Pertandingan final kejuaraan sepakboa AFF leg ke dua pada 29 Desember kemarin agaknya sulit terhapus dalam benak rakyat Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini tidak lain sebab tim nasional kita ditaklukkan secara agregat 4-2 oleh tim nasional Malaysia sekalipun kita menang kemarin. Setahu saya tahun ini adalah kali ke empat kita menjadi finalis, sekaligus kali ke empat kita bercokol pada posisi ke dua. Empat kali kesempatan memeluk piala AFF tersebut terlepas sudah. Sampai kapan lagi harus menunggu.
Namun bukan itu yang ingin saya bicarakan. Cara kita menyikapi kekalahan timnas kita itulah yang kadang membuat saya heran. Kebetulan saya adalah pengguna twitter yang cukup aktif sehingga saya tahu dan mengikuti timeline dan trending topics sebelum, selama, dan sesudah pertandingan kemarin. Umumnya isi timeline maupun trending topics tersebut berputar pada rasa bangga pada timnas walaupun kalah dalam kejuaraan ini. Saya sungguh heran dan takjub. Kebanggaan macam apa itu. Sekarang banggakah Anda jika anak Anda tidak naik kelas, banggakah Anda selalu menjadi seseorang dalam barisan belakang. Bagi saya kebanggaan seperti itu adalah kebanggaan yang salah alamat, kebanggaan semu berkedok nasionalisme. Kebanggaan macam itulah yang menurut saya malah menjerumuskan timnas (atau mungkin PSSI untuk lebih adilnya). Karena rakyat sudah sangat-sangat bangga dengan timnas sepakbolanya yang hanya berada di peringkat dua selama empat kali. Mungkin inilah yang barangkali menjadi alasan PSSI enggan berubah. Kita terlalu puas dan berbangga diri dengan prestasi yang belum layak mendapatkan pengakuan.
Kebanggan itu tidak dapat dipaksakan, jangan latah menjadi bangga hanya karena mayoritas juga bangga. Kebanggaan akan lahir secara alami dari prestasi yang memang layak diteladani. Dan kebanggaan seperti itulah yang saat inim tengah dirasakan rakyat Malaysia. Namun yakinilah bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bersangkut paut dengan prestasi sepakbola (maupun prestasi olahraga). Akan lebih masuk akal jika kita mencurahkan seluruh kekuatan kita untuk memperbaiki ekonomi dan pendidikan kita yang hasilnya bisa dinikmati seluruh rakyat. Dan jangan lupa bahwa pemerintah masih punya tanggungan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang belum tuntas seperti nasib korban luapan lumpur di Sidoarjo, skandal Bank Century, skandal kriminalisasi KPK, skandal mafia pajak, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment