipun diriku pecinta sejarah, tapi untuk menghormati orang ini aku mangut-mangut dan angguk-angguk saja. Aku sempat bertanya kepadanya mengenai kota kecil Bagelen yang merupakan tanah leluhurku dari garis bapak. Berdasarkan keterangannya, aku dapat informasi kalau kota ini terletak di Purworejo (kalau ini gw dah tahu) dan konon merupakan tempat ditawannya Pangeran Diponegoro oleh penjajah Belanda. Sayang aku belum pernah ke sana, tapi pasti suatu saat aku akan ke sana jika Allah berkehendak. Hal-hal yang patut dikunjungi di Taman Sari antara lain ruang bawah tanah dan reruntuhan bangunan yang dari atasnya kita dapat melihat pemandangan YK yang menyedihkan, begitu kusam begitu tak tertata. Setelah itu langsung menuju jalan Dagen untuk mencari bakpia, makanan kecil khas YK.

Menjelang sore aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri menyusuri trotoar Malioboro (teman-temanku yang lain bukan pecinta sejarah sih). Aku penasaran ingin berkunjung ke Benteng Vredeburg dan Museum Sonobudoyo. Tapi sialnya mereka sudah tutup sejak pukul 13.00 dan aku tiba di sana sekitar pukul 14.15. Nothing to lose! Aku masih dapat terpuaskan dengan pemandangan di sekitar perempatan Monumen Serangan Umum 1 Maret. Aku hanya melakukan potret-potret saja deh akhirnya. Tapi sumpah bagus banget pemandangannya. Memandang gedung-gedung tua di situ membuatku serasa di sebuah kota Eropa. Sorenya aku JJS ke Malioboro Mall, ke toko buku itu lagi. Malamnya kami makan di warung sederhana dekat mall dengan harga mahasiswa he he (maklum uang saku makin menipis). Malamnya kami harus segera membereskan barang-barang kami sebab esok kami akan bertolak ke Surabaya kembali.

Bagiku YK merupakan tempat pertemuan antara dunia modern dan konservatisme. Kota yang masih kental dengan suasana pedesaan dimana kekeluargaan dan ketulusan dan keluguan penduduknya masih mewarnai kehidupan sehari-hari. Mungkin itulah yang membuat kota ini selalu mendatangkan kerinduan serta lekat dalam ingatan siapapun yang pernah mengunjunginya. Dapat kurasakan ikatan yang kuat dengan kota ini mengingat inilah tanah leluhurku, tempat nenek moyangku dulu pernah tinggal. Ditilik dari segi ekonomi, YK memang kalah bersaing dengan Jakarta atau Surabaya karena ia memang bukan kota niaga. Bayangkan jalan-jalan di YK pasti sudah sepi di atas jam 21.00. Bahkan pada pukul 6 pagi jalanan masih lengang banget, padahal pada jam segitu jalan-jalan di Surabaya sudah menggila macetnya, orang-orang sudah bangun untuk menjemput rezeki. Percaya atau tidak, penjual pecel dekat rumahku sudah buka dari pukul 4 pagi!!! Hal ini sepertinya sulit ditemukan di YK. Waktu serasa melambat deh pokoknya he he. italics Everyday’s holiday, alon-alon nanging kelakonitalics . Tapi mungkin inilah yang membuatku tidak pernah jemu mengunjungi YK. Jadi akan kututup catatan ini dengan motto terbaru dari YK: Never ending Asia. Untuk melihat foto-foto yang lain silakan klik di sini.