Setelah
membaca tulisan seorang guru dalam segmen “Gagasan” dalam harian Jawa Pos edisi
Selasa, 25 Desember 2012, saya tergelitik sekaligus berharap semoga sang
penggagas ini bukan guru bahasa Indonesia ataupun bahasa yang lain. Menurut
hemat saya tidak ada yang salah dalam penamaan “rumah sakit”. Bahasa Indonesia
secara politik adalah bahasa yang masih muda (dicetuskan dalam Sumpah Pemuda
1928) dan dalam awal perkembangannnya ia masih sangat dipengaruhi oleh bahasa
penjajah, Bahasa Belanda. Bahasa Indonesia menyerap banyak kata Belanda dan
salah satu cara penyerapan kata adalah dengan penerjemahan kata per kata secara
harfiah. Kata “rumah sakit” adalah terjemahan langsung dari kata Belanda
“ziekenhuis”. Begitu pula kata “kebun binatang” dan “lapangan terbang” yang
masing-masing diserap dari kata Belanda “dierentuin”dan “vliegveld”. Bahkan
hingga saat ini “rumah sakit” adalah kata umum yang digunakan untuk merujuk
pada institusi yang secara khusus merawat orang-orang sakit di negara-negara
dengan bahasa resmi yang berakar pada rumpun bahasa Jermanik. Di Jerman ia
disebut “Krankenhaus”. Di Norwegia, Denmark dan Swedia ia disebut “sykehus”,
“sygehus” dan “sjukhus”. Berbeda dengan padanannya dalam bahasa Inggris
“hospital” yang diambil dari Bahasa
Latin melalui perantaraan Bahasa Prancis. Tentunya belum lekang dari memori
kita bahwa dulu Surabaya memiliki rumah sakit termasyur yang bernama “Centrale
Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ)” alias Rumah Sakit Simpang. Inilah contoh nyata
bahwa “rumah sakit” benar adanya adalah serapan dari “ziekenhuis”. Namun dengan
dirobohkannya rumah sakit ini dan pengindonesiaan nama institusi ditambah
pengajaran Bahasa Belanda yang terhenti, orang sulit menemukan keterkaitan
antara kedua kata tersebut. Menjadi wajar bila sampai ada orang yang
mencetuskan agar “rumah sakit” diubah
menjadi “rumah sehat”. Dalam hemat saya, biarlah kata “rumah sakit” begitu
adanya sebagai bagian dari sejarah perkembangan bahasa nasional kita.
(fleursdemal)
Wednesday, December 26, 2012
Friday, July 6, 2012
Another Lesson Learned
Teringat perkataan salah seorang TS dokter saraf saat masa internship dulu bahwa kehidupan seorang residen tak ubahnya seperti kehidupan selebriti. Terkesan glamour, gagah, keren. Bisa dimaklumi sebab kebanyakan usia residen berkisar di atas 25 mendekati awal 30-an di mana gairah hidup mengejar masa depan sedang menggebu-gebu. Begitu pula gairah menuntut ilmu dan berkompetisi. Yah bisa dibayangkan lah wong saat pengumuman penerimaan residen saja sudah amat menghebohkan dan menaikkan citra diri setingkat lebih tinggi hehe. Tapi saya yakin ujian sebenarnya baru akan datang saat kita sudah benar-benar terjun dalam pendidikan spesialisasi yang kita pilih. Semoga saat diterima menjadi residen nanti saya tetap bisa menjadi diri saya seperti sekarang. Semoga ke depannya bisa mengamalkan ilmu padi. Pada prinsipnya kebahagiaan saat dinyatakan lulus sebagai spesialis adalah jauh lebih indah daripada kebahagiaan saat dinyatakan diterima menjadi residen. Tidak terlalu berbangga diri dan selalu bersungguh-sungguh mencari ilmu sekaligus menjadikan diri sebagai pribadi yang unggul selama proses tersebut. Dan tentunya jangan sampai kena DO donk hehe. Semoga.
