Thursday, October 27, 2011

The Depressive Me, Behind The Scene

Akan tiba waktunya kamu ingin sendiri. Menarik diri dari pergaulan dengan orang-orang terdekatmu, menikmati waktu dengan kesendirianmu, melakukan hal-hal yang benar-benar kamu cintai dan ingin kamu lakukan. Seolah dirimu adalah satu-satunya hal yang pantas untuk dipikirkan untuk beberapa saat. Seolah dirimu adalah pusat segalanya. Terkadang kamu juga ingin memberikan waktu untuk orang-orang tedekatmu untuk menikmati diri mereka seperti kamu ingin menikmati dirimu saat itu. Itu cukup adil. Kamu pun terkadang ingin bertindak sebagai orang ke tiga dalam sebuah roman, tidak melulu muncul sebagai sosok “aku”, “kami”, ataupun “kita”. Kamu tidak bermaksud untuk menciptakan jarak, tapi ini lebih kepada kamu ingin menghargai evolusi mereka sebagai sosok individu yang mandiri, dengan segenap lika-liku hidup mereka yang unik. Kamu semakin sadar bahwa kita semua nantinya akan tumbuh sebagai orang dewasa, makin matang secara fisik dan cara berpikir. Saat ini orang-orang seusiamu sedang menikmati proses pencarian jati diri, kamupun begitu. Saling melihat cara pribadi satu dengan yang lain menghadapi problema hidup, yang tentunya amat berbeda. Semua itu adalah konsekuesi dari perubahan. Semua orang pasti akan mencoba memainkan tiap peran tersebut hingga tiba saatnya untuk memilih mana yang paling sesuai dengan karakternya. Kamu hanya perlu waktu dan biarlah semua berjalan secara alami.


Tapi terlepas dari itu, kamu sendiri pun sebetulnya bingung dengan semua yang terjadi, seolah semua kejadian yang kamu temui dalam kehidupan sehari-hari adalah berkas cahaya. Nyata, tapi luput dari mata batin sebab terkadang terlalu banyak hal superfisial daripada yang bermakna. Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan. Masa depan tampak membingungkan dan sedikit aneh melihat orang-orang mulai mendefinisikan kesuksesan dan berpikir seolah-olah mereka telah menggenggam keduanya dengan gemilang. Kata-kata “merencanakan masa depan” mulai terdengar menjengkelkan. Kamu merasa dirimu seolah menjadi pesimis sekaligus pecundang di hamparan para perencana masa depan itu. Sebab untuk meraba masa depan pun kamu merasa sulit. Yang kamu tahu adalah kamu tengah berusaha mewujudkan mimpimu. Kamu merasa dirimu naif saat kamu mulai membandingkan mereka dengan orangtuamu. Ayah dan ibumu yang telah memberimu cetak biru. Adakah yang berbeda? Kamu pun tak yakin sebab kamu tahu bahwa orangtuamu adalah juga perencana masa depan yang tak kalah hebat. Tapi dalam cara yang berbeda. Dan menurutmu itu lebih indah. Mereka tahu dunia akan menjadi tempat yang lebih indah jika kita mau menyadari bahwa tiap orang memilki jalan masing-masing dalam menggapai kesuksesan. Hormatilah itu!

No comments: