Monday, November 29, 2010
Jalan-Jalan ke Bandung Euy!
Semua berawal dari ajakan seorang kawan melalui SMS. Tanpa berpikir panjang saya menyanggupi karena sudah lebih dari delapan tahun saya tidak bertandang ke sana. Kata kawan saya sih, kali ini liburannya ala backpacker gitu deh. Tapi ga parah-parah juga karena untuk penginapan, kami dibolehkan menginap di rumah salah satu famili kawan yang lain di Bandung (banyak amat ya kawan saya ha ha; kami bertujuh yang berangkat dari Surabaya) dan untuk transportasi kami mendapatkan pinjaman mobil. Jalan-jalan ke Bandung kali ini kalau dirunut kurang lebih seperti di bawah ini. Semoga menjadi inspirasi (ha ha saya kok ge-er sih ;)
21 November 2010
Pukul 06.30 WIB, kami berkumpul di Stasiun Gubeng, Surabaya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kami naik kereta api Pasundan yang bertarif 38000 Rupiah sekali jalan. Awalnya nyaris ga dapat tiket lho, tapi ajaibnya kami dapat tempat duduk juga ;) Kereta berangkat jam 6 pagi tepat. Kami kira semua akan berjalan lancar hingga kereta api masuk Stasiun Wonokromo di mana kami sempat ribut dengan calon penumpang lain yang mengklaim memilki tiket dengan nomor tempat duduk yang sama dengan kami. Tapi kami ga mau mengalah dong. Akhirnya sebagai win-win solution, kami berbagi kursi dengan penumpang2 itu. Kebayang dong sempitnya. Penderitaan kami terus berlanjut sepanjang perjalanan ha ha. Mulai dari harus terpaksa menahan kencing, bokong terasa dekubitus, ASAP ROKOK sialan, pengamen dan pedagang asongan silih berganti masuk gerbong, bencong keparat, dan kereta yang sering banget berhenti di stasiun ga penting. Ya mau gimana lagi. Tapi parahnya kami baru sampai di Stasiun Kiaracondong, Bandung tepat tengah malam. Bayangin dong 18 jam dalam situasi seperti itu (so hopeless). Naik kereta api ekonomi sangat dianjurkan bagi mereka yang ga bisa menahan kencing, alergi asap rokok, dan yang hidup dengan klaustrofobia.
22 November 2010
Kami ketambahan tiga teman yang bergabung yang membawa sebuah mobil untuk kami gunakan jalan-jalan. Jadi total kami ber-10. Tempat yang kami kunjungi hari ini adalah Kawah Putih, Situ Patenggang serta penangkaran rusa Ranca Upas. Semua tempat ini terletak di selatan Bandung. Dari Bandung kami melalui tol Purbaleunyi lalu keluar lewat Kopo. Dilanjutkan menuju Soreang (19 km), setelah itu Kawah Putih (22 km lagi). Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh indah, terutama setelah memasuki Kecamatan Ciwidey. Hamparan kebun strawberry di mana-mana, dilatarbelakangi gunung-gunung berselimut kabut dan hutan yang hijau. Setibanya di pintu masuk Kawah Putih. Kami dibuat syok oleh harga tiket mobil yang mencapai 150 ribu per mobil dan ditambah lagi tiket personal sebesar 15000 per orang. Sedangkan bila naik kendaraan yang disediakan pengelola kami harus membayar 25000 per orang. Duh pemerasan!! Berhubung sudah datang jauh-jauh kami ikhlas saja, toh biayanya juga dibagi oleh sepuluh orang. Aroma sulfur yang menusuk hidung langsung tercium begitu kami mendekati bibir kawah, tapi pemandangan alam di sekelilingnya sungguh luar biasa. Oh ya, bagi Anda yang sensitif jangan berdiam terlalu lama sebab kabut yang Anda hirup bisa mengiritasi mukosa saluran napas. Anda bisa batuk-batuk, mengalami tenggorokan perih atau gatal.
Dari Kawah Putih kami ke Situ (danau kecil) Patenggang yang katanya sih pernah dijadikan tempat syuting film Heart (yang pertama dan yang ke-2). Sempatkan berperahu menuju Batu Cinta yang terletak di pulau kecil di tengah danau (bayar lagi, duh duh duh).
23 November 2010
The adventures begin! Pukul 04.30 kami bertolak dari Bandung menuju Kabupaten Ciamis dengan tujuan utama Pantai Pangandaran dan Sungai Cijulang (Green Canyon). Perjalanan lancar. Kami melintasi Nagrek, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis. Dan Kota Banjar, sebelum kami berbelok 80 km ke arah selatan. Tengah hari kami tiba di Pantai Pangandaran. Panas!! Setelah melihat-lihat sebentar kami melanjutkan perjalanan ke Cijulang. Sumpah ya di sini tuh kurang banget papan penunjuk jalan sampai kami harus tanya kepada penduduk lokal. Cijulang ditempuh kurang lebih 30 menit berkendara dari barat Pangandaran. Agar lebih mudah cari saja lapangan terbang Nusawiru. Menjelang pukul 13.00 kami tiba di depan pintu masuk Green Canyon. Biayanya dihitung per perahu yakni 75000/perahu hingga tiba di Green Canyon, jika ingin melanjutkan petualangan dengan berenang menyusuri Sungai Cijulang kita harus nambah lagi 100 ribu/perahu (bergantung kesepakatan dengan pengemudi perahu/pemandu). Duh ini mah nusuk dari belakang namanya ha ha. Tapi sumpah, obyek wisata ini harus muncul dalam daftar tempat2 yang WAJIB dikunjungi selama di Jawa Barat. It’s beyond words that we have to experience it ourselves. Sebagai bocoran kami bagi deh sedikit foto-fotonya ;)
Setelah puas berbasah-basahan, kami pulang melewati jalur Cijulang-Tasikmalaya yang sangat tidak dianjurkan sebab banyak ruas jalan yang rusak meski sebenarnya jarak tempuh lebih pendek.
24 November 2010
Tujuan kami kali ini Gunung Tangkuban Perahu - pemandian air panas Ciater - Paris van Java Shopping mall
25 November 2010
Menjelajahi pusat Kota Bandung. Museum Geologi - Gedung Sate – Museum Pos (yang spooky abis) – mencicipi yoghurt Cisangkuy – Museum Konferensi Asia-Afrika – Cihampelas Walk Mall
26 November 2010
Menjelajahi Pasar Baru (Jl. Otista) – Masjid Agung – daerah seputar Jl. Dalem Kaum – Braga Walk Mall – walking down the legendary shopping street of Braga – mencicipi Bebek Garang (10 out of 10) – beli oleh-oleh bolen khas Bandung
27 November 2010
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Dago – mencicipi yoghurt (again) dan milkshake di Bandoengsche Melk Centrale – jalan-jalan seputar ITB – kembali ke Surabaya dengan kereta api Mutiara Selatan (no more Pasundan)
22 November 2010
Kami ketambahan tiga teman yang bergabung yang membawa sebuah mobil untuk kami gunakan jalan-jalan. Jadi total kami ber-10. Tempat yang kami kunjungi hari ini adalah Kawah Putih, Situ Patenggang serta penangkaran rusa Ranca Upas. Semua tempat ini terletak di selatan Bandung. Dari Bandung kami melalui tol Purbaleunyi lalu keluar lewat Kopo. Dilanjutkan menuju Soreang (19 km), setelah itu Kawah Putih (22 km lagi). Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh indah, terutama setelah memasuki Kecamatan Ciwidey. Hamparan kebun strawberry di mana-mana, dilatarbelakangi gunung-gunung berselimut kabut dan hutan yang hijau. Setibanya di pintu masuk Kawah Putih. Kami dibuat syok oleh harga tiket mobil yang mencapai 150 ribu per mobil dan ditambah lagi tiket personal sebesar 15000 per orang. Sedangkan bila naik kendaraan yang disediakan pengelola kami harus membayar 25000 per orang. Duh pemerasan!! Berhubung sudah datang jauh-jauh kami ikhlas saja, toh biayanya juga dibagi oleh sepuluh orang. Aroma sulfur yang menusuk hidung langsung tercium begitu kami mendekati bibir kawah, tapi pemandangan alam di sekelilingnya sungguh luar biasa. Oh ya, bagi Anda yang sensitif jangan berdiam terlalu lama sebab kabut yang Anda hirup bisa mengiritasi mukosa saluran napas. Anda bisa batuk-batuk, mengalami tenggorokan perih atau gatal.
Dari Kawah Putih kami ke Situ (danau kecil) Patenggang yang katanya sih pernah dijadikan tempat syuting film Heart (yang pertama dan yang ke-2). Sempatkan berperahu menuju Batu Cinta yang terletak di pulau kecil di tengah danau (bayar lagi, duh duh duh).
23 November 2010
The adventures begin! Pukul 04.30 kami bertolak dari Bandung menuju Kabupaten Ciamis dengan tujuan utama Pantai Pangandaran dan Sungai Cijulang (Green Canyon). Perjalanan lancar. Kami melintasi Nagrek, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Ciamis. Dan Kota Banjar, sebelum kami berbelok 80 km ke arah selatan. Tengah hari kami tiba di Pantai Pangandaran. Panas!! Setelah melihat-lihat sebentar kami melanjutkan perjalanan ke Cijulang. Sumpah ya di sini tuh kurang banget papan penunjuk jalan sampai kami harus tanya kepada penduduk lokal. Cijulang ditempuh kurang lebih 30 menit berkendara dari barat Pangandaran. Agar lebih mudah cari saja lapangan terbang Nusawiru. Menjelang pukul 13.00 kami tiba di depan pintu masuk Green Canyon. Biayanya dihitung per perahu yakni 75000/perahu hingga tiba di Green Canyon, jika ingin melanjutkan petualangan dengan berenang menyusuri Sungai Cijulang kita harus nambah lagi 100 ribu/perahu (bergantung kesepakatan dengan pengemudi perahu/pemandu). Duh ini mah nusuk dari belakang namanya ha ha. Tapi sumpah, obyek wisata ini harus muncul dalam daftar tempat2 yang WAJIB dikunjungi selama di Jawa Barat. It’s beyond words that we have to experience it ourselves. Sebagai bocoran kami bagi deh sedikit foto-fotonya ;)
Setelah puas berbasah-basahan, kami pulang melewati jalur Cijulang-Tasikmalaya yang sangat tidak dianjurkan sebab banyak ruas jalan yang rusak meski sebenarnya jarak tempuh lebih pendek.
24 November 2010
Tujuan kami kali ini Gunung Tangkuban Perahu - pemandian air panas Ciater - Paris van Java Shopping mall
25 November 2010
Menjelajahi pusat Kota Bandung. Museum Geologi - Gedung Sate – Museum Pos (yang spooky abis) – mencicipi yoghurt Cisangkuy – Museum Konferensi Asia-Afrika – Cihampelas Walk Mall
26 November 2010
Menjelajahi Pasar Baru (Jl. Otista) – Masjid Agung – daerah seputar Jl. Dalem Kaum – Braga Walk Mall – walking down the legendary shopping street of Braga – mencicipi Bebek Garang (10 out of 10) – beli oleh-oleh bolen khas Bandung
27 November 2010
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Dago – mencicipi yoghurt (again) dan milkshake di Bandoengsche Melk Centrale – jalan-jalan seputar ITB – kembali ke Surabaya dengan kereta api Mutiara Selatan (no more Pasundan)
Total biaya yang saya keluarkan: 1100000 Rupiah
Remarque personnelle: Bandung memang layak disebut Parijs van Java. Kota ini seperti sebuah sentuhan Eropa di tanah Jawa. Jalan-jalannya (walau sering macet dan semrawut), kafe-kafenya, butik dan FO-nya memang sungguh memikat. Orang Bandung memang punya gaya walau terkadang terlihat frustasi dengan penampilannya. Tapi mereka tetaplah the best-dressed people in the country. Satu-satunya kota besar di Indonesia yang mampu hidup selaras dengan alam, dibanggakan dan dicintai penduduknya dengan sepenuh hati, kota yang hidup dan tumbuh dari kreatifitas. Bagi Anda yang belum berkesempatan ke Paris, berkunjunglah dulu ke Bandung he he.
Remarque personnelle: Bandung memang layak disebut Parijs van Java. Kota ini seperti sebuah sentuhan Eropa di tanah Jawa. Jalan-jalannya (walau sering macet dan semrawut), kafe-kafenya, butik dan FO-nya memang sungguh memikat. Orang Bandung memang punya gaya walau terkadang terlihat frustasi dengan penampilannya. Tapi mereka tetaplah the best-dressed people in the country. Satu-satunya kota besar di Indonesia yang mampu hidup selaras dengan alam, dibanggakan dan dicintai penduduknya dengan sepenuh hati, kota yang hidup dan tumbuh dari kreatifitas. Bagi Anda yang belum berkesempatan ke Paris, berkunjunglah dulu ke Bandung he he.
If you’re lucky enough to have lived in Paris as young man, then whenever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast. (Ernest Hemingway, 1950)
Bromo, Before It Erupted
Tanggal 26 November sekitar pukul 17.00 WIB, Gunung Bromo yang terletak di Kabupaten Probolinggo meletus. Untungnya saya telah sempat berkunjung ke sana beberapa bulan yang lalu.
Bromo, Indonesia’s Most Visited Volcano. The sunrise is around the corner
Morning dawn. A collition
The crater of Bromo
The conquerors on the top
Bromo, Indonesia’s Most Visited Volcano. The sunrise is around the corner
Morning dawn. A collition
The crater of Bromo
The conquerors on the top
Saturday, November 20, 2010
THE DIARY OF LOVE
Your days of being lonely are now over
You’ve finally found the one to fill the empty corner of your heart
You don’t have to tell me for your eyes do
Love comes like a big surprise, like a birthday present
It’s like sort of ticket, the reason you’ve been standing long in the line waiting for your turn
Impossible to decline, yet so simple as it gets
When you’re ready and just let it in
His gaze is full of love, so is yours
One can simply sense it
Along the way across the sea
He holds your hand tight, his hand is in your face, his fingers through your hair
And you love the way he treats you, the way he adores you
Love is a destiny, all you have to do is being ready
Then love goes, it feels like a knock without somebody at your door
Love flies leaving the hurt that prevails, like a cavity upon your teeth
Mysteriously you still manage to keep it long enough til you find the courage to let go
But the pain of love flies even much more slowly than the time does,
Curved neatly within the memory as you wish to retain it
You continue to seek the remedy til the summer comes bringing a lot of love along
And you’re now ready to sing a brand new song
Antara Sby-Mdr, 18-11-2010
Dedicated to my girlfriends (you know who you are xi xi ;)
TERRA INCOGNITA
Late at night I find it hard to close these eyes
I'm somewhat preoccupied by
Where this life is going to take me
Where in the world this road I take ends
Terra Incognita
Nobody's land that stretches vast before my eyes
that should get named someday by
me who keeps on dreaming about it
me who keeps on fighting for it
Terra Incognita
I'm coming for you
I'm just on my way to you
It's not as easy as it seems
But, I'm coming for you
My terra incognita
SBY, 17-11-10
I'm somewhat preoccupied by
Where this life is going to take me
Where in the world this road I take ends
Terra Incognita
Nobody's land that stretches vast before my eyes
that should get named someday by
me who keeps on dreaming about it
me who keeps on fighting for it
Terra Incognita
I'm coming for you
I'm just on my way to you
It's not as easy as it seems
But, I'm coming for you
My terra incognita
SBY, 17-11-10
Wednesday, November 10, 2010
Mentalitas Jawa
Mentalitas Jawa*
Catatan Kaki:
*J. Chaillet-Bert, melakukan studi mengenai “Jawa dan Penduduknya” (1907)
Sumber:
Dorléans, Bernard. 2006. Orang Indonesia dan Orang Prancis, dari Abab XVI sampai dengan Abad XX (Les Français et l’Indonésie du XVIe au XXe siѐcle). Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Sopan santun Jawa bisa menimbulkan salah pengertian bagi mereka yang tidak melihat secara langsung. Demokrasi kita susah jadi perbandingan: abad ke-18 terlalu bersemangat dan tidak kenal tatakrama, hanya pada abad ke-17, meski agak dibuat-buat, di masa Louis XIV dan Mme De Maintenon, ada sedikit-banyak tatakrama tapi sekaligus ketat dan lengkap. Sopan-santun Jawa itu bukan soal busana yang bisa ciut, topeng yang bisa lepas, polesan yang pudar, tapi sesuatu yang berada dalam batin dan mendasari sifatnya, yang meresapi kedirian, yang merasuki sukma.Demikian juga dengan kejenuhan. Ketidaksabaran, kematian, kekhawatiran, bahkan hawa nafsu, samasekali tidak akan diperlihatkan oleh seorang pemuka Jawa di hadapan tamunya. Dia menanti sampai berada seorang diri untuk mengekspresikan kesedihan atau kegembiraannya.
Dengan kedatangan Belanda, kemampuan tersebut di atas sejak awal dipertahankan bahkan sampai terlihat seperti merendahkan diri, selalu inginn menyenangkan pendatang sehingga tampak hangat, tetapi tetap menyimpan opini pribadinya. Pendatang menjadi penting bagi penduduk lokal. Mereka bertahan dalam sikapnya dengan cara diam, yang merupakan pembawaan sejak lahir. Pendatang dengan kata-kata sombong dan tindakan kejam bisa disebut sebagai borjuis. Penilaian itu meluas dari mulut ke mulut. Yang dibicarakan mungkinn tidak memerhatikannya, tetapi mereka adakalanya terkejut dengan senyuman di wajah kuning: inilah pembalasan dendam dari yang dikalahkan. Penyempurnaan pendidikan tidak terhindarkan dari dampak buruk: kesedihan, mendekati rasa takut yang mungkin salah, membuat kami merasa seperti kemunafikan. Ejekan, ketinggian hati, penghinaan, dan kekasaran ala Eropa bagi orang Jawa dengan kesopanan dan hal-hal yang tersirat masih bisa merasakan itu semua, tetapi mengalihkannya menjadi hal lain. Seorang Prancis pada abad ke-18 mengatakan: “Jangan marah kepada saya yang punya keinginan.” Orang-orang Jawa memilih untuk diam dan berada bersama orang-orang yang mereka sukai. Mereka piawai mengambil hati majikan mereka. Apakah kita dapat mengklasifikasikan itu menjadi kemunafikan? Kemunafikan adalah sikap buruk yang dilakukan demi kepentingan pribadi; orang-orang Jawa sepertinya tidak melakukan hal-hal buruk untuk menyimpan perasaannya di hadapan Anda. Pendidikan dan keinginan untuk menyenangkan hati orang lain tampak wajar pada mereka. Mereka sengaja menggunakan hati naluri dan secara psikologis menelanjangi jiwa orang yang bersama dengannya.
