Friday, June 8, 2012

Yes I'm A Proud Learner of French

Perkenalan pertama saya dengan bahasa Prancis dimulai sekitar tahun 2009. Saat itu entah mengapa saya menjadi begitu sangat tertarik mempelajarinya. Padahal asal tahu saja sebelumnya saya termasuk golongan orang yang anti dengan negara Prancis. Menurut saya Prancis itu negara yang rasis dan diskriminatif terhadap umat Islam yang merupakan kaum minoritas di sana. Saya dulu mungkin orang yang sangat mencemooh bahasa Prancis. Saya benci cara orang Prancis berbicara yang bagi saya sangat idiot dan seperti orang yang baru saja mengalami serangan stroke. Tak pernah sekalipun terbersit mimpi terpendam untuk bisa berkunjung ke Paris suatu saat nanti. Saya tak pernah tertarik untuk lebih mengenal masakan Prancis. Intinya Prancis seakan tidak pernah ada dalam kamus saya. Namun saya seperti terkena karma. Perlahan-lahan sedikit banyak saya mulai mengenal Prancis setelah membaca novel Edensor (salahkan Andrea Hirata :-P). Novel yang telah berhasil membangkitkan imajinasi saya lebih jauh mengenai Eropa. Hal ini "diperparah" setelah saya mulai mencoba mendengarkan album pertama Anggun versi bahasa Prancis "Au nom la lune" (Atas Nama Bulan). Awalnya saya membeli kaset album pertama Anggun "Snow on The Sahara" dan kebetulan di dalamnya ada sisipan lagu berbahasa Prancis "Au nom de la lune" tadi. Dari situ saya mulai tertarik mempelajari bahasa Prancis. Saat itu saya berpikir jikalau Anggun yang dengan anggun dapat berbahasa Prancis, mengapa saya tidak. Apalagi saya sebelumnya sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang lumayan. Memang saya sempat mendengar bahwa bahasa Prancis meminjamkan begitu banyak kata ke dalam bahasa Inggris sehingga saya mungkin tidak akan menemukan banyak kendala dalam hal kosakata. 

Kendala pertama yang saya hadapi dalam belajar bahasa Prancis adalah pengucapan. Bahasa Prancis memiliki banyak bunyi yany tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Pengucapannya terasa begitu lumer sebab bahasa Prancis jarang menggunakan konsonan (bahkan kadang-kadang tidak diucapkan) dan sangat kaya akan huruf hidup. Jika bahasa Indonesia hanya memiliki lima huruf hidup, bahasa Prancis punya 16 huruf hidup. Belum lagi ditambah huruf-huruf hidup yang disengaukan (nasalized vowels). Memang bila dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang diturunkan dari bahasa Latin seperti bahasa Spanyol, Italia, Portugis dll, bahasa Prancis adalah yang paling drastis perubahannya baik dari segi leksikal maupun fonologi. Konsonan benar-benar sangat tereduksi dan umumnya semakin kaya suatu bahasa akan huruf-huruf hidup makin cepat dia berubah. Namun sesulit apapun pengucapan bahasa Prancis tetap ada pola-pola yang tetap membuatnya bisa dikuasai dengan baik. Kasus ini berbeda dengan bahasa Denmark yang begitu rumit pengucapannya. Awalnya saya sempat putus asa dengan diri saya yang tidak kunjung bisa menguasai pengucapan Prancis, namun lama-lama terasa mudah begitu terbiasa dengan aturan-aturannya. Selain itu saya juga memulai mempelajari tata bahasanya. Saya optimis saja sebab saya percaya dengan pendapat yang mengatakan bahwa orang tidak akan pernah bisa menguasai bahasa asing sebelum dia mampu menguasai bahasa ibunya sendiri. Untungnya nilai bahasa Jawa dan Indonesia saya tidak pernah mengecewakan saat di bangku sekolah. Dan percayalah jika kita sudah mahir bahasa Inggris, tata bahasa Prancis tidak jauh berbeda. Malah dalam beberapa aspek mirip bahasa Jawa atau Indonesia seperti aturan kata sifat diletakkan setelah kata benda dsb. Dan ada yang mirip dengan bahasa Jerman (untungnya saya sempat ikut ekstrakurikuler bahasa Jerman saat SMA) seperti pembagian kata benda ke dalam beberapa jenis kelamin (untung hanya ada dua dalam bahasa Prancis) serta inversi kata kerja saat membentuk kalimat tanya, juga penggunaan passé composé yang sangat identik dengan tata bahasa Jerman. 


Belakangan setelah mempelajari sejarah Prancis saya baru tahu bahwa nama Prancis sendiri merupakan nama salah satu suku Jerman yang menginvasi wilayah utara Prancis. Mereka lalu mulai meninggalkan bahasa ibu mereka untuk mulai mempelajari bahasa penduduk lokal yang mereka invasi dan melahirkan dialek Prancis Utara (langue d'oïl). Jadi tidak salah bila ada yang mengatakan bahwa bahasa Prancis adalah bahasa Latin sehari-hari (bukan bahasa Latin literal) yang dituturkan dengan lidah Jerman. Setelah cukup matang dengan tata bahasa Prancis saya mulai berpikir untuk mengambil kursus. Sebab bagaimanapun saya memerlukan guru dan saya perlu berada dalam suatu lingkungan di mana saya bisa mempraktikkan apa yang sudah saya pelajari. Tidak mudah memang saat itu untuk mencari waktu luang disela saya menyelesaikan program profesi dokter (dokter muda). Di antara kesibukan magang di rumah sakit, jadwal jaga, jadwal responsi, diskusi PBL dan persiapan ujian DM syukurlah selalu ada jalan keluar. Saya masih meneruskan kursus hingga kini walau harus absen total selama tahun 2011 untuk mengikuti program internship dokter Indonesia

Banyak manfaat yang dapat saya petik setelah belajar bahasa Prancis. Sekarang saya lebih percaya diri menggunakan kata-kata bahasa Inggris yang diserap dari bahasa Prancis maupun Latin sebab saya mengenal etimologi kata-kata tersebut. Dengan sendirinya kosakata Inggris saya semakin bertambah. Bahasa Prancis telah membukakan saya pintu untuk mengakses sebuah dunia yang mungkin tidak akan pernah saya tahu jika hanya belajar bahasa Inggris. Saya tidak hanya mengenal Eropa lebih baik, tapi juga wilayah-wilayah lain di muka bumi yang menuturkan bahasa Prancis seperti Amerika Utara, Afrika Utara, Afrika Subsahara, Madagaskar, Hindia Barat, Indochina, dan Oceania. Saya merasa lebih kaya secara budaya dan sejarah, sesuatu yang memang menjadi "passion" saya sejak dulu. Dan saya percaya bahasa ini akan berpotensi menunjang karir saya sebagai dokter di masa depan. Saya sangat berharap pengajaran bahasa Prancis di Indonesia dapat diperluas. Menjadi global tidak harus dengan bahasa Inggris yang semakin menancapkan hegemoninya di penjuru dunia berbarengan dengan serbuan kapitalisme yang justru berpotensi menghilangkan budaya setempat. Hal ini berbeda dengan pola.pikir di negara-negara penutur bahasa Prancis (sebagai bahasa pertama maupun ke dua) di mana budaya dan kearifan lokal dapat berjalan selaras (walau sejarah mencatat setelah Revolusi Prancis ada usaha untuk menghapus dialek-dialek atau bahasa daerah, namun sekarang keberadaan bahasa daerah seperti bahasa Occitan dan Basque sudah mulai mendapat tempat). Saya juga masih menyimpan harapan bahwa suatu saat Indonesia akan mempertimbangkan diri untuk masuk sebagai anggota dalam l'OIF atau organisasi negara-negara penutur bahasa Prancis walaupun dalam kapasitas sebagai negara pengamat seperti yang dilakukan oleh Thailand.

You live a new life for every new language you speak. If you know only one languageyou live only once. (Czech proverb)
posted from Bloggeroid

No comments: