Bukan tanpa alasan saya memberi
judul tulisan saya ini ala penulis angkatan Balai Pustaka. Semua hal yang saya
alami, saksikan dan rasakan selama perjalanan terakhir saya ke Jakarta belum
tentu sama dalam tahun-tahun mendatang. Jakarta yang serbadinamis akan selalu
berubah dan dia akan selalu seperti itu.
Semua ini berawal dari
spontanitas saya untuk membeli tiket kereta api PP Jakarta-Surabaya. Saya telah
menyelesaikan semester pertama saya sebagai residen neurologi di rumah sakit
terbesar di kawasan Indonesia timur. Ada sisa beberapa minggu sebelum akhirnya
saya akan berkutat dengan pelayanan pasien dan hal-hal akademis sehingga saya
berpikir saya harus pergi sesaat. Awalnya saya berencana pergi ke Karimun Jawa.
Namun sebab musim hujan telah tiba dan mungkin laut akan tidak tenang, saya
beralih untuk pergi ke Jakarta. Awalnya saya sebenarnya tidak terlalu antusias,
namun karena adanya dorongan untuk pergi saya kuatkan niat.
Jumat, 13 Desember 2013
15.00: Kereta api ekonomi AC Kertajaya
membawa saya dan teman saya, orang Jakarta yang rumahnya akan saya inapi, dari
stasiun Pasar Turi menuju Stasiun Tanjung Priok. Bersyukur sekali sebab saat
ini pelayanan untuk KA ekonomi sudah mengalami kemajuan dibandingkan dua atau
tiga tahun lalu. Tidak ada penjaja makanan dan minuman dari luar yang keluar
masuk gerbong, AC cukup dingin dan kebersihan dan keamanan cukup terjaga. Tiket
pun ramah di kantong mahasiswa yakni sebesar 50 ribu rupiah sekali jalan. Ini
tarif bersubsidi lho sebab konon tahun depan subsidi ini akan dicabut sehingga
harganya akan menjadi sekitar 100 ribu sekali jalan. Satu-satunya
ketidaknyamanan yang saya rasakan adalah harus berbagi gerbong dengan
gerombolan anak SMA yang tiada henti berbicara dengan suara lantang satu sama
lain sepanjang perjalanan. Hal ini amat mengganggu para penumpang lain yang
ingin beristirahat tentunya. Belum lagi perempuan Madura di tempat duduk
seberang kiri dengan kedua putrinya. Putri terkecilnya, mungkin berusia dua
tahunan, terlihat amat menyebalkan. Mondar-mandir ke tempat duduk saya dan
sepanjang lorong, kadang-kadang menangis tak karuan. Kasihan juga sih sebenarnya.
Nampak kurang gizi: rambutnya merah, mata agak cowong. Parahnya dalam
perjalanan jauh itu, si ibu hanya menyuapinya dengan se-cup P**Mie. Itu pun
harus dibagi untuk mereka bertiga dan ada satu peristiwa yang saya saksikan
(tidak perlu saya tulis di sini) yang membuat higienitas mie tersebut patut
dipertanyakan. Meskipun demikian toh saya mampu memejamkan mata saat malam
tiba.
Sabtu, 14 Desember 2013
Kereta mendekati stasiun Cikampek
ketika pagi datang dan saya membuka mata. Kereta terlambat kurang lebih 5 jam
dari yang dijadwalkan disebabkan uji coba jalur ganda di daerah sebelah barat
Semarang. Ada hikmahya. Setidaknya kami tidak harus tiba di Jakarta pada dini
hari. Kurang lebih pada pukul 8 pagi kami turun di Stasiun Tanjung Priok.
Stasiun ini memiliki atap peron melengkung yang besar sekali. Sangat
mengagumkan. Usaha yang cukup bagus dari pemerintah untuk kembali memfungsikan
stasiun ini. Stasiun ini tidak jauh dari Terminal Tanjung Priok dan pelabuhan
penumpang Tanjung Priok. Kami menuju rumah teman saya tersebut di daerah
Cilincing dengan menggunakan angkutan kota. Tampak tiang-tiang pondasi bagian
dari proyek jalan tol Tanjung Priok tengah dikerjakan. Begitu sampai di rumah
teman saya ini, saya disambut dengan hangat oleh ayahnya dengan dialek Jawa
Timuran yang masih sangat kental. Hebat walaupun beliau adalah keturunan
Tionghoa dan sudah hijrah ke Jakarta sejak remaja, namun ke-Jawa-annya tidak
luntur. Beliau nampak cukup senang dengan kedatangan tamu dari Jawa. Beliau
banyak bercerita tentang kondisi Indonesia tahun 50-, 60-an, tentang tips
menghindari dicurangi orang dalam berbisnis. Sungguh menarik. Dan beliau tidak
suka ketika dipanggil dengan sapaan “oom” , alih-alih beliau meminta saya untuk
memanggil ia dan istrinya dengan “asuq” dan “ayi” (excuse my spelling my fellow
Chinese ;). Setelah mandi dan istirahat sejenak, siangnya saya diantar oleh
teman saya ke Hotel C****** di jalan Kramat Raya, Lagoa. Later I found out that
the hotel was situated not far from the former red light district of Kramat
Tunggak. Haha what an experience to stay overnight in that bad hotel! Beer
bottles everywhere, tattered smelly blanket, broken rolling door of the inner
shower. No regret. That’s the essence of backpacking too, right? Anyway what
can you expect for a hotel room at a rate of less than 20 dollars per night in
Jakarta. This city is almost all about money, honey!! Sore harinya kami jalan-jalan
ke Mall Kelapa Gading yang ternyata bagus banget dan nongkrong di salah satu
cafe menikmati musik live malam minggu hingga lewat tengah malam.