Selain bermoral seperti pengecut, kelemahan mereka yang paling parah adalah kegilaan pada birokrasi. Yang merasa paling berbangga dengan kebangsawanan selama tiga abad adalah yang paling kaya-raya dan memiliki tanah luas di sekitar tempat tinggalnya, yang paling suka berdagang dengan keluarga yang mengelola kekayaannya, tak seorang pun merasa puas atas posisi mereka di pemerintahan atau jabatan mereka di birokrasi pemerintah. Hal ini didorong oleh kecongkakan, bukan oleh penderitaan masyarakat atau juga tidak didorong oleh ambisi. Seseorang akan terus mengejar kekuasaannya sampai terlihat berkuasa. Dia takkan berdiam diri atau hanya setingkat lebih tinggi daripada posisi ayahnya sebelumnya dan tidak menurunkan martabatnya di hadapan kaum yangsederajat dengannya. Dan semuanya memilki pola pikir seperti ini.
Pada masyarakat Jawa, mereka hanya mendapat pendidikan atau tetap memperoleh yang sama dari pemerintah atau agama mereka. Pelapisan masyarakat yang merupakan peninggalan lama, yaitu: tiga anak laki-laki melakukan hal yang berbeda. Anak pertama, sejak awal sudah masuk kantor pemerintah untuk nantinya menggantikan ayah mereka, yang ke dua memasuki sekolah di masjid dan nantinya mungkin pergi ke Mekah untuk memakai surban dan berziarah dan kemudian melanjutkan ke universitas para imam dan pendidikan eklesiastik. Yang terakhir, setelah kakak-kakaknya memilih jalan hidup mereka masing-masing, hanya bisa menikah di lingkungan keluarga dan mengelola harta mereka. Apabila anak ke tiga tidak memunyai jiwa penakluk yang akan berpengaruh besar di masyarakat sehingga bisa bertindak leluasa dan mendapat penghargaan dari golongan yang memilki status di atasnya dan yang berprasangka. Mereka yang dianggap menyimpang dari kelas mereka maka nilai kebangsawanannya direndahkan. Mereka akan kehilangan pengaruh yang didapatnya dari nenek-moyang mereka sejak lama. Masyarakat ini menganggap rendah bercocok-tanam. Mereka juga menganggap rendah perdagangan dan juga industri serta tidak peduli terhadap ilmu pengetahuan. Mereka juga dapat dikatakan tidak mengenali kesusastraan, sebelumnya mereka menerima agama karena terpaksa. Agaman dipraktikkan secara acuh tak acuh,hanya di luarnya saja dan mereka percaya pada takhayul. Hanya kekuasaan pemerintah yang mereka hormati.
Jangan berbicara soal uang dengan mereka. Mereka tidak peduli. Siapa yang lebih mampu daripada mereka untuk menghamburkannya? Dari tingkatan yang paling tinggi sampai dengan dengan yang terendah semuanya terjerat hutang sampai ke leher. Hal ini berdampak pada politik dalam negeri. Akan tetapi...apakah uang yang mereka dapatkan? Apakah yang didapat dari perdagangan? Bagi orang Cina memang benar. Dari bunga uang? Bagi orang Arab memang benar. Dari industri? Bagi orang Eropa memang benar... Dari menabung? Hanya dilakukan oleh beberapa orang Madura, siapa yang memikirkan hal itu? Bukan...uang yang dihormati, uang yang membuat senang, adalah uang yang diterima dari pemerintah, uang yang diambil dari pajak. Itulah kredonya; Kami berusaha mengubahnya, tetapi perubahannya sangat lambat. Jawa pada tingkatan yang paling rendah masih tetap wilayah yang dipenuhi dengan pengaruh para pegawai negeri.
Jumlah yang beragama sangat sedikit apalagi yang bermoral, sebaliknya banyak sekali orang yang percaya pada takhayul. Tidak ada orang yang tidak punya kepercayaan karena sejarah dan alam bersatu menentang mereka. Tiga ras secara berturut-turut terbentuk oleh tradisi Hindu, Melayu, Cina, tiga ras di dunia yang paling kaya imajinasi dan legenda. Dari merekalah mitologi diturunkan ke orang-orang Jawa. Alamnya memang berpengaruh besar. Hutan-hutan dengan penghuni yang buas, gunung-gunung yang melontarkan api menyebabkan penduduknya dipenuhi ketakutan dan mudah percaya. Mereka percaya pada buaya yang memilki jiwa leluhurnya, harimau yang dihormati oleh para pejabat negara dan bawahannya, naga yang menjadi penjaga bumi.
Dengan kedatangan Belanda, kemampuan tersebut di atas sejak awal dipertahankan bahkan sampai terlihat seperti merendahkan diri, selalu inginn menyenangkan pendatang sehingga tampak hangat, tetapi tetap menyimpan opini pribadinya. Pendatang menjadi penting bagi penduduk lokal. Mereka bertahan dalam sikapnya dengan cara diam, yang merupakan pembawaan sejak lahir. Pendatang dengan kata-kata sombong dan tindakan kejam bisa disebut sebagai borjuis. Penilaian itu meluas dari mulut ke mulut. Yang dibicarakan mungkinn tidak memerhatikannya, tetapi mereka adakalanya terkejut dengan senyuman di wajah kuning: inilah pembalasan dendam dari yang dikalahkan. Penyempurnaan pendidikan tidak terhindarkan dari dampak buruk: kesedihan, mendekati rasa takut yang mungkin salah, membuat kami merasa seperti kemunafikan. Ejekan, ketinggian hati, penghinaan, dan kekasaran ala Eropa bagi orang Jawa dengan kesopanan dan hal-hal yang tersirat masih bisa merasakan itu semua, tetapi mengalihkannya menjadi hal lain. Seorang Prancis pada abad ke-18 mengatakan: “Jangan marah kepada saya yang punya keinginan.” Orang-orang Jawa memilih untuk diam dan berada bersama orang-orang yang mereka sukai. Mereka piawai mengambil hati majikan mereka. Apakah kita dapat mengklasifikasikan itu menjadi kemunafikan? Kemunafikan adalah sikap buruk yang dilakukan demi kepentingan pribadi; orang-orang Jawa sepertinya tidak melakukan hal-hal buruk untuk menyimpan perasaannya di hadapan Anda. Pendidikan dan keinginan untuk menyenangkan hati orang lain tampak wajar pada mereka. Mereka sengaja menggunakan hati naluri dan secara psikologis menelanjangi jiwa orang yang bersama dengannya.
