Saturday, November 3, 2018

When all falls into place

Le 31 juillet 2018:
On a assisté à la cérémonie de remise de diplôme. J'ai enfin terminé ma formation spécialisée en neurologie après cinq longues années dans l'hôpital Dokter Soetomo à Surabaya. Je voudrais bien remercier à tous le monde qui m'ont toujours soutenu tout au long de ce parcours de la réalisation de mes rêves. Vous pouvez désormais m'appeler officiellement neurologue ☺

Le 1 novembre 2018:
J'ai reçu un coup de fil d'un collègue d'un hôpital auquel j'avais envoyé mon lettre de demande d'emploi il y a environ trois mois. Elle m' a renseigné qu'on m'accepter d'y travailler. Quelle belle surprise. C'était vraiment le moment que j'ai attendu le plus après que j'étais face à un entretien d'embauche avec le patron de cet hôpital-là. Alhamdoulillah c'est un autre rêve devenu réalité. Quelques pensées m'ont traversées l'esprit: quoi qu'il nous arrive, des bons, des mauvais, les incertitudes etc il ne faut pas oublier de se soumettre à la puissance de bon Dieu. Et que le sentiment d'être bénie, d'être aimé, d'être proche de Dieu est celui des plus beaux qu'on puisse ressentir. Il faut pas aussi oublier que peu importe comment les gens nous traitent douloureusement, ne cherchez pas à se venger. C'est tout pour aujourd'hui. À très bientôt.

Sunday, March 26, 2017

This is where the journey of parenthood all begins...



Still clear on my mind that very evening in late February last year where we had an intense argument about petty stuffs. Then you told me you were tested positive on that stick pregnancy test. For a moment I was stunned, and happy. We were raising hope of being good parents, but life took its bitter turn just when hopes were already growing too high. You underwent  browny, bloody vaginal discharges that could have been an omen for miscarriage, and it really was it in the end. Our first baby didn’t get a second chance to see the day. Heartbroken, but our faith remained. We pinned our hope high for another probable pregnancy, nothing was impossible for the All Creator. Like a miracle, Heaven seemingly had heard all our prayers. In June last, you became pregnant again. Our second chance was heaven-sent. For the first time, I felt at ease with your pregnancy. Words were never enough to describe how grateful and thankful we were for what Allah had granted us with. Over the time, we got to learn each other again, rediscover, redefine each other’s boundaries if there was any, shattered all the walls of our egos along the way. We both learned to be best parents our baby could have ever imagined. Trying to feed you healthily was probably the hardest part for me since you did have the tendency to eat all so-called junk foods. But I succeeded. You gained more and more weight accordingly with each days passing. But we both admitted we didn’t fancy all those “the grandiose art of raising kids and family appropriately” books since we were too tired of reading the medical textbooks (well, this is fake). Monthly regular visit at obsgyn doctor practice was admittedly not my favorite part, but you did seem to be overjoyed the moment the doctor pointed you the baby’s body parts were doing well, telling us it was a baby girl. I was happy too it was a baby girl while visualizing a future scene in which a little creature would be stalking me all my way. Pretty adorable huh. Shopping for our baby’s clothes and other necessities would irritate me, not only I was forced to witness a woman’s complicated and obnoxiously meticulous way of buying things, but also I had to dig deep my pocket (jokingly said ;). Time seemed to take way too long as for the birth of our baby. But waiting is gold as people say.  I mean nothing in this world could be better than it. Finally Allah entrusted to us this little girl whose name is Rengganis Aisyah Dianty, a tiny spark that made all the difference in our life. And once again we’ll be forever thankful for that.
Welcome to the world our little baby girl!
And the big day fell on March 22, 2017. You had to undergo C-section due to nuchal chord something like that (I didn’t quiet get it despite being a full-fledged medical doctor). But we were so relieved once the baby was delivered. Felt so blessed when she fetched her very first breath and made some noise with her cry, the moment I softly whispered adzan and iqamat in her ears,


P.S.: We’d love to send our deepest gratitude to everybody who has given his hands and  extended his hospitality. Dr. Agus Sulistiono, Sp.OG (our obstetrician). Our parents for their never-ending support, resident doctors of Pediatric Dept and Neurology Dept of our class, medical-paramedic staffs of RS Putri Surabaya, and others who we can’t mention one by one. We love you.


Wednesday, January 1, 2014

Rekam Jejak Aksi Mogok Dokter di Beberapa Negara

Tahun 2013 lalu juga menjadi tahun yang monumental bagi profesi dokter dimana tepatnya pada 27 November aksi solidaritas kesejawatan yang menolak kriminalisasi tiga dokter kandungan di Manado mendapatkan sorotan luas dari media. Aksi ini tidak hanya terpusat di Jakarta, namun juga meluas hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dapat dikatakan monumental sebab baru kali ini lah para dokter berani menyuarakan hati nurani mereka terhadap kriminalisasi terhadap rekan sejawat mereka dan menuntut perlindungan hukum yang tegas dalam menjalankan tugas keprofesian mereka. Namun sayangnya kebanyakan media memandang sinis aksi solidaritas ini. Terbukti dengan headline yang dibuat sedemikian bombastis dan provokatif keesokan harinya (28 November). Sebagai contoh harian Jawa Pos yang keluarga saya langgan menurunkan headline bahwa aksi "mogok" dokter telah menelantarkan pasien. Padahal kenyataannya pasien tetap mendapatkan pelayanan di unit gawat darurat.Berlebihan dan cenderung memojokkan profesi dokter plus mengadu domba dokter dengan masyarakat. Masyarakat yang tidak terbiasa dengan aksi "mogok" dokter semacam ini ramai-ramai cari perhatian dan ikut-ikutan mengecam, mencaci, mencibir dokter di media-media sosial. Padahal belum tentu juga orang-orang itu mengetahui duduk permasalahannya.

Tidak ada asap tanpa api, dan tentunya aksi solidaritas dokter November lalu merupakan puncak kegeraman dari para dokter terhadap sikap pemerintah yang memandang rendah pentingnya sektor kesehatan dalam menunjang pembangunan. Asal tahu saja untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui agennya yaitu BPJS yang dimulai hari ini, pemerintah HANYA mengganggarkan sekitar 15 triliun rupiah untuk meng-cover premi JKN bagi 80 jutaan rakyat Indonesia saja. Sisanya yang belum tercakup tetap harus diharuskan membayar iuran. Bayangkan betapa kecil anggaran untuk bidang kesehatan bila dibandingkan dengan, katakanlah, subsidi BBM yang mencapai 200-an triliun rupiah per tahun. Kezaliman yang nyata!! Tidak ada biaya untuk berobat yang murah. Itu yang harus disadari pemerintah dan masyarakat. Dalam berita tentang JKN yang dimuat di Jawa Pos hari ini malah disebutkan bahwa dokter kandungan hanya mendapatkan sekitar 60 ribu untuk tiap operasi SC. Entahlah kata-kata apa lagi yang bisa saya ucapkan setelah membaca berita ini. Miris!

Jangan heran bila program JKN ini tidak akan berjalan semulus yang direncanakan di atas kertas. Jangan pula heran bila suatu saat akan lebih banyak aksi "mogok" oleh dokter menyikapi keganjilan program JKN ini. Di bawah ini saya sajikan sejumlah aksi "mogok" dokter yang lebih mendunia. Saya tekankan bahwa aksi "mogok" BUKAN merupakan hal yang tabu dan ini harusnya menjadi hal yang wajar di suatu negara yang begitu menyembah sistem DEMOKRASI, termasuk Indonesia. 