Minggu, 15 Desember 2013
Pemberhentian pertama. Rumah
mertua teman saya di Tegal Alur, Kalideres. Berkenalan dengan istri, mertua
teman saya dan anaknya yang masih bayi (lucu menggemaskan). Siangnya kami
meluncur ke Pasar Pagi Mangga Dua untuk mencarikan titipan adik saya berupa
jersey Manchester United. Awalnya sempat hopeless banget sih, setelah berputar-putar
ke sejumlah toko kami tidak menjumpai barang yang sesuai harapan. Namun nasib
mujur datang juga, saat melihat-lihat barang di satu toko winter clothing, mata
ini menangkap bentukan jersey MU yang oke. Harganya pun sangat memuaskan.
Kualitas tidak diragukan. Pemilik toko itu sepertinya seorang wanita keturunan
India. Penasaran? Langsung saja ke toko In, ITC Mangga Dua Lt. II Blok C
No.81-98. Puas berbelanja kami bergegas menuju kawasan wisata Kota Tua Jakarta.
Tapi alangkah kagetnya saya melihat kawasan ini dijejali hingga penuh sesak
oleh ratusan PKL, ada yang menjajakan makanan, jam tangan, sandal serta
barang-barang lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan Kota Tua sebagai
kawasan wisata sejarah!! Sungguh memalukan. Jika pemprov DKI benar-benar serius
mengembangkan kawasan ini, dibina juga donk para PKL ini. Kalau perlu tidak
perlu malu untuk belajar ke kota Surabaya yang berhasil membina para PKL-nya.
Sumpah saya langsung kehilangan minat seketika untuk menjelajahi Kota Tua.
Apalagi ikon kawasan ini, Museum Fatahilah, tengah direnovasi. Setelah
mengambil sejumlah foto hingga Kali Angke kami menuju ke Museum Bahari dan
Pelabuhan Sunda Kelapa. Karena sudah di atas jam 3 sore kami tidak dapat
mengunjungi Museum Bahari, namun beruntung kami masih diizinkan menaiki menara
Syahbandar. Dari atas, pemandangan kampung area Pasar Ikan sungguh memikat.
Kampung banget serasa di negeri Vietnam haha. Dan pelabuhan Sunda Kelapa tidak
kalah dengan pelabuhan Nyhavn di Denmark maupun pelabuhan Porto di Portugal. Di
pelabuhan Sunda Kelapa banyak bersandar pinisi, perahu kebanggaan nasional.
Aktivitas bongkar muat juga masih ramai. Ah beruntung sekali akhirnya saya bisa
menjejakkan kaki di pelabuhan kuno ini. Saya merasa seperti Bujangga Manik yang
baru pulang berlayar dari timur, hendak kembali ke istana Pakuan.
Senin, 16 Desember 2013
Tema hari ini adalah menjelajah
Jakarta dengan busway. Agak paranoid setelah diberitahu beraneka macam modus
kejahatan di kota ini oleh istri dan mertua teman saya. Pesan mereka yang
selalu terngiang: Kalau ditawari orang minuman atau makanan, jangan mau! Okay,
and off I went to the nearby busway stop. Diantar teman saya ke halte Rawa
Buaya. Berbekal peta jaringann busway yang bisa diunduh dari internet dan
dengan sedikit keberanian berdiri bergelantungan lah saya di dalam busway
karena sesaknya. Tiket amat-amat terjangkau. Hanya dengan 3500 rupiah sekali
jalan, kita bisa melenggang kangkung ke manapun di Jakarta. Koridor yang saya
gunakan selama di Jakarta adalah koridor 3,1,8 dan 9. Hari ini rencananya saya
mau melihat-lihat outlet H&M di Gandaria City Mall. Untuk ke sana dari
halte Rawa Buaya dengan busway koridor 3 turun di halte Grogol untuk pindah ke
koridor 8 dan turun di halte Kabayoran Lama. Outlet H&M ini adalah yang
pertama di Indonesia yang dibuka Oktober tahun ini. Sebelumnya untuk berbelanja
produk-produk H&M orang harus terbang ke Singapura atau Kuala Lumpur.
