Setelah
membaca tulisan seorang guru dalam segmen “Gagasan” dalam harian Jawa Pos edisi
Selasa, 25 Desember 2012, saya tergelitik sekaligus berharap semoga sang
penggagas ini bukan guru bahasa Indonesia ataupun bahasa yang lain. Menurut
hemat saya tidak ada yang salah dalam penamaan “rumah sakit”. Bahasa Indonesia
secara politik adalah bahasa yang masih muda (dicetuskan dalam Sumpah Pemuda
1928) dan dalam awal perkembangannnya ia masih sangat dipengaruhi oleh bahasa
penjajah, Bahasa Belanda. Bahasa Indonesia menyerap banyak kata Belanda dan
salah satu cara penyerapan kata adalah dengan penerjemahan kata per kata secara
harfiah. Kata “rumah sakit” adalah terjemahan langsung dari kata Belanda
“ziekenhuis”. Begitu pula kata “kebun binatang” dan “lapangan terbang” yang
masing-masing diserap dari kata Belanda “dierentuin”dan “vliegveld”. Bahkan
hingga saat ini “rumah sakit” adalah kata umum yang digunakan untuk merujuk
pada institusi yang secara khusus merawat orang-orang sakit di negara-negara
dengan bahasa resmi yang berakar pada rumpun bahasa Jermanik. Di Jerman ia
disebut “Krankenhaus”. Di Norwegia, Denmark dan Swedia ia disebut “sykehus”,
“sygehus” dan “sjukhus”. Berbeda dengan padanannya dalam bahasa Inggris
“hospital” yang diambil dari Bahasa
Latin melalui perantaraan Bahasa Prancis. Tentunya belum lekang dari memori
kita bahwa dulu Surabaya memiliki rumah sakit termasyur yang bernama “Centrale
Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ)” alias Rumah Sakit Simpang. Inilah contoh nyata
bahwa “rumah sakit” benar adanya adalah serapan dari “ziekenhuis”. Namun dengan
dirobohkannya rumah sakit ini dan pengindonesiaan nama institusi ditambah
pengajaran Bahasa Belanda yang terhenti, orang sulit menemukan keterkaitan
antara kedua kata tersebut. Menjadi wajar bila sampai ada orang yang
mencetuskan agar “rumah sakit” diubah
menjadi “rumah sehat”. Dalam hemat saya, biarlah kata “rumah sakit” begitu
adanya sebagai bagian dari sejarah perkembangan bahasa nasional kita.
(fleursdemal)