Cuaca Sabtu pagi itu cerah, secerah wajah enam sekawan yang sedang mengantri tiket di Stasiun Gubeng. Masing-masing dengan tas punggung yang tampak berat. Nyaris saja mereka tidak mendapatkan tiket kereta api tujuan Bandung.
“Sudah benar-benar habis ya mbak?”, tanya seorang dari mereka kepada petugas di kaunter tiker.
“Sebentar mbak.”, sahut si petugas sambil memencet telepon dan beberapa saat kemudian ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Lalu ia mengakhiri percakapan. Menyodorkan enam lembar tiket berharga 38 ribu per lembar kepada enam sekawan.
“Wah kita beruntung. Nyaris kita batal berangkat ke Bandung.”, kata si A.
“Kan sudah kubilang seharusnya kita memesan tiket sebelumnya.”, si B beropini.
“Emang bisa ya,kan kereta yang kita tumpangi ini kereta ekonomi?”, yang lain menimpali.
Pembicaraan terhenti sesaat sebab kereta api telah tiba di stasiun itu. Tergopoh-gopoh mereka mencari gerbong nomor 5 di mana mereka akan duduk sesuai dengan yang tercetak pada tiket yang telah dibeli. Mereka terlihat bingung karena nomor gerbong tidak tertera jelas di luar gerbong. Mereka nampak bertanya pada seorang petugas.
“Hei ini tempat duduk kita!”, teriak si D.
“Alhamdulillah, untung masih sepi.”, ujar si E
Mereka lalu meletakkan tas di atas tempat duduk dan menghela napas. Saling berpandangan puas. Namun tiba-tiba ketenangan itu terusik oleh sekumpulan orang yang mengatakan bahwa enam sekawan itu duduk dalam gerbong yang salah.
“Ga mungkin pak, tadi saya sudah tanya sama petugasnya sendiri.”, si D dan F ngotot.
“Lho saya juga barusan diberitahu sama petugasnya!”, orang-orang tersebut tidak mau kalah.
Akhirnya enam sekawan beranjak mencari “gerbong lima”. Ketemu dan mereka duduk lagi.
Lima belas menit berlalu, kereta api tiba di stasiun Wonokromo. Lagi-lagi mereka dibuat terkejut oleh sekumpulan orang yang memegang tiket dengan nomor tempat duduk dan gerbong yang sama. Sontak silat lidah pun terjadi, untung tidak berlanjut menjadi baku hantam. Lidah-lidah kedua kubu sama-sama terasah rupanya sehingga sebagai jalan tengah enam sekawan tersebut terpaksa rela berbagi tempat duduk dengan orang-orang yang bagi mereka terlihat sebagai penyusup itu.
Enam sekawan ini berasal dari keluarga yang sebetulnya secara finansial mampu membeli tiket kereta api kelas premium. Namun berhubung mereka baru saja lulus dari sekolah kedokteran dan kebanyakan belum bisa mencari duit sendiri (he he), mereka memutuskan mencoba hal baru seperti naik kereta ekonomi ini. Yang lebih pro rakyat, seperti yang diakui kebanyakan penumpang kereta itu.
Si D berulang kali menyeka keringat yang tak kunjung berhenti mengucur dari tubuhnya. Sial, pikir si D. Kondisi gerbong itu sungguh merupakan pemandangan yang aduhai ajaib baginya. Kipas angin tak menyala, ah pantas panas sekali hawa saai itu. Penumpang, tua muda, asyik menghisap rokok. Tanpa rasa berdosa meskipun asapnya jelas-jelas mampir di muka penumpang wanita yang duduk di depan, di sebelah, atau di samping mereka. Salah satu di antaranya memutar lagu pop dari hapenya keras-keras, playlist-nya dari sejumlah band pendatang baru dengan lirik lagu yang picisan. Tampak pula sangkar burung yang disarungi kertas koran dan digantung dekat jendela. Entah apakah cara tersebut akan berhasil membuat burungnya tidak stres atau justru si burung makin frustrasi seperti halnya enam sekawan ini. Tak seorang pun dari enam sekawan itu terlibat dalam percakapan panjang dengan penumpang lain. Paling sebatas bertanya akan turun di mana si X,Y,Z atau memberikan sepotong kue kepada anak kecil yang tampak lapar. Mereka lebih asyik berbicara sendiri.
Koar-koar para pedagang asongan riuh rendah, naik turun silih berganti. Luar biasa. Mereka menjual apa saja. Makanan, minuman,mainan, hingga buku resep masakan. Satu-satunya yang menarik bagi enam sekawan ini adalah pedagang nasi pecel. Harga murah, sebatas mengganjal perut. Para pengamen dan waria tak mau kalah untuk ambil bagian. Oh ya selama perjalanan ini mereka sama sekali tidak beranjak dari tempat duduk, bahkan untuk buang air kecil sekalipun. Telah terjadi kesepakatan tanpa didiskusikan. Mereka tahu risikonya jika mereka berani melakukannya. Alhasil, mereka sepakat melakukan restriksi cairan dengan membatasi cairan yang masuk serta pantang minuman berkafein, paling tidak hingga kereta tiba di Bandung pada pukul 21 seperti yang tercetak dalam tiket.
Tiba-tiba kereta berhenti di tengah hutan antah-berantah untuk kali ke sekian. Kereta ini harus mengalah, mendahulukan kereta yang harga tiketnya lebih mahal. Mungkin karena terlalu sering berhenti kereta tiba di tujuan tepat tengah malam.Mungkin pada saat hari telah berganti. Mungkin.
Ah inilah potret kita yang sebenarnya. Begitu lebar dan kentara jarak antara si kaya dan si papa. Sungguh kasihan mereka. Untuk melakukan perjalanan jauh saja mereka harus bersusah payah. Sungguh suatu perjuangan. Sulit rasanya membayangkan kondisi kereta macam ini pada saat mereka pulang ke kampung halaman pada hari raya. Tampaknya tak ada yang peduli. Mengapa mereka tidak melawan. Mengapa mereka diam dan pasrah. Tidakkah mereka menginginkan perubahan? Ah rasanya tak perlu dijawab.
No comments:
Post a Comment