Selain bermoral seperti pengecut, kelemahan mereka yang paling parah adalah kegilaan pada birokrasi. Yang merasa paling berbangga dengan kebangsawanan selama tiga abad adalah yang paling kaya-raya dan memiliki tanah luas di sekitar tempat tinggalnya, yang paling suka berdagang dengan keluarga yang mengelola kekayaannya, tak seorang pun merasa puas atas posisi mereka di pemerintahan atau jabatan mereka di birokrasi pemerintah. Hal ini didorong oleh kecongkakan, bukan oleh penderitaan masyarakat atau juga tidak didorong oleh ambisi. Seseorang akan terus mengejar kekuasaannya sampai terlihat berkuasa. Dia takkan berdiam diri atau hanya setingkat lebih tinggi daripada posisi ayahnya sebelumnya dan tidak menurunkan martabatnya di hadapan kaum yangsederajat dengannya. Dan semuanya memilki pola pikir seperti ini.
Pada masyarakat Jawa, mereka hanya mendapat pendidikan atau tetap memperoleh yang sama dari pemerintah atau agama mereka. Pelapisan masyarakat yang merupakan peninggalan lama, yaitu: tiga anak laki-laki melakukan hal yang berbeda. Anak pertama, sejak awal sudah masuk kantor pemerintah untuk nantinya menggantikan ayah mereka, yang ke dua memasuki sekolah di masjid dan nantinya mungkin pergi ke Mekah untuk memakai surban dan berziarah dan kemudian melanjutkan ke universitas para imam dan pendidikan eklesiastik. Yang terakhir, setelah kakak-kakaknya memilih jalan hidup mereka masing-masing, hanya bisa menikah di lingkungan keluarga dan mengelola harta mereka. Apabila anak ke tiga tidak memunyai jiwa penakluk yang akan berpengaruh besar di masyarakat sehingga bisa bertindak leluasa dan mendapat penghargaan dari golongan yang memilki status di atasnya dan yang berprasangka. Mereka yang dianggap menyimpang dari kelas mereka maka nilai kebangsawanannya direndahkan. Mereka akan kehilangan pengaruh yang didapatnya dari nenek-moyang mereka sejak lama. Masyarakat ini menganggap rendah bercocok-tanam. Mereka juga menganggap rendah perdagangan dan juga industri serta tidak peduli terhadap ilmu pengetahuan. Mereka juga dapat dikatakan tidak mengenali kesusastraan, sebelumnya mereka menerima agama karena terpaksa. Agaman dipraktikkan secara acuh tak acuh,hanya di luarnya saja dan mereka percaya pada takhayul. Hanya kekuasaan pemerintah yang mereka hormati.
Jangan berbicara soal uang dengan mereka. Mereka tidak peduli. Siapa yang lebih mampu daripada mereka untuk menghamburkannya? Dari tingkatan yang paling tinggi sampai dengan dengan yang terendah semuanya terjerat hutang sampai ke leher. Hal ini berdampak pada politik dalam negeri. Akan tetapi...apakah uang yang mereka dapatkan? Apakah yang didapat dari perdagangan? Bagi orang Cina memang benar. Dari bunga uang? Bagi orang Arab memang benar. Dari industri? Bagi orang Eropa memang benar... Dari menabung? Hanya dilakukan oleh beberapa orang Madura, siapa yang memikirkan hal itu? Bukan...uang yang dihormati, uang yang membuat senang, adalah uang yang diterima dari pemerintah, uang yang diambil dari pajak. Itulah kredonya; Kami berusaha mengubahnya, tetapi perubahannya sangat lambat. Jawa pada tingkatan yang paling rendah masih tetap wilayah yang dipenuhi dengan pengaruh para pegawai negeri.
Jumlah yang beragama sangat sedikit apalagi yang bermoral, sebaliknya banyak sekali orang yang percaya pada takhayul. Tidak ada orang yang tidak punya kepercayaan karena sejarah dan alam bersatu menentang mereka. Tiga ras secara berturut-turut terbentuk oleh tradisi Hindu, Melayu, Cina, tiga ras di dunia yang paling kaya imajinasi dan legenda. Dari merekalah mitologi diturunkan ke orang-orang Jawa. Alamnya memang berpengaruh besar. Hutan-hutan dengan penghuni yang buas, gunung-gunung yang melontarkan api menyebabkan penduduknya dipenuhi ketakutan dan mudah percaya. Mereka percaya pada buaya yang memilki jiwa leluhurnya, harimau yang dihormati oleh para pejabat negara dan bawahannya, naga yang menjadi penjaga bumi.
Catatan Kaki:
*J. Chaillet-Bert, melakukan studi mengenai “Jawa dan Penduduknya” (1907)
Sumber:
Dorléans, Bernard. 2006. Orang Indonesia dan Orang Prancis, dari Abab XVI sampai dengan Abad XX (Les Français et l’Indonésie du XVIe au XXe siѐcle). Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Cuci Piring Setelah Makan
Just got the copy of Hidayatullah magazine’s November edition (it’s an Islamic magazine with the largest circulation in the country) yesterday and got hooked on a great and inspiring article in it. It tells us simply about how to nurture the responsiblity from the early age. The article is sent by Mrs. Ida S. Widayanti, an author, thanks to her for the cool contribution. Here we go. Bonne lecture!
Cuci Piring Setelah Makan
Cuci Piring Setelah Makan
Alkisah, pada suatu masa ada seorang pemuda yang mencari guru terbaik di negerinya. Ia mendengar bahwa guru yang paling hebat tinggal di sebuah tempat yang jauh dan sulit untuk ditempuh. Karena tekadnya sudah sangat kuat, maka berangkatlah pemuda ini dengan membawa perbekalan secukupnya.
Setelah menempuh perjalanan jauh, tibalah sang pemuda di tempat sang guru.
“Apa yang membuatmu tiba di tempat ini, anak muda?” tanya sang guru.
“Saya ingin berguru agar saya menjadi orang yang arif dan bijaksana serta menjadi seorang pemimpin masyarakat.”
“Baiklah, sebelum saya bisa menerimamu, saya ingin bertanya, apakah engkau mencuci piring bekas sarapanmu tadi pagi?”
“Tentu saja tidak sempat, Guru. Berangkat ke sini bagi saya merupakan hal yang sangat penting, jangan sampai terganggu oleh hal yang sepele.”
“Kamu salah, sekarang pulanglah dulu. Cucilah piringmu dulu! Bagaimana mungkin engkau bisa jadi pemimpin yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negeri, sedangkan engkau tidak bertanggung jawab terhadap barang yang telah engkau pergunakan.”
Kisah di atas memberi pelajaran yang penting. Kita kerap menginginkan anak atau siswa kelak menjadi seorang pemimpin hebat yang berguna bagi bangsa dan masyarakat, namun tidak membangun sifat tanggung jawab itu dari hal-hal kecil dan dari dalam dirinya sendiri.
Lihatlah fenomena keluarga zaman sekarang. Jika sedang ada acara kumpul dengan keluarga besar, misalnya saat hari raya Idul Fitri, maka para ibunyalah yang sibuk, mulai memasak makanan,mencuci piring, gelas-gelas bekas keluarga dan tamu, sampai mencucikan baju. Sedang anak-anak dari yang masih kecil hingga remaja cenderung hanya bersenang-senang, bermain, dan bersantai-santai.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan beberapa dekade lalu, yang mana orang tua sangat melibatkan anak-anak dalam kegiatan rumah tangga. Sehingga sifat tanggung jawab dan kemandirian anak tumbuh. Di beberapa daerah mungkin fenomena tersebut masih tampak, namun di masyarakat perkotaan sudah hampir luntur. Anak-anak hanya dibangun kemampuan kognitifnya dengan belajar aspek akademis semata, sedangkan kemandirian kurang dibangun karena mengandalkan pembantu rumah tangga (PRT).
Di negara-negara Barat, di mana gaji pegawai domestik sangat tinggi, jarang ada keluarga yang memperkerjakan PRT. Walhasil, anak-anak sudah dilatih kemandirian sejak dini. Beberapa sekolah memberikan pelajaran home carrier , agar siswa-siswi profesional dalam mengelola pekerjaan rumah tangga. Mereka belajar bagaimana memasak praktis dan bergizi, mengatur lemari pakaian untuk empat musim, membersihkan rumah, juga mengatur barang-barang di gudang.
Di sebuah sekolah usia dini, saat bermain bebas disediakan berbagai alat permainan, di antaranya: tempat mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan mobil, memandikan bayi, dan lain-lain. Anak-anak usia 2-3 tahun pun dengan senang dan serius melakukan kegiatannya. Mungkin terlihat sepele, namun sangat penting untuk kehidupan masa depan mereka.
Setelah menempuh perjalanan jauh, tibalah sang pemuda di tempat sang guru.
“Apa yang membuatmu tiba di tempat ini, anak muda?” tanya sang guru.
“Saya ingin berguru agar saya menjadi orang yang arif dan bijaksana serta menjadi seorang pemimpin masyarakat.”
“Baiklah, sebelum saya bisa menerimamu, saya ingin bertanya, apakah engkau mencuci piring bekas sarapanmu tadi pagi?”
“Tentu saja tidak sempat, Guru. Berangkat ke sini bagi saya merupakan hal yang sangat penting, jangan sampai terganggu oleh hal yang sepele.”
“Kamu salah, sekarang pulanglah dulu. Cucilah piringmu dulu! Bagaimana mungkin engkau bisa jadi pemimpin yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negeri, sedangkan engkau tidak bertanggung jawab terhadap barang yang telah engkau pergunakan.”
Kisah di atas memberi pelajaran yang penting. Kita kerap menginginkan anak atau siswa kelak menjadi seorang pemimpin hebat yang berguna bagi bangsa dan masyarakat, namun tidak membangun sifat tanggung jawab itu dari hal-hal kecil dan dari dalam dirinya sendiri.
Lihatlah fenomena keluarga zaman sekarang. Jika sedang ada acara kumpul dengan keluarga besar, misalnya saat hari raya Idul Fitri, maka para ibunyalah yang sibuk, mulai memasak makanan,mencuci piring, gelas-gelas bekas keluarga dan tamu, sampai mencucikan baju. Sedang anak-anak dari yang masih kecil hingga remaja cenderung hanya bersenang-senang, bermain, dan bersantai-santai.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan beberapa dekade lalu, yang mana orang tua sangat melibatkan anak-anak dalam kegiatan rumah tangga. Sehingga sifat tanggung jawab dan kemandirian anak tumbuh. Di beberapa daerah mungkin fenomena tersebut masih tampak, namun di masyarakat perkotaan sudah hampir luntur. Anak-anak hanya dibangun kemampuan kognitifnya dengan belajar aspek akademis semata, sedangkan kemandirian kurang dibangun karena mengandalkan pembantu rumah tangga (PRT).
Di negara-negara Barat, di mana gaji pegawai domestik sangat tinggi, jarang ada keluarga yang memperkerjakan PRT. Walhasil, anak-anak sudah dilatih kemandirian sejak dini. Beberapa sekolah memberikan pelajaran home carrier , agar siswa-siswi profesional dalam mengelola pekerjaan rumah tangga. Mereka belajar bagaimana memasak praktis dan bergizi, mengatur lemari pakaian untuk empat musim, membersihkan rumah, juga mengatur barang-barang di gudang.
Di sebuah sekolah usia dini, saat bermain bebas disediakan berbagai alat permainan, di antaranya: tempat mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan mobil, memandikan bayi, dan lain-lain. Anak-anak usia 2-3 tahun pun dengan senang dan serius melakukan kegiatannya. Mungkin terlihat sepele, namun sangat penting untuk kehidupan masa depan mereka.
Sunday, November 7, 2010
Marit Larsen and Obsession
Imagine you wake up in a perfect Saturday morning with a thick smell of mouth-watering muffin in the air baked by your girl. Then you preceed to the kitchen and find her pouring the dough into the cake-tins watchfully. You see the love and tender in her eyes. Suddenly you feel you’re the luckiest guy on earth to have her with whom you’re spending the rest of your life. The very naked truth ;)
Above: Marit Larsen, home-made muffins in the making. This talented Norwegian singer-songwriter thinks she’d make a good housewife, admitting she can spend 2-3 hours in the kitchen preparing food while expecting the new ideas for writing songs to pop out. She’s already had a boyfriend named Thom Hell, who’s just also a great musician. What a perfect couple!
Credit to Halvard for scanned picture ;)
Above: Marit Larsen, home-made muffins in the making. This talented Norwegian singer-songwriter thinks she’d make a good housewife, admitting she can spend 2-3 hours in the kitchen preparing food while expecting the new ideas for writing songs to pop out. She’s already had a boyfriend named Thom Hell, who’s just also a great musician. What a perfect couple!
Credit to Halvard for scanned picture ;)
Friday, November 5, 2010
Halloween: la fête commence
Un peu d’histoire
La fête d’Halloween a été inventée par nos amis les Gaulois, il y a 2500 ans. A la fin de l’été, l’année gauloise se terminait. Les animaux quittaient leur pâturage pour rentrer dans les étables. Pour remercier le soleil de la bonne moisson, les Gaulois organisaient dans la nuit du 31 octobre au 1er novembre une fête qu’ils avaient baptisée Samain. Lors de cette fête, les Gaulois éteignaient tous les feux puis se ressemblaient autour des druides (prêtres gaulois) qui avaient pour mission d’éteindre officiellement ces anciens feux pour en rallumer un autre afin d’honorer le soleil et chasser les mauvais esprits. Tous les Gaulois recevaient une braise de ce feu pour, à leur tour, allumer un nouveau feu qui devait durer toute la nouvelle année. La fête durait deux semaines. Afin de chasser les mauvais esprits, les Gaulois mettaient sur eux des tenues effrayantes. Ils mangeaient et buvaient, bref, faisaient la fête.
De Samain à Halloween
C’était les premieres pas vers, ce qui sera, des siѐcles plus tard, la fête de Halloween. Vers l’an 840, Samain a été mis dans le calendrier chrétien. Cette fête a été ensuite appelée Toussaint par le pape Grégoire IV. Le mot anglais serait né en cette période et devint “Hallowe’en” veille de la Toussaint puis Halloween. Cette fête a été ensuite suivie par les Irlandais, les Ecossais, les Gallois.
A la suite d’une grande famine qui poussa ces peuples à émigrer aux Etats-Unis, Halloween est devenue une fête nationale aux Etats-Unis.
Source: TBA ;)
La fête d’Halloween a été inventée par nos amis les Gaulois, il y a 2500 ans. A la fin de l’été, l’année gauloise se terminait. Les animaux quittaient leur pâturage pour rentrer dans les étables. Pour remercier le soleil de la bonne moisson, les Gaulois organisaient dans la nuit du 31 octobre au 1er novembre une fête qu’ils avaient baptisée Samain. Lors de cette fête, les Gaulois éteignaient tous les feux puis se ressemblaient autour des druides (prêtres gaulois) qui avaient pour mission d’éteindre officiellement ces anciens feux pour en rallumer un autre afin d’honorer le soleil et chasser les mauvais esprits. Tous les Gaulois recevaient une braise de ce feu pour, à leur tour, allumer un nouveau feu qui devait durer toute la nouvelle année. La fête durait deux semaines. Afin de chasser les mauvais esprits, les Gaulois mettaient sur eux des tenues effrayantes. Ils mangeaient et buvaient, bref, faisaient la fête.
De Samain à Halloween
C’était les premieres pas vers, ce qui sera, des siѐcles plus tard, la fête de Halloween. Vers l’an 840, Samain a été mis dans le calendrier chrétien. Cette fête a été ensuite appelée Toussaint par le pape Grégoire IV. Le mot anglais serait né en cette période et devint “Hallowe’en” veille de la Toussaint puis Halloween. Cette fête a été ensuite suivie par les Irlandais, les Ecossais, les Gallois.
A la suite d’une grande famine qui poussa ces peuples à émigrer aux Etats-Unis, Halloween est devenue une fête nationale aux Etats-Unis.
Source: TBA ;)
Les experiences inoubliables
A Few Little Things From The Past I Won’t Let Go
If man could really invent a time machine, it would seriously be a technological triumph as well as a priceless contribution towards civilization. It would enable us to do tons of beyond-imagination things. We’d possibly get the luck to have a rendez-vous with our grand, grand, grandparents or to witness from afar by the day Krakatoa exploded massively back in 1883; to break down the mystery of how Madagascar was populated etc, etc. Just too many possibilities. But there’d be no such thing we called history if such machine did exist, wouldn’t it? So we’d better stand lightyears apart from it. As for me, I do have some memories which are too sweet to get over. But I mostly find that the memories of my childhood are the hard ones to recall. Perhaps my childhood wasn’t that interesting that it wouldn’t turn itself into a long-term memory. Overall in this ever-expanding universe, it’s strange to think that all adventures have an end. So nasty knowing we’ll leave this world in the end, that every living creatures has to breath his very last breath. Oh la la life is so whimsical ;)
≠1. One day I was sitting in a cafe with my Danish and Swedish friends. While waiting for the orders, we broke into a conversation. Having known I knew some Norwegian, he challenged me to say something in it. So I said a simple sentence, “Jeg tror vi kan gå på kino i dag (I think we can go to the cinema today)”. They both could got it. That way I proved that the mutual intelligibility among Scandinavian languages wasn’t a myth ;)
≠2. I made my first air trip from Solo to Surabaya when I was in my second or third year of primary school. The flight itself lasted only some 30 minutes, but it surely had a deep impact in the innocent me. I’ve been fascinated by airplanes ever since.
≠3. I had a hard-to-please English teacher during my second year of middle school. Being her student meant we had to have a good memory as every week she obliged us to remember by heart the conjugation list of irregular verbs she made. If not for her, I could hardly think what would happen to my English today. She really laid the building blocks for improving my English. A grace in disguise, isn’n it?
≠4. I had my first Mc. Do’s big meal hamburger during a layover in Bali on my way to Japan. I got the impression that munching burger in the middle of the night was awfully awful. I couldn’t find out why.
≠5. My 5 day trip to Japan in 2000 was more than I bargained for. FYI, I went to a small town on Shikoku Island called Kochi to represent Surabaya in education exchange program. Both towns were twinned on a sister city program. But they didn’t ressemble much, frankly speaking ;). Japan was, like the rumours had it, convenient. I love the Kansai Airport in Osaka, so biggy and looked futuristic. And when in Kochi I did a lot of tour: visiting some schools, visiting some interesting places in the town, learning how the garbages was recycled and managed carefully and attentively (they had a huge building with a giant garbage-processing machine in it), most importantly I had the chance to stay overnight by a Japanese family. Though I didn’t speak any Japanese, I could always find the way to communicate with them. But we’ve now somewhat lost contact to each other.
≠6. Long before English started to intrude Indonesian vocabulary, one used to call a flat or an appartement as kondominium. On a train to Bandung, I saw that kind of buliding. Moments later I screamed enthusiastically, “Papa, look, there’s a tall and huge kondom (instead of saying kondominium)”. I bursted out like crazy that my dad had to cover my big mouth ;) Guess, it was a bit embarassing for my parents.
≠7. I was so excited knowing I was accepted in a medical school through the national college entrance exam after a series of flops. Didn’t know exactly how come I could make it. It was fated maybe.
≠8. Graduating from my highschool was perhaps the happiest moment in my life. Some say that highschool is the best stage in your lifetime. But it just didn’t work on me. I just couldn’t get along well with it.
≠9. One should really see the sunrise over Mt. Bromo and the sunset over Uluwatu Temple in Bali. I insist!!!!!!!!!!!!!! And Lombok’s Kuta beach and Gili Trawangan are my revelations of the year!!!!!
≠10. I miss Saudi Arabian city of Madina!!!!!!!! It’s always in my heart!
≠11. The rest is mine to keep ;P
If man could really invent a time machine, it would seriously be a technological triumph as well as a priceless contribution towards civilization. It would enable us to do tons of beyond-imagination things. We’d possibly get the luck to have a rendez-vous with our grand, grand, grandparents or to witness from afar by the day Krakatoa exploded massively back in 1883; to break down the mystery of how Madagascar was populated etc, etc. Just too many possibilities. But there’d be no such thing we called history if such machine did exist, wouldn’t it? So we’d better stand lightyears apart from it. As for me, I do have some memories which are too sweet to get over. But I mostly find that the memories of my childhood are the hard ones to recall. Perhaps my childhood wasn’t that interesting that it wouldn’t turn itself into a long-term memory. Overall in this ever-expanding universe, it’s strange to think that all adventures have an end. So nasty knowing we’ll leave this world in the end, that every living creatures has to breath his very last breath. Oh la la life is so whimsical ;)
≠1. One day I was sitting in a cafe with my Danish and Swedish friends. While waiting for the orders, we broke into a conversation. Having known I knew some Norwegian, he challenged me to say something in it. So I said a simple sentence, “Jeg tror vi kan gå på kino i dag (I think we can go to the cinema today)”. They both could got it. That way I proved that the mutual intelligibility among Scandinavian languages wasn’t a myth ;)
≠2. I made my first air trip from Solo to Surabaya when I was in my second or third year of primary school. The flight itself lasted only some 30 minutes, but it surely had a deep impact in the innocent me. I’ve been fascinated by airplanes ever since.
≠3. I had a hard-to-please English teacher during my second year of middle school. Being her student meant we had to have a good memory as every week she obliged us to remember by heart the conjugation list of irregular verbs she made. If not for her, I could hardly think what would happen to my English today. She really laid the building blocks for improving my English. A grace in disguise, isn’n it?
≠4. I had my first Mc. Do’s big meal hamburger during a layover in Bali on my way to Japan. I got the impression that munching burger in the middle of the night was awfully awful. I couldn’t find out why.
≠5. My 5 day trip to Japan in 2000 was more than I bargained for. FYI, I went to a small town on Shikoku Island called Kochi to represent Surabaya in education exchange program. Both towns were twinned on a sister city program. But they didn’t ressemble much, frankly speaking ;). Japan was, like the rumours had it, convenient. I love the Kansai Airport in Osaka, so biggy and looked futuristic. And when in Kochi I did a lot of tour: visiting some schools, visiting some interesting places in the town, learning how the garbages was recycled and managed carefully and attentively (they had a huge building with a giant garbage-processing machine in it), most importantly I had the chance to stay overnight by a Japanese family. Though I didn’t speak any Japanese, I could always find the way to communicate with them. But we’ve now somewhat lost contact to each other.
≠6. Long before English started to intrude Indonesian vocabulary, one used to call a flat or an appartement as kondominium. On a train to Bandung, I saw that kind of buliding. Moments later I screamed enthusiastically, “Papa, look, there’s a tall and huge kondom (instead of saying kondominium)”. I bursted out like crazy that my dad had to cover my big mouth ;) Guess, it was a bit embarassing for my parents.
≠7. I was so excited knowing I was accepted in a medical school through the national college entrance exam after a series of flops. Didn’t know exactly how come I could make it. It was fated maybe.
≠8. Graduating from my highschool was perhaps the happiest moment in my life. Some say that highschool is the best stage in your lifetime. But it just didn’t work on me. I just couldn’t get along well with it.
≠9. One should really see the sunrise over Mt. Bromo and the sunset over Uluwatu Temple in Bali. I insist!!!!!!!!!!!!!! And Lombok’s Kuta beach and Gili Trawangan are my revelations of the year!!!!!
≠10. I miss Saudi Arabian city of Madina!!!!!!!! It’s always in my heart!
≠11. The rest is mine to keep ;P
Subscribe to:
Posts (Atom)