Mall-mall upscale di Jakarta memang tidak ada yang mengecewakan tampilan
fisiknya. Bisa bersaing lah dengan mall-mall di Orchad Road. Sebenarnya saya
bukan orang yang gila merek atau brand tertentu menyangkut masalah fashion atau
penampilan. Baju sehari-hari yang saya kenakan pun adalah baju-baju distro atau
batik buatan dalam negeri. Tapi entah mengapa setelah saya membuka laman web
H&M dan melihat apa yang ditawarkan, saya langsung suka (serta pada
dasarnya saya memang penggila hal-hal berbau Skandinavia). Dan memang terbukti
di store mereka seluas 2400 m2 di Gancy ini, barang-barang yang dipajang sungguh memuaskan mata baik
segi kualitas maupun harga. IMHO, H&M is really where quality meets
affordability. I mean it. Dibandingkan dengan merek dari Jepang, Uniqlo, yang
juga tengah naik daun dan kebetulan pernah masuk store mereka di Mall Kelapa
Gading, H&M lebih unggul dari segi desain. I ended up getting me a beige
sweatshirt cardigan leaving my dream waistcoat and blazer behind to be picked
up one day haha. Amen!!!! And hopefully they’ll be opening another store soon
in Surabaya. Amen for that too!! Oke. Untuk tujuan berikutnya saya kembali naik
busway koridor 8 sampai halte sentral Harmoni. Ambil koridor 1 (yang paling
bagus armadanya, pencitraan haha) lalu turun di halte Monas di Jalan Medan
Merdeka Barat. Saya berniat ke Museum Nasional. Namun sial ternyata mereka tutup
tiap hari Senin. Untuk menutupi kekecewaan saya, saya putuskan untuk pergi ke
Masjid Istiqlal sebab seumur-umur saya belum pernah pergi ke sana. Ternyata
cukup jauh berjalan kaki dari Museum Nasional melewati Monas menuju masjid ini.
Apalagi di bawah teriknya matahari siang bolong Jakarta, tanpa topi dan tanpa
air minum. Sangat tidak disarankan. Saya putuskan beli teh es di bapak penjual
keliling sambil nanya arah. Eh ternyata si bapak tua ini orang Jawa. Jadilah
kita ngomong memakai bahasa Jawa (Jawa kromo lho) haha. Seriously bisa ngomong
bahasa Jawa kromo tuh bisa jadi anugerah dan modal banget untuk backpacking di
daerah-daerah dengan komunitas Jawa yang banyak, sebab ragam bahasa inilah yang
kita ucapkan saat pertama kali bersua dengan orang yang tidak kita kenal. Jadi
kalau ingin belajar bahasa Jawa saya sarankan untuk belajar bentuk halus nan
sopan (kromo) sekaligus. Long story short, sampai juga saya di Masjid Istiqlal
untuk menunaikan solat lohor dan ashar. Ternyata masjid ini dekat dengan halte
busway Juanda, sehingga pulangnya saya naik busway dari sini lalu ke halte
sentral Harmoni dan naik koridor 3 lagi sampai Rawa Buaya dan disambung dengan
ojek ke Tegal Alur. Gampang sekali.
Selasa, 17 Desember 2013
Tujuan utama hari ini adalah
menjelajah dan menikmati koleksi Museum Nasional. Dari semua koleksi museum
ini, yang paling saya nantikan adalah melihat koleksi emas di lantai 4. Tiket
masuk orang dewasa cukup 5000 rupiah. Mungkin saya akan rela membayar lebih
untuk masuk ke museum ini, seriously speaking. Begitu masuk museum ini kita
akan disambut dengan koleksi aneka arca dan prasasti dari berbagai daerah.
Bangga juga mengetahui ternyata banyak benda purbakala yang berasal dari kota
kelahiran saya, Tulungagung. Ada juga koleksi tembikar dan keramik di gedung
utama, dan yang cukup mengesankan adalah sayap koleksi etnografi beberapa suku
bangsa di Indonesia. Just amazing, you have to see it for yourself! Banyak
sekali rombongan anak sekolah yag datang ke museum ini dengan bus. Sempat
melihat juga anak-anak SD berwajah bule dari sekolah internasional yang diajak
gurunya(bule juga) berkunjung ke sini dan mereka ngomong dalam bahasa Prancis
donk. Lalu saya menuju ke gedung baru di sebelah utara. Sumpah keren banget.
