Marit Larsen by Ralph Gunthner |
Akhirnya tiga tahun setelah album terakhirnya The Chase
(2008), Marit Larsen kembali merilis album studio terbarunya 18 November lalu.
Album yang diberi judul Spark tersebut berisi 10 buah lagu yang masih menceritakan
semua pengalaman pribadinya. Khusus untuk penulisan album ke tiganya ini, Marit
menghabiskan waktu selama delapan bulan di New York untuk menemukan lingkungan penulisan
lagu yang lebih segar serta terisolasi. Tema mengenai perpisahan cukup
mendominasi di album ini seperti yang dapat didengar dalam lagu “I Can’t Love
You Anymore”. Lagu dengan iringan gitar dan drum yang terasa minimalis di
bagian verse-verse awal dan refrain dengan permainan gitar listrik di bagian
interlude dan diakhiri dengan cara yang indah. Liriknya yang ditulis bersama
Teitur, seorang pemusik asal Kepulauan Faroe, cenderung sangat jujur dan
mengena, “You had your chance, you lost my patience, I can’t love you anymore”.
Besar kemungkinan dia terinspirasi oleh perpisahan dia dengan kekasihnya, Thom
Hell, yang juga merupakan seorang pemusik, namun Marit selalu menyangkal hal
ini.
Sebagai single pertama dipilih lagu “Coming Home” yang bercerita tentang kebahagiannya
saat menatap mata seseorang yang istimewa di hatinya, “The most magical thing
that I’ve known, one look in your eyes and I’m sinking. And it feels like
coming home”. Berbeda dengan single terdahulunya “If A Song Could Get Me You”, “Coming
Home” terasa lebih lepas, lebih pop, dan lebih dominan permainan gitarnya
sepanjang lagu. Asal tahu saja, selama menyepi di New York, Marit Larsen lebih
banyak menciptakan karya baru dengan gitar dan jika ingin bermain piano dia
harus ke rumah teman atau pergi ke toko alat musik. Salah satu lagu yang
didominasi piano adalah “Don’t Move” yang merupakan salah satu lagu terbaik di
album ini. Dalam lagu ini selain piano, permainan string yang cantik juga dapat
didengar. Marit Larsen cukup terobsesi dengan string agaknya termasuk dalam
penggarapan album ini di mana dia memakai tujuhbelas buah string. Lagu
berikutnya yang saya amat sukai adalah “What If” yang dibuka dengan hentakan
drum yang ringan namun sungguh sangat menggoda. Permainan string dan permainan gitar
listrik yang jenius pada bagian bridge solo instrumental sangat penuh intrik
perlahan-lahan memuncak dan hilang tergantikan oleh permainan piano solo. Efek
drama berhasil diraih begitu Marit mulai menyanyikan lirik provokatif “Now that
I know who you are. I almost wish that I’d never met you. How incredibly sweet.
This has proven to be. You put all your trust in me. I’M YOURS INDEFINITELY”
sebelum akhirnya jeda sejenak untuk masuk bagian refrain lagi.
Lagu lain yang
layak didengarkan adalah dua lagu terakhir yaitu “Fine Line” dan “That Day”. Dalam
lagu “Fine Line” permainan piano dan harmonika dan lagi-lagi string menyatu dan
diakhiri dengan kolisi instrumen yang benar-benar indah dalam cara yang tak
terpikirkan, “It’s a fine line, it’s a fine line” diulang sebanyak lima kali
dalam melodi yang mencekam sebelum akhirnya lepas kembali ke nada awal “It’s a
fine line between love and hate. You ran away with my favourite song” dan
berakhir. Lagu “That Day” hadir dengan dominasi gitar akustik serta lirik yang
bercerita tentang awal mula dimulainya sebuah kisah cinta sebelum akhirnya saat
ini berakhir, “I wish I could go back to that day...”. Lagu yang sedih. Namun
secara keseluruhan Marit Larsen dan produsernya Kåre Christoffer Vestrheim sekali lagi menyuguhkan musik
pop yang original dengan balutan yang pararel dengan dua album terdahulunya,
hanya saja kali ini lebih bersinar dalam hal penggarapan musik, variasi, serta
penulisan lirik yang bagus. Semoga pemusik yang jenius ini dapat segera melebarkan
sayap ke Amerika ataupun ke Asia Tenggara yang dulu merupakan kantong fans
terbesar dari M2M. Apalagi Marit Larsen tahun ini dianugerahi 900000 kroner
Norwegia untuk tiga tahun dari Musik Export Norway guna memuluskan ekspansinya ke luar Norwegia. (Depe)