Januari 2012: 50000 dokter di 600 rumah sakit di penjuru Jerman mogok untuk menuntut kenaikan gaji sebesar 6 persen, pembayaran yang lebih baik untuk jaga on-call dan pengurangan frekuensi jaga hingga sebanyak empat kali saja dalam sebulan. (http://www.thelocal.de/20120110/40021; http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736%2812%2960086-5/fulltext)

Maret 2006: 20000 dokter rumah sakit pemerintah di Jerman mogok menuntut kenaikan gaji sebanyak 30 persen setelah pemerintah meningkatkan jam kerja dari 38,5 jam per minggu menjadi 42 jam per minggu. (http://www.dw.de/striking-german-doctors-shed-light-on-system-ills/a-1942544)

Juli 2006: 70000 ribu dokter di 700 rumah sakit pemerintah mogok mempersoalkan ketidaksesuaian kondisi kerja dan honor yang mereka terima. Mereka bekerja 60-80 jam (dua kali kontrak), namun honor jam lembur ini tidak dibayarkan. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/5207048.stm)

Agustus 2013: Para dokter dari Provincial Medical Service (PMS) di Kanpur, India memboikot pelayanan di rumah sakit selama setengah hari dalam tiga hari. Mereka memprotes penahanan para sejawat dokter di Ursula Horseman Hospital dan Kamlapat Singhania Memorial Hospital. (http://articles.timesofindia.indiatimes.com/2013-08-28/kanpur/41537653_1_pms-doctors-strike-today-token-strike

Juni 2000: 90 persen klinik swasta di Korea Selatan tutup setelah puluhan ribu dokter yang terhimpun dalam Korea Medical Association mogok. Mereka memprotes kebijakan pemerintah yang melarang klinik dan rumah sakit menjual obat kepada publik. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/798353.stm)

27 November 2013: Aksi solidaritas dokter Indonesia yang meminta pembebasan rekan sejawat mereka yang ditahan akibat tuduhan malpraktik. (http://www.asianewsnet.net/news-54384.html)

Januari 2013: Para dokter yang tergabung dalam Mozambican Medical Association (MMA) mogok dalam dua minggu untuk menuntut kenaikan gaji 100 persen bagi dokter yang baru lulus serta spesialis. (http://www.themalaysiantimes.com.my/mozambique-doctors-strike-enters-second-week/

Wednesday, December 25, 2013

Sekali Waktu Di Kota Jakarta



Bukan tanpa alasan saya memberi judul tulisan saya ini ala penulis angkatan Balai Pustaka. Semua hal yang saya alami, saksikan dan rasakan selama perjalanan terakhir saya ke Jakarta belum tentu sama dalam tahun-tahun mendatang. Jakarta yang serbadinamis akan selalu berubah dan dia akan selalu seperti itu. 

Semua ini berawal dari spontanitas saya untuk membeli tiket kereta api PP Jakarta-Surabaya. Saya telah menyelesaikan semester pertama saya sebagai residen neurologi di rumah sakit terbesar di kawasan Indonesia timur. Ada sisa beberapa minggu sebelum akhirnya saya akan berkutat dengan pelayanan pasien dan hal-hal akademis sehingga saya berpikir saya harus pergi sesaat. Awalnya saya berencana pergi ke Karimun Jawa. Namun sebab musim hujan telah tiba dan mungkin laut akan tidak tenang, saya beralih untuk pergi ke Jakarta. Awalnya saya sebenarnya tidak terlalu antusias, namun karena adanya dorongan untuk pergi saya kuatkan niat.