posted from Bloggeroid
Wednesday, July 4, 2012
Karena Saya Muslim
Tidak jarang saya belajar tentang kehidupan juga dari para pasien. Seperti hari ini ketika saya menerima seorang pasien di ruang pelayanan tempat saya bekerja. Seorang pria berusia 30 tahunan datang meminta surat keterangan sehat untuk keperluan pekerjaannya. Saya layani. Di akhir pelayanan iseng-iseng seorang ibu perawat bertanya kepadanya, "Bapak merokok?". "Tidak bu.", balas pasien tersebut. "Sungguh?", ibu perawat mencoba menkonfirmasi. "Betul bu, sejak sekolah dulu sampai sekarang saya tidak pernah merokok, saya juga jarang jajan (maksud pasien ini dia jarang membeli makan di warung-warung)". "Lho jajan apa dan di mana ini pak?", tanya bu perawat setengah bercanda. Sepertinya ibu perawat betul-betul penasaran apakah pasien ini pernah melakukan "jajan" itu. Kemudian pasien menjawab, "Tidak bu, saya orang muslim". Seketika itu juga saya seperti ingin menumpahkan air mata. Subhanallah. Sungguh luar biasa jawaban pasien ini. Baru kali ini saya menyaksikan secara langsung orang yang begitu bangga dan sadar atas identitas keislamannya. Tidak sekedar bangga, namun dia seakan memahami arti dari menyandang status sebagai seorang muslim. Sungguh sebuah pelajaran yang tidak setiap hari saya dapatkan.
posted from Bloggeroid
Sunday, July 1, 2012
Anatomi
Jika kebetulan ada anak kedokteran tahun pertama belajar bahasa Prancis dengan alasan agar lebih mudah mempelajari nama-nama Latin saat kuliah anatomi, agaknya alasan ini harus dipertanyakan. Bahasa Prancis memang turunan bahasa Latin, tapi sudah mengalami banyak perubahan seiring berjalannya waktu. Untuk memudahkan Anda memahami apa yang saya kemukakan di atas, silakan melihat contoh-contoh berikut. Saya berikan versi Latin dan Prancis serta artinya dalam bahasa Indonesia.
Corpus > corps (tubuh, badan)
Caput > tête (kepala, diambil dari sumber non-Latin)
Cerebrum > cerveau (otak besar)
Oculi > œil (mata)
Nasi > nez (hidung)
Buccal > bouche (mulut)
Lingua > langue (lidah)
Dentes > dent[s] (gigi)
Colli > cou (leher)
Costae > côte (rusuk)
Brachium > bras (lengan atas)
Cor > cœur (jantung)
Pulmo > poumon (paru)
Hepar > foie (hati)
Manus > main (tangan)
Digiti > doigt (jari)
Ungula > ongle (kuku)
Pedis > pied (kaki)
Genu > genou (lutut)
Terlihat ada perubahan yang drastis. Tapi paling tidak masih ada kemiripan. Dan kemiripan ini yang mungkin dapat membantu. Yang jelas pelajaran anatomi memang super sulit.
Corpus > corps (tubuh, badan)
Caput > tête (kepala, diambil dari sumber non-Latin)
Cerebrum > cerveau (otak besar)
Oculi > œil (mata)
Nasi > nez (hidung)
Buccal > bouche (mulut)
Lingua > langue (lidah)
Dentes > dent[s] (gigi)
Colli > cou (leher)
Costae > côte (rusuk)
Brachium > bras (lengan atas)
Cor > cœur (jantung)
Pulmo > poumon (paru)
Hepar > foie (hati)
Manus > main (tangan)
Digiti > doigt (jari)
Ungula > ongle (kuku)
Pedis > pied (kaki)
Genu > genou (lutut)
Terlihat ada perubahan yang drastis. Tapi paling tidak masih ada kemiripan. Dan kemiripan ini yang mungkin dapat membantu. Yang jelas pelajaran anatomi memang super sulit.
posted from Bloggeroid
Hati
Hati yang mudah berbelok kepada jalan-Mu
Hati yang luluh saat mendengar nama-Mu
Hati yang menangis saat menyaksikan kebesaran-Mu
Hati yang berderai pilu merasakan penderitaan saudara kami yang tertindas di muka bumi
Walau hati ini tiadalah seputih salju
Hati yang menyeru untuk tidak menuhankan akal
Sekalipun dahsyat dan halus rayuan para penista-Mu
Hati yang lembut kepada sang papa
Hati yang mampu membedakan baik dari cela
Hati dari makhluk-Mu yang lebih kecil dari kecil
Di hadap-Mu ya Allah
Hati dari seorang pendosa yang mengemis tuntunan-Mu
Hati yang luluh saat mendengar nama-Mu
Hati yang menangis saat menyaksikan kebesaran-Mu
Hati yang berderai pilu merasakan penderitaan saudara kami yang tertindas di muka bumi
Walau hati ini tiadalah seputih salju
Hati yang menyeru untuk tidak menuhankan akal
Sekalipun dahsyat dan halus rayuan para penista-Mu
Hati yang lembut kepada sang papa
Hati yang mampu membedakan baik dari cela
Hati dari makhluk-Mu yang lebih kecil dari kecil
Di hadap-Mu ya Allah
Hati dari seorang pendosa yang mengemis tuntunan-Mu
posted from Bloggeroid
Friday, June 8, 2012
Yes I'm A Proud Learner of French
Perkenalan pertama saya dengan bahasa Prancis dimulai sekitar tahun 2009. Saat itu entah mengapa saya menjadi begitu sangat tertarik mempelajarinya. Padahal asal tahu saja sebelumnya saya termasuk golongan orang yang anti dengan negara Prancis. Menurut saya Prancis itu negara yang rasis dan diskriminatif terhadap umat Islam yang merupakan kaum minoritas di sana. Saya dulu mungkin orang yang sangat mencemooh bahasa Prancis. Saya benci cara orang Prancis berbicara yang bagi saya sangat idiot dan seperti orang yang baru saja mengalami serangan stroke. Tak pernah sekalipun terbersit mimpi terpendam untuk bisa berkunjung ke Paris suatu saat nanti. Saya tak pernah tertarik untuk lebih mengenal masakan Prancis. Intinya Prancis seakan tidak pernah ada dalam kamus saya. Namun saya seperti terkena karma. Perlahan-lahan sedikit banyak saya mulai mengenal Prancis setelah membaca novel Edensor (salahkan Andrea Hirata :-P). Novel yang telah berhasil membangkitkan imajinasi saya lebih jauh mengenai Eropa. Hal ini "diperparah" setelah saya mulai mencoba mendengarkan album pertama Anggun versi bahasa Prancis "Au nom la lune" (Atas Nama Bulan). Awalnya saya membeli kaset album pertama Anggun "Snow on The Sahara" dan kebetulan di dalamnya ada sisipan lagu berbahasa Prancis "Au nom de la lune" tadi. Dari situ saya mulai tertarik mempelajari bahasa Prancis. Saat itu saya berpikir jikalau Anggun yang dengan anggun dapat berbahasa Prancis, mengapa saya tidak. Apalagi saya sebelumnya sudah memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang lumayan. Memang saya sempat mendengar bahwa bahasa Prancis meminjamkan begitu banyak kata ke dalam bahasa Inggris sehingga saya mungkin tidak akan menemukan banyak kendala dalam hal kosakata.
Kendala pertama yang saya hadapi dalam belajar bahasa Prancis adalah pengucapan. Bahasa Prancis memiliki banyak bunyi yany tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Pengucapannya terasa begitu lumer sebab bahasa Prancis jarang menggunakan konsonan (bahkan kadang-kadang tidak diucapkan) dan sangat kaya akan huruf hidup. Jika bahasa Indonesia hanya memiliki lima huruf hidup, bahasa Prancis punya 16 huruf hidup. Belum lagi ditambah huruf-huruf hidup yang disengaukan (nasalized vowels). Memang bila dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang diturunkan dari bahasa Latin seperti bahasa Spanyol, Italia, Portugis dll, bahasa Prancis adalah yang paling drastis perubahannya baik dari segi leksikal maupun fonologi. Konsonan benar-benar sangat tereduksi dan umumnya semakin kaya suatu bahasa akan huruf-huruf hidup makin cepat dia berubah. Namun sesulit apapun pengucapan bahasa Prancis tetap ada pola-pola yang tetap membuatnya bisa dikuasai dengan baik. Kasus ini berbeda dengan bahasa Denmark yang begitu rumit pengucapannya. Awalnya saya sempat putus asa dengan diri saya yang tidak kunjung bisa menguasai pengucapan Prancis, namun lama-lama terasa mudah begitu terbiasa dengan aturan-aturannya. Selain itu saya juga memulai mempelajari tata bahasanya. Saya optimis saja sebab saya percaya dengan pendapat yang mengatakan bahwa orang tidak akan pernah bisa menguasai bahasa asing sebelum dia mampu menguasai bahasa ibunya sendiri. Untungnya nilai bahasa Jawa dan Indonesia saya tidak pernah mengecewakan saat di bangku sekolah. Dan percayalah jika kita sudah mahir bahasa Inggris, tata bahasa Prancis tidak jauh berbeda. Malah dalam beberapa aspek mirip bahasa Jawa atau Indonesia seperti aturan kata sifat diletakkan setelah kata benda dsb. Dan ada yang mirip dengan bahasa Jerman (untungnya saya sempat ikut ekstrakurikuler bahasa Jerman saat SMA) seperti pembagian kata benda ke dalam beberapa jenis kelamin (untung hanya ada dua dalam bahasa Prancis) serta inversi kata kerja saat membentuk kalimat tanya, juga penggunaan passé composé yang sangat identik dengan tata bahasa Jerman.
Monday, June 4, 2012
Travelling to Singapore
232425 Maret 2012
At a corner of a street in a quarter with European flavor |
Akhirnya kesempatan itu datang juga untuk menikmati liburan
akhir pekan di Singapura, negara jiran tercinta (blah). Tiga hari dua malam
cukup lah untuk berehat sejenak dari kepenatan kerja. Rencana kami kali ini
adalah mengunjungi Pulau Batam lalu menyeberang ke Singapura dengan
mempergunakan ferry. Seperti biasa juga kami mempergunakan jasa travel agent
untuk mengatur semuanya dalam perjalanan ini, kecuali pembelian tiket pesawat
yang diurus bapak. Saya? Tinggal pasang badan (shame on me). Kami naik pesawat
penerbangan pagi dengan rute Surabaya-Jakarta-Batam. Pertama kalinya mengalami
naik pesawat dengan transit yang ternyata menjengkelkan. Menjelang tengah hari
tiba di Bandara Hang Nadim, Batam. Salah satu bandara yang memiliki landasan
pacu terpanjang di Indonesia. Saya tidak terkesan dengan kondisi bangunan
bandara ini. Lalu kami naik taksi menuju hotel tempat kami menginap yaitu
Nagoya Plasa yang terletak tepat di area pusat bisnis Batam. Kemudian dengan
naik bus kami dibawa ke arah selatan menuju area bekas kamp pengungsi Vietnam
di Pulau Galang. Kawasan metropolitan Batam berdiri di atas tiga pulai utama
yaitu Batam-Rempang-Galang yang satu sama lain dihubungkan dengan jembatan
berjumlah enam buah yang masing-masing dinamai dengan nama sultan-sultan kerajaan
Melayu Riau. Cukup jauh perjalanan menuju P.Galang. Tidak banyak yang tersisa
dari bekas kamp pengungsi Vietnam. Untuk mengenang keberadaan mereka
didirikanlah museum kecil ala kadarnya dan bekas perahu yang dulu dipergunakan
untuk membelah lautan. Asal tahu saja perahu mereka tanpa mesin, jadi usaha
mereka untuk mencari tempat suaka di luar Vietnam guna menghindari perang
saudara juga bukan tanpa bahaya. Hikmahnya? Saat ini orang-orang Vietnam mudah
ditemui di mana saja di Eropa dan Amerika. Tak heran bila masakan Vietnam lebih
dikenal daripada masakan Indonesia di luar negeri.
Setelah itu kami menikmati
keindahan matahari terbenam di restoran Harbour Bay. Inilah salah satu
kelebihan kota-kota di luar Jawa di mana pelabuhan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Buktinya orang dengan nyaman makan
sambil menikmati sejuknya angin laut serta kapal-kapal yang bersandar maupun
yang lalu lalang. Pengalaman yang serupa juga saya rasakan saat berlibur di
Makassar. Malam harinya kami jalan-jalan di Mall Nagoya Hill yang terletak
persis di belakang hotel tempat menginap kami. Barang elektronik yang dijual di
sini belum tentu lebih murah daripada di Jawa (blah).
Esok pagi-pagi buta kami
bertolak dari hotel untuk mengejar ferry di Pelabuhan Batam Center. Perjalanan
dengan ferry ke Singapura memakan waktu satu jam sebelum kami bersandar di
Harbour Front. Kami sudah ditunggu oleh guide kami orang Singapura yang pandai
berbahasa Mandarin (she’s of Chinese descendant) dan bahasa Indonesia tentunya.
