Wednesday, December 25, 2013

Sekali Waktu Di Kota Jakarta



Bukan tanpa alasan saya memberi judul tulisan saya ini ala penulis angkatan Balai Pustaka. Semua hal yang saya alami, saksikan dan rasakan selama perjalanan terakhir saya ke Jakarta belum tentu sama dalam tahun-tahun mendatang. Jakarta yang serbadinamis akan selalu berubah dan dia akan selalu seperti itu. 

Semua ini berawal dari spontanitas saya untuk membeli tiket kereta api PP Jakarta-Surabaya. Saya telah menyelesaikan semester pertama saya sebagai residen neurologi di rumah sakit terbesar di kawasan Indonesia timur. Ada sisa beberapa minggu sebelum akhirnya saya akan berkutat dengan pelayanan pasien dan hal-hal akademis sehingga saya berpikir saya harus pergi sesaat. Awalnya saya berencana pergi ke Karimun Jawa. Namun sebab musim hujan telah tiba dan mungkin laut akan tidak tenang, saya beralih untuk pergi ke Jakarta. Awalnya saya sebenarnya tidak terlalu antusias, namun karena adanya dorongan untuk pergi saya kuatkan niat.

Jumat, 13 Desember 2013
15.00: Kereta api ekonomi AC Kertajaya membawa saya dan teman saya, orang Jakarta yang rumahnya akan saya inapi, dari stasiun Pasar Turi menuju Stasiun Tanjung Priok. Bersyukur sekali sebab saat ini pelayanan untuk KA ekonomi sudah mengalami kemajuan dibandingkan dua atau tiga tahun lalu. Tidak ada penjaja makanan dan minuman dari luar yang keluar masuk gerbong, AC cukup dingin dan kebersihan dan keamanan cukup terjaga. Tiket pun ramah di kantong mahasiswa yakni sebesar 50 ribu rupiah sekali jalan. Ini tarif bersubsidi lho sebab konon tahun depan subsidi ini akan dicabut sehingga harganya akan menjadi sekitar 100 ribu sekali jalan. Satu-satunya ketidaknyamanan yang saya rasakan adalah harus berbagi gerbong dengan gerombolan anak SMA yang tiada henti berbicara dengan suara lantang satu sama lain sepanjang perjalanan. Hal ini amat mengganggu para penumpang lain yang ingin beristirahat tentunya. Belum lagi perempuan Madura di tempat duduk seberang kiri dengan kedua putrinya. Putri terkecilnya, mungkin berusia dua tahunan, terlihat amat menyebalkan. Mondar-mandir ke tempat duduk saya dan sepanjang lorong, kadang-kadang menangis tak karuan. Kasihan juga sih sebenarnya. Nampak kurang gizi: rambutnya merah, mata agak cowong. Parahnya dalam perjalanan jauh itu, si ibu hanya menyuapinya dengan se-cup P**Mie. Itu pun harus dibagi untuk mereka bertiga dan ada satu peristiwa yang saya saksikan (tidak perlu saya tulis di sini) yang membuat higienitas mie tersebut patut dipertanyakan. Meskipun demikian toh saya mampu memejamkan mata saat malam tiba.