Jumat, 13 Desember 2013
15.00: Kereta api ekonomi AC Kertajaya membawa saya dan teman saya, orang Jakarta yang rumahnya akan saya inapi, dari stasiun Pasar Turi menuju Stasiun Tanjung Priok. Bersyukur sekali sebab saat ini pelayanan untuk KA ekonomi sudah mengalami kemajuan dibandingkan dua atau tiga tahun lalu. Tidak ada penjaja makanan dan minuman dari luar yang keluar masuk gerbong, AC cukup dingin dan kebersihan dan keamanan cukup terjaga. Tiket pun ramah di kantong mahasiswa yakni sebesar 50 ribu rupiah sekali jalan. Ini tarif bersubsidi lho sebab konon tahun depan subsidi ini akan dicabut sehingga harganya akan menjadi sekitar 100 ribu sekali jalan. Satu-satunya ketidaknyamanan yang saya rasakan adalah harus berbagi gerbong dengan gerombolan anak SMA yang tiada henti berbicara dengan suara lantang satu sama lain sepanjang perjalanan. Hal ini amat mengganggu para penumpang lain yang ingin beristirahat tentunya. Belum lagi perempuan Madura di tempat duduk seberang kiri dengan kedua putrinya. Putri terkecilnya, mungkin berusia dua tahunan, terlihat amat menyebalkan. Mondar-mandir ke tempat duduk saya dan sepanjang lorong, kadang-kadang menangis tak karuan. Kasihan juga sih sebenarnya. Nampak kurang gizi: rambutnya merah, mata agak cowong. Parahnya dalam perjalanan jauh itu, si ibu hanya menyuapinya dengan se-cup P**Mie. Itu pun harus dibagi untuk mereka bertiga dan ada satu peristiwa yang saya saksikan (tidak perlu saya tulis di sini) yang membuat higienitas mie tersebut patut dipertanyakan. Meskipun demikian toh saya mampu memejamkan mata saat malam tiba.

Saturday, June 22, 2013

Here Comes Another Good Bye

Masih teringat kurang lebih 15 bulan yang lalu saat aku menamatkan magangku sebagai dokter umum program KBK di Trenggalek lalu berpisah dengan rekan-rekan sejawat medis dan paramedis di sana. Sejak itu aku kembali ke Surabaya dan mencoba melamar pekerjaan di beberapa tempat. Kurang lebih dua minggu sejak aku kembali di sini, aku mendapatkan panggilan wawancara kerja di Dinkes Kota Surabaya. Aku diterima bekerja dan ditempatkan sebagai dokter honorer di Puskesmas Jagir. Bekerja di tempat ini merupakan sebuah ujian ketahanan hidup sebenarnya, sebab aku benar-benar memulai semuanya dari awal lagi tanpa kehadiran teman-teman sejawat seangkatan seperti sebelumnya. Alhamdulillah aku bisa segera beradaptasi dan menempatkan diri dalam waktu singkat walaupun aku termasuk yang paling bau kencur. Bertemu teman-teman sejawat baru angkatan atas yang sudah senior. Banyak sekali pengalaman yang kudapat selama bekerja di sini baik dalam hal pengobatan; pengalaman di lapangan mulai dari penyuluhan di posyandu lansia, remaja, di sekolah; bagaimana birokrasi dalam bidang kesehatan dalam tingkat kota; bagaimana merujuk pasien dengan baik dll. Walaupun kebanyakan bukan hal baru, tapi tetap saja menarik untuk dijalani. Setahun setelah bekerja di sini sambil diselingi ikut pelatihan ANLS, ATLS dan sejumlah seminar dan workshop neuro, aku akhirnya mencoba ikut seleksi ppds unair semester gasal 13-14 bidang neurologi. Alhamdulillah aku diterima sebagai mahasiswa baru lagi di almamater tercinta. Tidak sia-sia semua persiapanku setahun ini. Namun sejarah terulang kembali, sekali lagi aku harus mengucapkan selamat tinggal pada keluarga baruku di Puskesmas Jagir. Sedih memang, namun begitulah hidup. Dinamis, selalu bergerak. Akhirnya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat-Nya yang telah membuat semua harapan ini nyata. Kedua orang tuaku. Alhamdulillah. Kapusku, dr. Peni, yang mengizinkanku bekerja di instansi yang beliau pimpin. Teman-teman di kamar sembilan yang telah menerima kehadiranku dengan hati dan tangan terbuka dan selalu mendukung. Dr. Rosari, spesialis syaraf, atas semua nasehat dan rekomendasi yang telah diberikan. Rekan-rekan kerja lamaku nun jauh di Trenggalek, terima kasih atas dukungan dan doa.kalian. Rekan-rekan sejawat baru yang juga diterima sebagai ppds neurologi periode ini: dr. Erlindah (teman "mbolang" di Bandung dulu, alhamdulillah jadi teman seperjuangan sekarang); dr. Bimo Dwi L. (sesama mantan pengurus CIMSA lokal Unair nih); dr. Riska (sesama cah Tulungagung); dr. Fata dan dr. M.Fariz. Semoga kita dapat melewati kerasnya perjuangan mencari setetes ilmu dengan sabar, istikomah dan selalu kompak sampai waktu kelulusan kita. Berkahi langkah kami ya Allah!