Sebut saja KD namanya. Tujuan pertama adalah kawasan sekitar muara Sungai
Singapura, dengan landmark yang sudah terkenal seperti Lapangan Rafles,
Jembatan Anderson, Esplanade, Merlion, Marina, Eye of Singapore. Tempat yang
sangat bagus untuk mengambil foto sebab urban landscape-nya sangat tertata
apik. Sepertinya tidak ada sejengkal tanah pun di Singapura yang luput dari
pengawasan pemerintahnya. Tanah sangat berharga. Oleh sebab itu penduduknya
tinggal di flat. Kata bu KD ciri-ciri gedung flat di sini adalah terdapat
jemuran di luar jendelanya hehe. Dari sini kami dibawa ke daerah Chinatown,
mengunjungi galeri coklat, kuil Budha, pasar oleh-oleh di mana gantungan kunci
khas Singapura bisa dibeli haha. Makan siang di resto yang menyediakan menu
buffet Mongolia yang absurd. Setelah itu ke Little India untuk solat dan
mengunjungi Mustafa Center. Para penggemar coklat dan makanan manis wajb datang
ke lantai dua tempat ini. Coklat impor berbagai negara ada di sini. Saya
tergiur membeli coklat batangan dari Swiss, Australia dan Prancis (yang
semuanya saya yakin kakaonya diimpor dari Amerika Selatan dan Indonesia).
Sempat juga ke Orchard Rd. dan hanya diberi waktu 45 menit untuk berkeliling
(Damn this is why sometimes I detest any organised tours!). Frustrasi mencari H
& M store. Baru ketemu setengah jam kemudian. Dengan berat hati
mengurungkan niat masuk ke dalamnya (blah). Setelah itu mampir sebentar ke
Sentosa demi berfoto di depan bola dunia Universal Studio (sumpah absurd) dan
kemudian kembali ke Harbour Front dan mengejar ferry ke Batam. Hari terakhir di
Batam kami isi dengan berbelanja oleh-oleh khas Batam (saya rekomendasikan kue
bingka dan kek pisang Villa rasa pandan bertabur parutan keju di atasnya),
mencoba martabak Har (yummy), sate Padang (yang sausnya berasa asin absurd) dan
berbelanja untuk diri sendiri pastinya. Sorenya mengejar pesawat untuk balik ke
Surabaya dengan maskapai yang sama. Sekiranya kami tiba di rumah jam 21.00
tetapi karena ada keterlambatan masing-masing selama 1,5 jam di Batam dan
Jakarta kami sampai di rumah menjelang tengah malam. Hikmah? Pilihlah
penerbangan langsung jika memungkinkan daripada berabsurd ria dengan
penerbangan dengan transit.
Me and Social Media
Boleh dibilang gue tuh sedikit
latah dengan yang disebut jejaring sosial semacam facebook, twitter, dan
lain-lain. Ketertarikan gue dengan mereka ini dimulai kira-kira pada tahun 2008
di mana gue mulai mendaftarkan diri (sign up) di facebook. Itu pun awalnya atas
saran teman yang berasal dari Denmark dan Swedia. Setelah mereka menyelesaikan
program magang mereka selama sebulan di sini, mereka merekomendasikan situs jejaring sosial ini agar kami tetap dapat berkomunikasi satu sama lain. Awalnya gue cuek,
tapi toh akhirnya terbuat juga suatu akun atas nama gue.
Gue masih ingat betul awal-awal dulu tampilan facebook culun banget. Minimalis dalam balutan dominasi warna biru dan putih dengan fitur-fitur yang masih terbatas. Belum dikenal juga konsep linimasa (timeline) seperti sekarang so apa yang kita perbincangkan dengan sobat kita di dinding facebook tidak akan terbaca di linimasa. Jadi untuk masalah privasi, dulu facebook masih ada lah. Dan gue masih ingat dulu awalnya teman gue di facebook tuh masih berkisar puluhan. Cuma ada 8-10 orang selama bulan-bulan pertama menjadi pengguna. Sekarang sih jumlah teman gue di facebook sekitar 300-an. Coba bayangin. Jujur dulu gue nggak nyangka kalo facebook bakal nge-hype seperti sekarang ini, gue pikir facebook bakal berakhir seperti friendster (wait, setelah gue inget2 ternyata gue sempet punya friendster sih dulu , so gue ralat jejaring sosial yang pertama yang gue ikuti nggak lain dan nggak bukan adalah friendster). Dulu gue tuh ngrasa kalo facebook tuh udah paling wah, paling oke sejagad. Yang paling gue suka awal-awalnya adalah orang dengan bangga memakai nama mereka sebagai nama akun. Jadi terkesan elegan. Belum ada tuh fenomena alay-alay jijay. Terus bisa ngunggah foto-foto, ngasih komen ke foto-foto itu. Bikin status yang sekarang gue yakini telah melatih orang Indonesia untuk lebih berani menyuarakan isi pikiran, walaupun terkadang ada sebagian dari isi pikiran itu yang nggak perlu diceritakan di depan umum.
Itu tentang facebook. Terus setelah itu twitter mulai mencoba merebut hati. Di awal kemunculannya twitter kerap dicibir orang karena dianggap kurang akomodatif. Bayangkan orang dipaksa untuk menyederhanakan apa yang ingin mereka sampaikan dalam 140 karakter saja. Sebuah tantangan. Twitter memang hadir dengan konsep microblogging, dan karena alasan inilah gue jatuh cinta kepadanya. Gue memang cukup sering menulis di blog gue di blogger, tapi kelemahannya sering tidak mutakhir sebab ada kesepakatan tidak tertulis bahwa apa yang akan kita tulis di blog kita haruslah tulisan yang berbobot, yang mempunyai kekuatan atau nilai berita. Jadi perlu waktu lama untuk menulis sekaligus memolesnya. Beda dengan twitter yang berupa pesan singkat mirip sms atau semacam memo yang bisa diposkan sewaktu-waktu. Tapi akhirnya fungsi twitter saat ini jadi rancu antara microblogging atau semacam memo atau semacam pelarian untuk membuat status setelah facebook kian lama kian meredup pamornya. Apa pun itu yang jelas gue cukup puas dengan twitter dan hingga sekarang masih merupakan jejaring sosial favorit gue. Gue tercatat sebagai pengguna twitter sejak September 2009. Gue inget waktu itu gue akan ke Bali seorang diri menghabiskan akhir pekan. Dan gue langsung bikin akun twitter dengan harapan bisa menggantikan fungsi jurnal atau buku harian. Sampai saat ini gue juga udah punya akun di tumblr, flickr, youtube, google+ dan terakhir adalah instagram yang telah tersedia bagi pengguna ponsel berbasis android. Dan gue sedang semangat-semangatnya mengeksplorasi instagram yang lumayan mampu mewadahi keusilan gue dalam mendaur ulang foto meskipun gue bukan penggila fotografi. Tapi foto bagus tetaplah foto bagus. Dan di sinilah gue mencoba memahami orang dan dunia sekitar gue melalui foto-foto yang nongol di linimasa aplikasi yang satu ini. Satu hal yang pasti yaitu bahwa situs-situs jejaring sosial telah benar-benar mempengaruhi cara manusia modern dalam berkomunikasi.
Gue masih ingat betul awal-awal dulu tampilan facebook culun banget. Minimalis dalam balutan dominasi warna biru dan putih dengan fitur-fitur yang masih terbatas. Belum dikenal juga konsep linimasa (timeline) seperti sekarang so apa yang kita perbincangkan dengan sobat kita di dinding facebook tidak akan terbaca di linimasa. Jadi untuk masalah privasi, dulu facebook masih ada lah. Dan gue masih ingat dulu awalnya teman gue di facebook tuh masih berkisar puluhan. Cuma ada 8-10 orang selama bulan-bulan pertama menjadi pengguna. Sekarang sih jumlah teman gue di facebook sekitar 300-an. Coba bayangin. Jujur dulu gue nggak nyangka kalo facebook bakal nge-hype seperti sekarang ini, gue pikir facebook bakal berakhir seperti friendster (wait, setelah gue inget2 ternyata gue sempet punya friendster sih dulu , so gue ralat jejaring sosial yang pertama yang gue ikuti nggak lain dan nggak bukan adalah friendster). Dulu gue tuh ngrasa kalo facebook tuh udah paling wah, paling oke sejagad. Yang paling gue suka awal-awalnya adalah orang dengan bangga memakai nama mereka sebagai nama akun. Jadi terkesan elegan. Belum ada tuh fenomena alay-alay jijay. Terus bisa ngunggah foto-foto, ngasih komen ke foto-foto itu. Bikin status yang sekarang gue yakini telah melatih orang Indonesia untuk lebih berani menyuarakan isi pikiran, walaupun terkadang ada sebagian dari isi pikiran itu yang nggak perlu diceritakan di depan umum.
Itu tentang facebook. Terus setelah itu twitter mulai mencoba merebut hati. Di awal kemunculannya twitter kerap dicibir orang karena dianggap kurang akomodatif. Bayangkan orang dipaksa untuk menyederhanakan apa yang ingin mereka sampaikan dalam 140 karakter saja. Sebuah tantangan. Twitter memang hadir dengan konsep microblogging, dan karena alasan inilah gue jatuh cinta kepadanya. Gue memang cukup sering menulis di blog gue di blogger, tapi kelemahannya sering tidak mutakhir sebab ada kesepakatan tidak tertulis bahwa apa yang akan kita tulis di blog kita haruslah tulisan yang berbobot, yang mempunyai kekuatan atau nilai berita. Jadi perlu waktu lama untuk menulis sekaligus memolesnya. Beda dengan twitter yang berupa pesan singkat mirip sms atau semacam memo yang bisa diposkan sewaktu-waktu. Tapi akhirnya fungsi twitter saat ini jadi rancu antara microblogging atau semacam memo atau semacam pelarian untuk membuat status setelah facebook kian lama kian meredup pamornya. Apa pun itu yang jelas gue cukup puas dengan twitter dan hingga sekarang masih merupakan jejaring sosial favorit gue. Gue tercatat sebagai pengguna twitter sejak September 2009. Gue inget waktu itu gue akan ke Bali seorang diri menghabiskan akhir pekan. Dan gue langsung bikin akun twitter dengan harapan bisa menggantikan fungsi jurnal atau buku harian. Sampai saat ini gue juga udah punya akun di tumblr, flickr, youtube, google+ dan terakhir adalah instagram yang telah tersedia bagi pengguna ponsel berbasis android. Dan gue sedang semangat-semangatnya mengeksplorasi instagram yang lumayan mampu mewadahi keusilan gue dalam mendaur ulang foto meskipun gue bukan penggila fotografi. Tapi foto bagus tetaplah foto bagus. Dan di sinilah gue mencoba memahami orang dan dunia sekitar gue melalui foto-foto yang nongol di linimasa aplikasi yang satu ini. Satu hal yang pasti yaitu bahwa situs-situs jejaring sosial telah benar-benar mempengaruhi cara manusia modern dalam berkomunikasi.
Thursday, February 9, 2012
Farewell (One Late Posting)
Seemingly the time has arrived for me to say goodbye. Yep my intership period is about to terminate. It seems almost unreal we've been here for nearly a year. But no matter what has happened along the way, good or bad, it's brought colors in my ordinary life. And I should be thankful for that. Trenggalek has definitely taken up a space within my heart.
First and foremost I thank Allah Almighty for His bless and everything He has granted upon me. Not to forget our supervising doctors of whom we're so respectful: dr. Malukyanto, dr. T. R. Liliek, dr. Fonyta for having been like our parents while we were away from home. To all doctors, nurses and staffs at Community Health Centre of Gandusari, wards and emergency unit of Dr. Soedomo Hospital (whom I impossibly mention one by one on this page) for having shared their expertise and been such a great help. What would my whole year in this town be without you?
Last but not least, my 14 previous colleagues who have been such great companies and have always been supportive and enthusiatic to carry on this internship year in Trenggalek. We made it at last! Yet we're about to open another new chapter of our life. Let's just continue to pursue our dreams, shall we?
First and foremost I thank Allah Almighty for His bless and everything He has granted upon me. Not to forget our supervising doctors of whom we're so respectful: dr. Malukyanto, dr. T. R. Liliek, dr. Fonyta for having been like our parents while we were away from home. To all doctors, nurses and staffs at Community Health Centre of Gandusari, wards and emergency unit of Dr. Soedomo Hospital (whom I impossibly mention one by one on this page) for having shared their expertise and been such a great help. What would my whole year in this town be without you?
Last but not least, my 14 previous colleagues who have been such great companies and have always been supportive and enthusiatic to carry on this internship year in Trenggalek. We made it at last! Yet we're about to open another new chapter of our life. Let's just continue to pursue our dreams, shall we?
posted from Bloggeroid
Subscribe to:
Posts (Atom)