Baru pertama kali ini melihat museum di Indonesia yang dilengkapi dengan lift
dan eskalator. Sangat elegan, modern dan berkelas. Akhirnya sampai juga saya di
ruang koleksi emas. Semua perhisan serba emas, mulai mahkota, kelat bahu,
hiasan dada, gelang, cincin sampai mata uang emas. Perhiasan ini semuanya
adalah hasil penemuan tidak sengaja oleh petani di desa Wonoboyo, Jogonalan,
Klaten. Ada juga yang berasal dari Muteran, Mojokerto. Yang dari Wonoboyo
diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuno abad 9-10 Masehi. Luar
biasa kekayaan nenek moyang kita. Juga keterampilan para perajin emas di zaman
itu yang mengagumkan. Dan satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dalam bidang
ekonomi adalah penggunaan mata uang emas atau yang disebut tail atau tahil
sebagai alat tukar. Mengapa kita tidak bisa mengadopsi hal ini lagi di era
modern? Bukankah inilah sistem pembayaran yang sesuai dengan tuntunan agama
Islam, menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar sehingga ada keseimbangan
antara nilai intrinsik dan ekstrinsik. Mencegah terjadinya inflasi dan
permainan harga. Konon gara-gara ingin menjadikan emas dan perak sebagai alat
tukar di Libya ini lah, bapak Kadhafi sampai harus dibunuh Amerika. Konspirasi
global. Saya percaya bahwa kemakmuran Jawa pada zaman dahulu bukanalah sekedar
isapan jempol.
Rabu, 18 Desember 2013
Today is gonna be my last day in
the series of my Jakarta trip. Dari pagi buta hujan deras sudah mengguyur
ibukota. Saya pun tinggal sedikit berkemas saja. Kereta saya akan bertolak dari
Jakarta pukul 11.30. Sekitar pukul 9 lewat sedikit saya diantar oleh teman saya
ke Stasiun Jakarta Kota. Tak lupa saya berpamitan dan mengucapkan terima kasih
pada istri dan mertua teman saya yang sudah sangat berbaik hati mau menampung
saya selama empat hari terakhir saya di Jakarta. You’re such beautiful souls. Thanks
for having me and extending your hospitality.
Saat naik di KA Gaya Baru Malam saya
sempat salah masuk gerbong uuugh. Nah setelah pindah ke gerbong yang seharusnya
tahu-tahu tempat duduk saya yang memang saya pesan di dekat jendela sudah
ditempati oleh seorang wanita muda berjilbab. Saya spontan “menegur” dia, “Mbak
itu tempat duduk saya yang 9A”. Tahu kah apa balasannya? Dia dengan entengnya
menjawab dengan gaya-gaya alay sok centil ala Cherry Belle, “Saya mau duduk di
sini, mas duduk di pinggir saja”. Dasar wanita tak tahu adat, batin saya.
Sebenarnya saya tak masalah seandainya tempat duduk yang jadi hak saya dia
ambil, tapi izin dulu lah. Anda manusia, punya bahasa, bisa bicara, tolong lah
hargai hak orang lain. Blah. Sepanjang perjalanan saya bersumpah tak sudi
melihat wajah wanita sialan itu. Dan ternyata kemudian baru ketahuan dari
dialek dan bahasa yang dia pakai, ternyata dia dari suku itu. Haha pantas
banget. Untung tadi saya tak meladeninya.
Kereta api ini melewati jalur
selatan. Dan untuk kali pertama saya beruntung dapat menikmati keindahan alam
Banyumas sepanjang jalur kereta api ini. Pukul 11 malam kereta tiba ti Stasiun
Solo Jebres. Saya pun turun di sini untuk singgah di Solo selama dua hari.
Perjalanan saya ke Jakarta kali
ini amat berkesan dan pastinya akan terkenang sepanjang hidup. What’s so great
about traveling is that it allows you to catch a glimpse of what it’s like to
live somebody else’s life. You get the feeling of being empowered and enriched
as an individual. You let yourself immerse in a world you never knew before.
You challenge yourself to embrace all the differences you’ll surely come
across. That I believe will help you to find another stronger side of you you
never know exist. Rediscovering you, your true self identity while being alone
and away from all the stuffs that comfort you back home. Just pack your backpack,
get out of your shell, be courageous, be adventurous, go off the map, get lost
cos we never know what awaits us on the other end of the line. Money can be
earned trough hard works, but to see the world and make memories are things you
can’t miss either. That what it’s all about!
See my travel photos on Instagram: http://instagram.com/dian_p
No comments:
Post a Comment