Sunday, April 7, 2013

Galau

Gw galau. Bentar lagi gw bakal menghadapi serangkaian ujian seleksi ppds. Diawali dengan proses verifikasi besok yang dilanjutkan dengan tes psikologi dan tes potensi akademik pada, insya Allah, 13-14 April. Dan sebagai puncaknya adalah ujian di departemen yang dipilih. Gw daftar di program pendidikan spesialis neurologi atau ilmu penyakit saraf. Sumpah gw galau abis, sebab gw belum tahu peta persaingannya periode ini bakal kaya apa. Yang jelas daya tampung di departemen neurologi yang gw idam-idamkan nih berjumlah enam kursi. Emang sih berkaca dari periode-periode sebelumnya, peminat bidang neurologi ga seheboh lab empat besar itu (pediatri, interna, bedah, ginekologi-obstetri), tapi rasa cemas takut gagal ga diterima itu sering muncul. Mengingat juga status gw yang 'muggle' abis, maksudnya ga seorangpun di keluarga besar gw yg memiliki 'trah' dokter. Jadi gw menciptakan sejarah sebagai orang pertama di keluarga besar gw yg berprofesi sebagai dokter. Jadi besar harapan gw supaya bisa diterima jadi ppds neurologi di rumah sakit rujukan terbesar se-Indonesia bagian timur ini. Gw berangkat dari niat yang tulus buat menuntun ilmu penyakit saraf ini sebagai bekal gw tuk mengabdi buat umat, memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Walau gw tahu ga bakal mudah, gw yakin Allah SWT pasti bakal ngasih jalan dan menuntun gw di jalan yg Dia ridhoi. Di samping itu alasan gw milih neuro yaitu karena neurosains tuh bidang ilmu yg senantiasa berkembang, menarik untuk dipelajari lah walo banyak yang bilang kalo neuro tuh rumit. Emang iya, tapi di antara kerumitan itu pasti ada celah untuk membuatnya menyenangkan untuk didalami. Trus gw tuh masih amazed gitu dengan pemeriksaan2 klinis neurologi yang bejibun gitu. Amazed banget dengan bagaimana seorang neurolog bisa bikin diagnosis dengan pemeriksaan klinis neurologi rutin tanpa harus selalu bergantung dengan modalitas diagnostik yang juga udah makin canggih aja. Dan gw punya alasan pribadi sih sebenarnya buat milih neuro yaitu karena nenek kakek dari pihak ayah gw dulu merupakan pasien saraf. Masing-masing meninggal dunia karena penyakit Parkinson dan stroke. Jadi gw merasa terpanggil buat belajar neuro secara lebih mendalam.

"There's always gonna be another mountain. I'm always gonna wanna make it move. There's always gonna be an uphill battle. Sometimes I know I have to lose. Ain't about how fast I get there. Ain't about what's waiting on the other side. It's the climb." (The Climb - Miley Cyrus).