Friday, September 9, 2011

Menjadi Egaliter


Konon orang Perancis terkenal xenophobia alias mudah curiga terhadap orang asing; juga lumayan chauvinist alias cinta tanah air yang hiperbolis. Eh iya lho, saya pernah nonton serial Amazing Race (tahu kan?) saat tengah berlangsung di Paris. Nah saat para pesertanya bingung mencari tempat-tempat tertentu di Paris, mereka bertanya dalam bahasa Inggris kepada penduduk lokal, eh mereka malah nyerocos en français. Dasar tidak menghargai! Mereka pikir semua orang di dunia ini mengerti bahasa mereka. Uggh menyebalkan.

Ngomong2 soal Perancis aku teringat semboyan revolusi Perancis. Itu lho liberte, egalite, fraternite (tahu kan artinya). Nah aku penasaran banget dengan semboyan yang nomor dua itu "egalite" yang artinya persamaan. Salah satu sikap orang Perancis (dan orang Barat pada umumnya) yang menurutku unik dan inspiratif adalah easygoing dalam hubungan antarmanusia. Tidak kaku atau penuh hirarki seperti di Asia pada umumnya. Semua manusia itu sama. Di Barat kita tidak perlu menyebutkan nama gelaran seseorang seperti mas, mbak, prof, kanjeng, nyai bla bla bla, kecuali bila bertemu satu sama lain kali pertama. Memang sih sebelum revolusi masyarakat Perancis sangat terbagi ke dalam kelas-kelas. Bangsawan, pedagang, petani. Tapi itu dulu.

Menurut KBBI kata egalitarianisme berarti doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajat. Garis bawahi tuh. Sama derajat secara duniawi sebab menurut ajaran agama Islam tinggi rendahnya derajat seseorang dinilai dari iman dan takwa. Aku paling benci jika ada orang yang merendahkan pekerjaan orang lain. Mungkin banyak di antara kita yang meremehkan pekerjaan petani, tapi kita sering lupa tanpa jasa para petani kita akan kelaparan, Indonesia tidak akan jadi negara berswasembada pangan. Mindset seperti inilah yang mungkin menyebabkan banyak pemuda desa enggan atau malu meneruskan pekerjaan orang tua mereka untuk bercocok tanam. Akibatnya terjadilah urbanisasi, timbul masalah di perkotaan, dan begitulah seterusnya. Contoh lain adalah pekerjaan sebagai tukang sampah, pasti banyak yang mencibir. Asal tahu saja upah yang diterima tukang sampah tuh tidak lebih dari 500 ribu di tempatku. Minim banget lah. Tidak sebanding dengan beratnya pekerjaan dan risiko yang dihadapi berkenaan dengan kesehatan mereka. Aku tahu soal ini sebab saat momen lebaran biasanya orang tuaku mengundang sejumlah tukang sampah untuk diberi "salam tempel" sebagai ucapan terima kasih kami. Mereka sering mengeluhkan sikap orang-orang yang kurang perhatian dengan mereka, mungkin secara finansial kali ya. Itulah sebagian contoh kecil yang sering kita jumpai sehari-hari.

Aku mengamati semakin lama kedudukan orang di sini ditentukan oleh posesi dan posisi, dan aku benci akan hal ini. Beda banget kan cara kita memandang atau menilai atau bahkan memperlakukan orang yang mengendarai mobil Porsche (emang ada ya di sini he he) dengan orang yang pakai Suzuki Carry. Di rumah sakit pemerintah selalu ada pembedaan perlakuan antara pasien umum yang bayar sendiri dan maskin yang dibayari negara karena untuk makan saja susah. Golongan terakhir inilah yang kerap mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari tenaga medis. Dibentak, disindir, dimarahi kerap menjadi santapan sehari-hari saat mereka harus ngamar di RS. Ini juga kali ya penyebab seorang tenaga medis sering dituntut secara hukum, sebab underlying case-nya tuh rasa sakit hati pasien yang tersamarkan dengan tuduhan malpraktik. Ini semua hanya analisaku saja lho, tidak ada maksud tertentu. Kita cenderung menilai orang dari penampilan luar saja. Seandainya kita jalan-jalan ke Amsterdam (amin..amin ;) dan berpapasan dengan orang berpakaian kantoran naik sepeda, orang Indonesia pasti tidak mengira dia adalah CEO perusahaan besar, padahal itu hal biasa. Kita saja yang terlalu terbiasa lihat mobil-mobil dan sepeda motor berseliweran di jalan. Bahkan seorang ratu Beatrix bisa santai berbelanja tanpa harus diganggu rakyatnya yang ingin berfoto bersama he he. Ini bukan dongeng lho,ini kubaca dari buku Introductory to Living in Holland.

Mungkin sudah saatnya kita menjadi orang-orang egaliter, memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, tidak usah gengsian, tidak zaman lagi gila hormat atau menuliskan gelar kesarjanaan dengan berlebihan ;). Egalitarianisme juga sangat bermanfaat dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN. Orang tidak perlu lagi meninjau latar belakang (atau pertimbangan apapun lah) dari orang yang layak dihukum. Mau dia besan presiden kek, mantan gubernur kek, mantan menteri kek; kalau bersalah ya tetap harus dihukum. Bukankah kita semua juga sama di mata hukum.

No comments: