Thursday, January 20, 2011

Un Été à Paris



Comme un été à Paris... la nuit
Loin de tous mes ennuis... Je revis
Loin du froid je m’enfuis... à Paris
Et dans tes bras je m’oublie... toute la nuit

Summer in Paris
Comme un été à Paris... la nuit
Une sublime envie...
D’un été à Paris...
I miss that kiss...
On summer in Paris...

Un automne à Londres...
Un hiver au Cap Vert...
Jour de l’an à Milan
Tout ma vie à Paris...
Une sublime envie...
D’un été à Paris...
Sa douceur me suffit
Un été à Paris

Monday Confession: I Feel So Uneasy Somehow

Le 10 janvier 2011

I’m writing these lines while watching TV. There’s a good movie playing called “Goal”. Such a moving one that makes need to choke back my tears (Nope, I’m bragging), Well as everybody knows ten days have elapsed since the world wished me a happy new year. It’s crazy and here I am. I’m now basically waiting for my internship to start in this February hopefully (the VERY first one of its kind in my faculty, so my batch happens to pioneer it). Yes I’m merely waiting as I haven’t done anything big since my trip to Bandung. I mean, meanwhile most of my friends of my batch start to make some money on their own by working in a clinic or whatever. I must be satisifed with being “a security guard”, keeping an eye for my (my parents’) house. Doing the manual work that the Frenchmen call faire le ménage. Je sais que ça sonne dérisoire, mais je sens que j’ai pas de choix. I don’t wanna work as long as I don’t get my license out yet because the penalty looks so serious. I simply don’t wanna get tried and fined since there’s not much in my bank account (you can say it’s almost empty). I’d never ever let the prosecutor see me as an easy target in case i dit it and got caught . That’s one point. I always make myself believe and I listen to my inner voice, just like what Billy Joel says “What’s the hurry about, you can’t be everything before your time.” And I don’t think the time has arrived for me, however I don’t think I let the chances fade. Not at all. I’m recharging during this lengthy period I’d rather call les vacances d’hiver, the winter holiday. February will see me start everything from the bottom again. Je vais faire un stage de huit mois dans un hôpital périphérique et de quatre mois dans un centre de santé communal. Mais je ne serai pas seul evidemment. J’aurai toujours mes amis. To be honest, this frightens me a little bit, not only we’ll be the first batch of our medical school being involved in this trial and error program, but also it’s more of the fear of being exposed in an utterly new milieu. It’s not that I think I won’t be capable of coping with all these stuffs, I’m all for new challenges anyway. As I stated above, we’re all about to start everything from the bottom. Like building a home on an abandoned land. It will be about the communication, the group dynamics, coming across with strangers that sometimes requires us to be an ice-breaker, and probably with some “newly-invented” procedures to deal with some medical cases. Who knows and I’m not in a position to answer it. Gaining self-confidence is not an easy thing indeed. Hope things go as expected. Catch you soon!!

KEBANGGAAN SEMU TERHADAP TIMNAS SEPAKBOLA INDONESIA

Pertandingan final kejuaraan sepakboa AFF leg ke dua pada 29 Desember kemarin agaknya sulit terhapus dalam benak rakyat Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini tidak lain sebab tim nasional kita ditaklukkan secara agregat 4-2 oleh tim nasional Malaysia sekalipun kita menang kemarin. Setahu saya tahun ini adalah kali ke empat kita menjadi finalis, sekaligus kali ke empat kita bercokol pada posisi ke dua. Empat kali kesempatan memeluk piala AFF tersebut terlepas sudah. Sampai kapan lagi harus menunggu.

Namun bukan itu yang ingin saya bicarakan. Cara kita menyikapi kekalahan timnas kita itulah yang kadang membuat saya heran. Kebetulan saya adalah pengguna twitter yang cukup aktif sehingga saya tahu dan mengikuti timeline dan trending topics sebelum, selama, dan sesudah pertandingan kemarin. Umumnya isi timeline maupun trending topics tersebut berputar pada rasa bangga pada timnas walaupun kalah dalam kejuaraan ini. Saya sungguh heran dan takjub. Kebanggaan macam apa itu. Sekarang banggakah Anda jika anak Anda tidak naik kelas, banggakah Anda selalu menjadi seseorang dalam barisan belakang. Bagi saya kebanggaan seperti itu adalah kebanggaan yang salah alamat, kebanggaan semu berkedok nasionalisme. Kebanggaan macam itulah yang menurut saya malah menjerumuskan timnas (atau mungkin PSSI untuk lebih adilnya). Karena rakyat sudah sangat-sangat bangga dengan timnas sepakbolanya yang hanya berada di peringkat dua selama empat kali. Mungkin inilah yang barangkali menjadi alasan PSSI enggan berubah. Kita terlalu puas dan berbangga diri dengan prestasi yang belum layak mendapatkan pengakuan.

Kebanggan itu tidak dapat dipaksakan, jangan latah menjadi bangga hanya karena mayoritas juga bangga. Kebanggaan akan lahir secara alami dari prestasi yang memang layak diteladani. Dan kebanggaan seperti itulah yang saat inim tengah dirasakan rakyat Malaysia. Namun yakinilah bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bersangkut paut dengan prestasi sepakbola (maupun prestasi olahraga). Akan lebih masuk akal jika kita mencurahkan seluruh kekuatan kita untuk memperbaiki ekonomi dan pendidikan kita yang hasilnya bisa dinikmati seluruh rakyat. Dan jangan lupa bahwa pemerintah masih punya tanggungan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang belum tuntas seperti nasib korban luapan lumpur di Sidoarjo, skandal Bank Century, skandal kriminalisasi KPK, skandal mafia pajak, dan lain-lain.