Belum selesai sepenuhnya dengan urusan dompet hilang, saya sudah dirundung masalah baru lain. Saya menemukan benjolan di leher saya pada 9 Mei lalu. Cukup besar. Diameter kurang lebih 1-2 cm, palpable, konsistensi padat kenyal, mobile, sedikit nyeri, lokasi di regio coli anterior dekstra di daerah submentum. Tidak sengaja saya raba karena memang tenggorokan saya agak nyeri untuk menelan. Saya menduganya semacam limfadenitis biasa. Tapi saya tetap paranoid, pikiran saya tidak tenang. Beragam diagnosis banding mulai menyerbu otak saya mulai dari kista, struma. Yang paling saya takutkan adalah limfadenitis TB (tuberculous lymphadenitis). Bukannya tanpa alasan saya memikirkan ini sebab di puskesmas cukup banyak penderita TB atau penderita yang datang dengan keluhan batuk darah (hemoptisis, batuk dengan blood streak) yang sebagian besar penyebabnya adalah tuberkulosis. Ditunjang dengan alat pengaman diri yang nyaris absen terutama masker standar di puskesmas. Saya semakin takut sebab ada sejawat yang pernah terkena tuberculous lymphadenitis saat bekerja di poli paru rumah sakit daerah. Pikiran saya mulai seakan-akan membenarkan saya terkena tuberculous lymphadenitis yang semakin menjadi-jadi setelah saya browsing ke sana ke mari. Saya bahkan sudah meminta alamat praktik dari seorang spesialis paru yang kebetulan ayah kakak kelas saya. Esoknya saya konsul kepada teman-teman sejawat di puskesmas. Ada yang berpendapat bahwa itu bisa saja memang TB kelenjar yang terbentuk karena kondisi imun yang prima sehingga kuman TB bisa dilokalisasi di kelenjar getah bening setempat. Ada yang berpendapat hanya limfadenitis biasa sehingga menyarankan saya untuk mengonsumsi antibiotik dan OAINS dan melihat perubahannya. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu sambil mulai menerapi diri dengan ciprofloksasin dan paracetamol. Tapi saya tetap tidak bisa tenang, saya lalu berpikiran untuk melakukan FNAB di Surabaya. Tanpa membuang waktu saya segera memacu sepeda motor menuju RSUD untuk menemui seorang spesialis bedah di poli bedah (tentunya tanpa perlu repot-repot mendaftar di loket hehehe). Saya utarakan masalah saya dan beliau memberikan rujukan untuk FNAB. Setelah itu saya mampir kontrakan mengambil satu dua helai pakaian lalu balik ke puskesmas untuk pamit izin cuti (lagi) pada atasan selama dua hari. Siangnya saya langsung meluncur ke Tulungagung untuk naik bus ke Surabaya. Saya mendapatkan referensi dari sejawat untuk melakukan FNAB di rumah sakit onkologi surabaya. Saya tiba di rsos ini jam 7.30 dan langsung menuju bagian registrasi. Setelah mengisi beberapa formulir, saya diminta menunggu di dekat ruangan pemeriksaan patologi anatomi sambil menunggu dokter senior Sp.PA tiba. Lalu tiba giliran saya, saya masuk ruang tersebut. Dokter Sp.PA memberikan informasi mengenai tindakan medis yang akan beliau lakukan. Penjelasan beliau sangat detil dan profesional. Saya belajar pentingnya membangun hubungan komunikasi antara dokter-pasien. Tidak terlalu sakit tindakan FNAB ini sebetulnya. Setelah menunggu hasil pemeriksaan di bawah mikroskop sebentar, alhamdulillah, ternyata benjolan saya hanya merupakan reaktif hiperplasia. Tidak ada bentukan granuloma dan bukan merupakan kista. Namun untuk lebih menyakinkan beliau menganjurkan saya untuk melakukan pemeriksaan USG leher siangnya. Akhir cerita hasil USG menunjukkan tidak ada yang perlu dicemaskan dengan benjolan tersebut. Saya pun bisa bernapas lega. Yang jelas saya sangat merekomendasikan RSOS sebagai tempat memeriksakan diri untuk mendapatkan pelayanan spesialistik dalam bidang onkologi.
No comments:
Post a Comment